Connect with us

Opini

Gaza dan Bisnis Keamanan Global: Dari Blokade ke Korporatisasi Perang

Published

on

Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Responsible Statecraft, Morgan Lerette mengangkat kisah yang terdengar seperti naskah distopia Hollywood—hanya saja ini nyata, dan darahnya bukan efek khusus. Para kontraktor militer swasta asal Amerika, bekerja di bawah bendera perusahaan bernama UG Solutions, mengaku bahwa mereka diperintahkan menggunakan peluru tajam untuk mengendalikan kerumunan warga Palestina yang kelaparan di pusat distribusi makanan. Ya, Anda tidak salah dengar: orang-orang yang mencari sepotong roti ditembak oleh orang-orang yang dibayar untuk “mengamankan bantuan”.

Tempat distribusi makanan yang dikelola oleh Global Humanitarian Fund (GHF)—organisasi yang kini mengambil alih peran PBB dalam pengiriman bantuan ke Gaza—telah berubah menjadi ladang kematian. Bukan lagi tempat harapan, melainkan titik tembak. Sejak Mei, lebih dari seribu orang Palestina dilaporkan tewas di dekat lokasi-lokasi ini. Dan ironinya, semua ini dilakukan atas nama bantuan. Sungguh, jika ini bukan ironi paling pahit abad ini, kita mungkin sudah kehilangan rasa.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Gaza, wilayah yang sejak lama dicekik blokade, kini menjadi semacam laboratorium hidup bagi model bisnis baru: perang yang diprivatisasi. Tidak cukup dengan serangan militer konvensional, kini kekerasan hadir dengan format lebih rapi, lebih legal di mata pasar, dan tentu saja, lebih menguntungkan. UG Solutions, perusahaan yang bahkan tidak terdaftar dalam kontrak resmi pemerintah AS, beroperasi di bawah otoritas entitas asing, di wilayah konflik, dan menjalankan tugas bersenjata. Dalam istilah yang lebih sopan: mereka bukan tentara, tapi juga bukan sekadar satpam. Mereka adalah aktor bersenjata dalam sebuah pertunjukan besar bernama “stabilitas”, yang ditulis oleh kekuatan modal dan diarahkan oleh kekuasaan geopolitik.

Model seperti ini bukan hal baru. Kita pernah melihatnya dalam wajah Blackwater di Irak—perusahaan yang menjual jasa kekerasan dengan aroma patriotisme palsu. Tapi kasus UG Solutions berbeda. Mereka tidak punya afiliasi resmi dengan negara mana pun. Mereka bukan alat negara, melainkan perpanjangan tangan dari pihak yang tidak diketahui. Mereka tak membawa bendera, hanya lencana dengan logo perusahaan dan niat baik versi Excel Spreadsheet. Mereka tidak dikirim atas nama kebijakan luar negeri, melainkan karena negosiasi kontrak.

Inilah wajah baru konflik: bukan lagi negara melawan negara, bukan juga tentara melawan tentara. Tapi korporasi melawan rakyat. Perang yang dahulu digerakkan oleh ideologi, kini digerakkan oleh margin keuntungan. Dan Gaza menjadi panggung yang sempurna—tempat di mana penderitaan tak perlu dibayar mahal, karena selalu tersedia dalam stok melimpah.

GHF, entitas yang mengklaim telah menyalurkan hampir 100 juta porsi makanan, juga menanggung beban tuduhan berat. Dari pihak PBB sendiri, GHF disebut sebagai “abomination”—kekejian yang menyajikan kombinasi antara kelaparan dan peluru. Ini bukan sekadar kritik, melainkan tuduhan serius bahwa bantuan kemanusiaan telah dijadikan senjata politik. Ketika badan yang mengelola bantuan tidak lagi netral, maka kata “kemanusiaan” dalam istilah “bantuan kemanusiaan” menjadi dekorasi belaka.

Tentu, semua pihak yang dituduh menyangkal. UG Solutions membantah, tentara “Israel” mengelak, GHF mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebut tuduhan tersebut “tidak berdasar”. Tapi di tengah ladang mayat dan tumpukan peluru, kebenaran tampaknya bukan soal narasi siapa yang lebih rapi, melainkan siapa yang lebih berkuasa. Dan dalam sistem dunia hari ini, kuasa itu bukan lagi monopoli negara—melainkan dimiliki oleh mereka yang menguasai infrastruktur logistik, kontrak jasa, dan—ini yang paling penting—narrative framing.

Di tengah semua ini, dunia tampak bingung: siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa dituntut? Hukum internasional belum siap menghadapi realitas ini. Konvensi Jenewa masih bicara soal kombatan dan non-kombatan, padahal yang kita hadapi sekarang adalah aktor bersenjata yang tak tergolong keduanya. Mereka tidak memakai seragam, tidak punya pangkat militer, dan tidak menjawab pada presiden mana pun. Tapi mereka bisa menembak, membunuh, dan tetap tidur nyenyak karena semua dilakukan “atas nama kontrak kerja”.

Mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah ini kemajuan peradaban atau justru kemunduran paling halus? Kita bicara tentang Gaza, tapi kita juga sedang bicara tentang masa depan dunia. Dunia di mana perang bukan lagi urusan negara, tapi soal penawaran jasa. Di mana kekerasan bisa dipesan seperti paket logistik, dan kematian bisa dibayar per jam.

Seandainya Jakarta suatu hari nanti mengalami kekacauan dan tiba-tiba muncul perusahaan keamanan swasta asing yang berpatroli dengan senjata otomatis di pasar tradisional, mungkin kita akan mengerti absurditas ini secara lebih langsung. Tapi karena itu terjadi di Gaza—jauh, asing, dan “biasa”—kita diam. Kita membaca berita, menggeleng pelan, lalu kembali menonton reels.

Mungkin ini saatnya kita menyadari bahwa konflik seperti Gaza bukan sekadar tragedi, tapi juga cermin. Cermin dari dunia yang diam-diam telah mengganti wajah kemanusiaan dengan wajah korporasi, mengganti perjanjian damai dengan kontrak kerja, dan mengganti suara rakyat dengan memo internal perusahaan.

Dan di balik semua ini, siapa yang diuntungkan? Pasti bukan si ibu yang kehilangan anaknya karena mengantre roti. Bukan pula si anak yang melihat ayahnya tersungkur karena berdiri terlalu dekat dengan truk bantuan. Mereka tidak tahu apa itu GHF, PMC, atau UG Solutions. Mereka hanya tahu bahwa hari ini mereka lapar, dan besok mungkin tidak hidup lagi.

Sayangnya, publik dunia telah dibentuk untuk tidak terlalu peduli pada Gaza. Wilayah itu terlalu sering muncul di berita—dan terlalu sering diabaikan. Ketika berita pembantaian datang, kita mungkin marah sesaat, lalu berpaling pada rutinitas. Apalagi jika pelakunya bukan tentara resmi, tapi sekadar “pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.” Sebuah frasa modern untuk menyebut kejahatan tanpa pelaku.

UG Solutions dan kawan-kawannya bukan sekadar bagian dari konflik; mereka adalah wajah baru dari sistem global yang tak lagi mengenal batas antara sipil dan militer, antara damai dan perang. Dalam sistem ini, Anda bisa menyewa kekuatan bersenjata seperti menyewa mobil. Dan di tempat seperti Gaza—di mana hukum dan harapan sama-sama tak punya kaki—mereka bebas beroperasi.

Tak ada jenderal, tak ada keputusan kabinet, tak ada sidang parlemen. Hanya sebuah kontrak dan sekelompok orang bersenjata dengan badge perusahaan. Jika Blackwater di Irak adalah prolog, maka UG Solutions di Gaza adalah bab baru yang lebih gelap—dan lebih laris.

Dan jika kita tetap diam, siapa yang menjamin bahwa model ini tidak akan dipakai di tempat lain? Hari ini Gaza, besok mungkin tempat lain di dunia yang dianggap “zona merah”, “high-risk“, atau eufemisme apa pun yang nyaman bagi investor.

Dari sini kita belajar bahwa perang bukan lagi kegagalan diplomasi, melainkan investasi yang menguntungkan. Dan selama masih ada tempat di dunia yang terisolasi, miskin, dan rawan konflik, maka akan selalu ada pasar bagi perang versi korporasi.

Dan kita, sebagai masyarakat sipil, sebagai pemirsa berita, sebagai pembayar pajak, sedang ditarik masuk ke dalam sistem ini—pelan-pelan, tanpa sadar. Kita mendanai mereka melalui perusahaan yang sahamnya kita beli, melalui produk yang kita konsumsi, atau melalui pajak yang digunakan untuk mensubsidi “stabilitas regional”.

Sekali waktu, ketika Gaza kembali disebut dalam doa-doa Jumat atau khutbah-khutbah Idulfitri, kita mungkin perlu bertanya lebih jujur: apakah kita hanya menangisi korban, atau turut melanggengkan pelaku?

Karena di zaman ketika kematian bisa disubkontrakkan, bahkan belas kasihan pun bisa jadi bagian dari bisnis.

Dan ironisnya, mereka yang menyebarkan peluru juga mengklaim menyebar bantuan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer