Opini
Gaza dan Sejarah Hitam Umat Manusia: Mengulang Genosida di Abad Modern

Lebih dari 88 persen wilayah Gaza hancur. Hampir dua juta manusia diusir dari rumahnya, bukan karena gempa, bukan karena letusan gunung, bukan karena banjir bandang. Tapi karena perang yang katanya ditujukan ke “teroris”. Dan betapa ampuhnya senjata itu bekerja, hingga bukan hanya markas militan yang hilang dari peta, tapi juga rumah sakit, sekolah, masjid, bahkan makam-makam pun ikut digusur oleh rudal. Tak heran jika tanah Gaza kini lebih banyak terdiri dari puing dan tulang belulang dibanding pasir dan batu.
Sebanyak 125.000 ton bahan peledak dijatuhkan di wilayah seluas 360 kilometer persegi—itu artinya, setiap meter persegi tanah Gaza menerima lebih dari 300 kilogram bom. Bandingkan dengan bom Hiroshima yang hanya satu buah, dan dunia menulisnya sebagai babak tergelap sejarah umat manusia. Tapi Gaza? Dunia hanya menyebutnya sebagai “konflik berkepanjangan” yang entah kenapa tidak kunjung selesai. Mungkin karena belum semua bangunan rata dengan tanah.
Lebih dari 67.000 orang terbunuh atau hilang. Jumlahnya kira-kira setara dengan seluruh penduduk sebuah kota menengah di Indonesia, misalnya Salatiga atau Singkawang. Di Gaza, kota-kota itu tak lagi punya nama, karena nyaris tak lagi punya bentuk. Bahkan bukan hanya gedungnya yang lenyap, tetapi juga penghuninya. Sebanyak 2.613 keluarga telah “dihapus” dari catatan sipil. Tak tersisa satu pun anggota keluarga yang hidup. Dalam bahasa birokrasi, ini disebut data hilang permanen. Dalam bahasa manusiawi, ini disebut pemusnahan.
Dan jangan lupakan 953 bayi yang tak pernah sempat tumbuh gigi. Jangan lupa 8.150 ibu yang tak sempat menyuapi anak-anak mereka untuk terakhir kalinya. Jangan lupa 228 jurnalis yang tewas saat mencoba merekam realitas yang dunia tak ingin lihat. Ironis, karena media Barat lebih sibuk memberitakan Taylor Swift yang batal konser daripada ratusan anak Palestina yang batal tumbuh dewasa.
Bahkan mati pun tak dibiarkan damai. Laporan menyebut bahwa ribuan jenazah dicuri dari pemakaman. Serius. Dicuri. Ini bukan skenario film horor. Ini kenyataan. Tentara zionis menggali kembali kuburan dan membawa mayat pergi. Untuk apa? Mungkin untuk eksperimen. Mungkin untuk dilecehkan. Atau mungkin hanya sekadar ingin memastikan bahwa orang Palestina benar-benar sudah tidak punya tempat—bahkan setelah mati.
Kalau Gaza ini sekadar film dokumenter, mungkin kita akan menontonnya sambil menggeleng dan berkata, “Dunia memang kejam ya.” Tapi sayangnya, ini bukan film. Ini bukan “The Pianist” atau “Schindler’s List“. Ini bukan sejarah masa lalu. Ini sekarang. Ini nyata. Ini berlangsung sembari Anda membaca tulisan ini. Dan yang paling gila: sebagian besar dari kita sudah kebal.
Anak-anak mati kelaparan, bukan karena tak ada beras, tapi karena truk bantuan ditahan. Orang tua menggigil dalam tenda pengungsian, bukan karena musim dingin terlalu ekstrem, tapi karena listrik dan selimut tak boleh masuk. Di Gaza, bukan Tuhan yang mencabut nyawa, tapi embargo. Bukan waktu yang membawa maut, tapi perhitungan logistik yang disengaja.
Di negeri ini, kita bisa memprotes kenaikan harga cabai. Bisa berdebat soal konser Coldplay. Bisa galau karena sinyal lemot. Tapi di Gaza, orang galau karena tak tahu apakah akan hidup esok pagi. Di sini, kita takut mati karena hipertensi. Di sana, orang takut mati karena ingin mengambil sekarung tepung.
Lucunya, mereka yang dulu paling keras mengutuk Holocaust kini diam ketika Gaza dilenyapkan. Mereka yang mengajar tentang nilai-nilai kemanusiaan di ruang-ruang akademik justru sibuk mencari diksi yang “netral” agar tidak terlihat berpihak. Mereka yang berseru “Never Again” setelah tragedi genosida kini duduk nyaman sambil membisikkan, “But this one is different.” Ya, genosida boleh terjadi… asalkan bukan pada teman kita.
Dan dunia? Dunia hanya memberi dua pilihan kepada Palestina: tunduk atau musnah. Bukan kompromi, bukan negosiasi. Hanya dua itu. Maka jangan heran jika yang tertinggal hanyalah luka. Luka yang tak bisa sembuh dengan resolusi PBB atau pernyataan prihatin. Luka yang menyimpan dendam pada dunia yang pura-pura tuli.
Ketika Srebrenica terjadi, dunia menangis. Ketika Rwanda berdarah, dunia terkejut. Ketika Aleppo dibombardir, dunia murung. Tapi ketika Gaza hancur, dunia hanya… memperbarui feed Instagram. Mengganti foto profil satu hari, lalu kembali ke rutinitas.
Sementara itu, sebagian anak-anak Gaza kini tak tahu seperti apa bentuk mainan. Mereka tahu seperti apa bunyi drone. Mereka paham perbedaan antara F-16 dan Apache. Mereka bisa membedakan jenis suara bom: yang satu merontokkan atap, yang satu meledakkan seluruh keluarga.
Gaza bukan lagi sekadar kota. Ia kini adalah nama untuk penderitaan kolektif umat manusia. Dan dunia sedang menuliskan ulang sejarah genosida di abad modern, dengan tinta apatis dan pena yang dibeli dari diplomasi murah hati negara-negara kuat.
Apakah sejarah akan memaafkan kita? Mungkin tidak. Karena saat Gaza diseret ke neraka, kita hanya menonton. Kita diam. Kita berdalih. Kita berdebat apakah ini genosida atau bukan. Kita kehilangan hati nurani, tapi merasa tetap punya hak bicara soal HAM.
Ya, Gaza hari ini adalah kaca pembesar untuk melihat kebusukan dunia. Dan sayangnya, kita semua ada di dalam refleksi itu.