Connect with us

Opini

Gaza, Cermin Retak Dunia Kita

Published

on

Ledakan demi ledakan. Langit Gaza seperti tak pernah tidur, hanya berganti warna dari merah api ke abu-abu debu. Di Al-Zaytoun, rumah-rumah tak lagi berdiri tegak; mereka berubah jadi puing yang berteriak tanpa suara. Orang-orang di sana menyebut wilayahnya “sedang dihapus dari peta.” Ironisnya, di saat yang sama, di layar televisi dan media sosial kita, para pejabat Israel sibuk membawa diplomat asing untuk menyaksikan “kelimpahan bantuan” yang katanya mengalir deras. Dua realitas yang saling menampar, tapi dunia seakan memilih percaya pada kebohongan yang lebih rapi.

Saya rasa, inilah absurditas paling telanjang di zaman modern: di satu sisi sebuah kota dipaksa jadi gurun, di sisi lain ada tur wisata diplomatik ke perbatasan, seolah penderitaan bisa dikubur di balik panggung pencitraan. Israel menyebut penghancuran itu sebagai operasi militer melawan “target teror.” Namun bagaimana menjelaskan fakta bahwa ambulans ditembaki, rumah dibuldoser, dan anak-anak mati kelaparan? Apakah bayi berumur dua tahun sekarang termasuk “teroris”? Pertanyaan itu sebetulnya sudah cukup untuk membuat orang normal merasa mual, tapi entah kenapa para pemimpin dunia hanya berani mengeluarkan “kecaman standar” yang cepat menguap seperti asap rokok di ruang rapat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mari kita berhenti berpura-pura. Gaza bukan sekadar pertempuran. Ini proyek penghancuran terencana. Dari laporan yang muncul, warga dipaksa meninggalkan rumah dengan selebaran yang dijatuhkan dari drone, sementara yang nekat bertahan berisiko jadi abu. Saya teringat bagaimana nenek moyang kita dulu diusir dari ladang-ladang mereka oleh kolonialis. Bedanya, kini penjajahan disiarkan langsung dengan kualitas HD, bisa ditonton dari ponsel sambil menyeruput kopi sachet. Dunia menatap, tapi menutup mata.

Di Indonesia, sebagian orang mungkin merasa aman. “Itu kan jauh, tak akan sampai ke sini,” begitu pikirnya. Padahal, kita hidup di dunia yang saling terkait. Ketika Gaza diblokade, Laut Merah tegang, jalur perdagangan global tersendat, ongkos impor naik, lalu harga cabai di pasar Cibitung ikut melonjak. Penindasan di Palestina itu tak berhenti di perbatasan Rafah; ia merembes ke dapur kita, ke ongkos ojek online, bahkan ke tagihan listrik bulanan. Jadi, jangan buru-buru mengira ini “urusan orang lain.”

Ada lapisan lain yang lebih menyesakkan. Saat warga Gaza mati kelaparan—240 jiwa, termasuk 107 anak—Israel justru memamerkan “truk bantuan” kepada dunia. Angka yang sesungguhnya hanya 310 truk per hari, jauh dari kebutuhan 500–600 truk yang disebut PBB. Ini ibarat seseorang menenggelamkan orang lain ke laut, lalu sesekali melempar sepotong roti dan berteriak: “Lihat, aku baik hati!” Di sini letak satir paling getir: genosida dibungkus sebagai “kepedulian.”

Kita tahu, orang lapar mudah dialihkan dengan sepotong roti. Sama halnya dunia internasional. Negara-negara besar dibius dengan janji “stabilitas,” sementara ribuan keluarga di Gaza terusir dari rumah yang rata dengan tanah. Dan publik internasional? Mereka diberi pemandangan truk bantuan yang lebih enak ditelan ketimbang wajah anak kelaparan. Seakan-akan dunia ini memang lebih pandai mengunyah citra ketimbang kenyataan.

Saya ingin jujur. Ketika membaca laporan bahwa ambulans ditembaki, saya tak bisa tidak teringat pada kondisi kita di Indonesia. Bayangkan jika suatu hari, di tengah bencana besar, mobil ambulans yang mengangkut keluarga kita diberondong peluru. Lalu si pelaku berdalih: itu demi keamanan. Apakah kita bisa menerima? Jadi, mengapa ketika hal yang sama menimpa warga Gaza, kita malah bisa tenang dan berkata: “Ah, itu jauh.”

Apalagi, kita bukan bangsa yang asing dengan luka penjajahan. Indonesia lahir dari penolakan terhadap kolonialisme. UUD 1945 dengan tegas menulis: penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Jika kita abai pada Palestina, sesungguhnya kita sedang mengkhianati diri sendiri. Kita sedang merobek pasal konstitusi dengan tangan kita sendiri, lalu menutupinya dengan bendera merah putih seakan-akan tetap suci.

Banyak yang bilang, Palestina tak ada hubungannya dengan Indonesia. Saya rasa itu cara berpikir yang terlalu sempit. Palestina adalah cermin. Apa yang mereka alami hari ini, dulu pernah jadi sejarah kita. Bedanya, sekarang penjajah lebih lihai menggunakan propaganda, lebih canggih memanipulasi media, lebih terampil mengemas kekejaman menjadi sekadar “operasi keamanan.” Dan kalau itu dibiarkan, jangan kaget kalau suatu hari standar ganda ini juga akan digunakan terhadap kita.

Ironinya, rakyat kecil justru sering lebih peka dibanding elite. Saya sering mendengar obrolan sederhana: “Kasihan ya anak-anak di Gaza, padahal seumuran anakku.” Ungkapan polos itu lebih jujur daripada ratusan pernyataan pejabat internasional. Empati orang biasa, yang jauh dari kursi kekuasaan, ternyata lebih murni. Dan mungkin, memang hanya lewat empati itu dunia masih punya harapan.

Namun empati saja tidak cukup. Kita harus berani menyebut dengan jelas: apa yang terjadi di Gaza adalah genosida. Bukan sekadar perang, bukan konflik, bukan “ketegangan.” Genosida. Dan setiap upaya untuk membungkusnya dengan istilah manis hanyalah bentuk keterlibatan dalam kebohongan. Dunia boleh bungkam, tapi kita punya kewajiban moral untuk bersuara.

Kita juga harus menyadari satu hal: diamnya dunia bukan karena tak tahu, tapi karena terlalu nyaman dengan status quo. Ada kepentingan minyak, ada bisnis senjata, ada strategi geopolitik. Gaza dijadikan papan catur, warganya pion yang boleh dikorbankan. Dan ketika pion hancur, para pemain catur hanya mengangkat bahu, lalu melanjutkan permainan.

Saya rasa, absurditas ini seharusnya membuat kita gelisah. Kalau dunia bisa sedingin itu pada Gaza, apa jaminannya kelak tidak sedingin itu pada kita? Apakah kita yakin jika suatu hari kita yang jadi korban, dunia akan bersuara lantang? Jangan lupa, hukum internasional itu sering tajam ke yang lemah, tumpul ke yang kuat. Gaza sedang memperlihatkan kenyataan itu di depan mata.

Maka, membela Palestina bukan soal agama semata, bukan juga sekadar romantisme sejarah. Ini soal menjaga warisan kemerdekaan kita, soal mempertahankan akal sehat di tengah propaganda, soal menolak menjadi penonton pasif dari kejahatan terang-terangan. Dan tentu saja, soal keberanian untuk tidak ikut-ikutan percaya pada “truk bantuan” yang dikibarkan sebagai bukti kebaikan hati penjajah.

Akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan dengan sederhana: kalau ada tetangga rumahnya dibakar, lalu kita berkata “itu urusan dia, bukan saya,” maka jangan heran jika suatu hari api itu merambat dan membakar rumah kita sendiri. Gaza adalah tetangga jauh yang kini terbakar. Dan sikap kita hari ini akan menentukan apakah esok masih ada yang peduli saat api itu mendekat ke halaman kita.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer