Opini
Gaza Berduka dan Dunia Masih Sibuk Scroll

Di Gaza, angka kematian menari-nari di laporan resmi: 19 jiwa hilang dalam 24 jam, 81 luka-luka, kata Kementerian Kesehatan Palestina. Rumah sakit kebanjiran korban, tapi banyak yang masih terjebak di bawah puing atau terkapar di jalan, tak tersentuh karena bom Israel tak kenal lelah menghajar. Sejak 7 Oktober 2023, 52.829 nyawa melayang, 119.554 terluka—dan ini cuma angka yang sempat dicatat. Absurd, bukan? Dunia menonton, ponsel bergetar dengan notifikasi berita, tapi tangan-tangan kuasa cuma menggenggam kopi, bukan solusi.
Bayangkan: di Jabalia, satu serangan artileri merenggut nyawa seorang warga sipil, satu lagi kritis. Di Deir al-Balah, seorang pemuda menyerah pada luka-lukanya dari serangan udara sebelumnya. Di Khan Younis, seorang anak—ya, anak—tewas di dekat Menara Tayba. Motor yang ditarget di al-Mawasi? Satu nyawa lagi. Ini bukan sekadar statistik; ini kisah-kisah yang terputus, keluarga yang tercerai-berai, mimpi yang dikubur di bawah reruntuhan. Dan kita? Kita scroll layar, mungkin menghela napas, lalu lanjut ke video kucing lucu.
The Lancet, dengan ketelitiannya yang dingin, bilang angka resmi itu cuma puncak gunung es. Studi mereka memperkirakan kematian sebenarnya bisa 46% sampai 107% lebih tinggi—77.000 hingga 109.000 jiwa. Bayangkan, 4-5% populasi Gaza lenyap, setara dengan sepertiga kota kecil di Indonesia tiba-tiba musnah. Mereka membandingkan data rumah sakit, laporan daring, dan obituari media sosial, menemukan tumpang tindih yang minim. Artinya, banyak kematian tak tercatat, tersapu kehancuran infrastruktur dan komunikasi. Ironis, ya, di era big data, kita bahkan tak bisa menghitung korban dengan benar.
Sementara itu, Direktorat Pertahanan Sipil Gaza meratap, kehabisan minyak, ban, dan baterai untuk kendaraan mereka. “Kami tak bisa menyelamatkan orang,” kata mereka, seperti jeritan yang ditelan angin. Mereka memohon ke Organisasi Pertahanan Sipil Internasional, tapi dunia seolah berkata, “Nanti dulu, kami sibuk.” Ambulans dan tim penyelamat tak bisa jalan, terhambat oleh serangan yang tak pause. Keren, bukan, bagaimana kita punya satelit yang bisa zoom ke pelat nomor mobil, tapi tak bisa memastikan bantuan sampai ke Gaza?
Lalu ada Rumah Sakit Mata Gaza, satu-satunya harapan untuk mata yang masih bisa melihat. Dr. Abdelsalam Sabah bilang, “Kami hampir lumpuh total.” Sebanyak 1.500 orang buta sejak perang dimulai, 4.000 lagi berisiko. Tak ada obat, tak ada peralatan bedah untuk retinopati diabetes atau pendarahan internal. Bayangkan kehilangan penglihatan di tengah kekacauan—tak bisa melihat bom datang, tak bisa mencari anakmu di antara reruntuhan. Ini bukan cuma krisis kesehatan; ini pencabutan hak dasar untuk melihat dunia.
Sistem kesehatan Gaza sudah di ujung tanduk. Laporan bilang 65% fasilitas primer dan 69% rumah sakit hancur. Bayangkan RSUD di kotamu tiba-tiba rata, dokter kehabisan jarum suntik, dan pasien mati di lorong karena tak ada listrik. Di Gaza, ini bukan imajinasi—it’s the daily grind. Kementerian Kesehatan memohon bantuan internasional, tapi bantuan datang setetes-setetes, seperti air di gurun. Kita, yang di luar, cuma bisa geleng-geleng, sambil ngetik “kasihan banget” di kolom komentar.
Tapi tunggu, dunia kan punya PBB, ICJ, dan segala macam badan berinisial keren. Bukankah mereka seharusnya bertindak? ICJ pada Januari 2024 minta Israel mencegah genosida dan simpan bukti, tapi apa hasilnya? Serangan terus berlanjut—2.720 kematian sejak 18 Maret 2025. PBB rapat, keluar resolusi, tapi veto AS bikin semuanya macet. Ironi yang elegan: kita punya hukum internasional yang tebal-tebal, tapi tak punya nyali untuk menegakkannya.
Sekarang, mari kita bicara soal kita—iya, kita yang di Indonesia, yang mungkin lagi ngopi di kafe atau ngecek harga tiket pesawat. Kita marah, kita sedih, kita demo di depan kedutaan, tapi apa artinya kalau dunia tetap bergeming? Kita juara diam, kata temenku, tapi diam kita bukan cuma pasif—it’s complicity by default. Kita konsumsi produk dari perusahaan yang mendukung agresi, kita pilih pemimpin yang ogah bicara lantang soal Palestina, lalu kita bilang, “Ya Tuhan, kasihan banget Gaza.” Lucu, ya, betapa kita pandai bersimpati tanpa bergerak.
The Lancet bilang, bahkan setelah perang usai, menghitung korban akan sulit. Banyak yang mati tak tercatat—mungkin karena kelaparan, penyakit, atau cuma karena tak ada yang sempat nulis namanya. Ini bukan cuma soal angka; ini soal martabat. Setiap nama yang hilang adalah cerita yang dirampas. Dan kita, dengan semua teknologi dan empati kita, cuma bisa bilang, “Wah, parah banget,” sambil lanjut kerja atau nonton Netflix.
Tapi jangan salah, ada yang tak diam. Aktivis di penjuru dunia turun ke jalan, jurnalis mempertaruhkan nyawa demi laporan, dan warga sipil Gaza, dengan segala keterbatasan, tetap bertahan. Mereka adalah pengingat bahwa diam bukan takdir. Kita bisa lakukan sesuatu—bagi berita, donasi ke UNRWA, boikot produk tertentu, atau desak pemerintah kita untuk bersuara lebih keras. Kecil? Mungkin. Tapi setetes air bisa jadi banjir kalau kita kompak.
Laporan itu, dengan segala datanya, bukan cuma kertas digital. Itu jeritan dari Gaza yang bilang, “Kalian lihat, kan? Kalian tahu, kan?” Pertanyaan sebenarnya bukan “berapa ribu lagi nyawa harus melayang,” tapi “kapan kita berhenti jadi penonton?” Dunia ini absurd—kita punya roket ke Mars, tapi tak punya cara menghentikan bom di Gaza. Kita punya konferensi perdamaian, tapi tak punya nyali untuk damai. Kita punya empati, tapi sering lupa di mana menaruhnya.
Jadi, mari kita coba. Mulai dari hal kecil: baca laporan itu lagi, cari tahu apa yang bisa kita lakukan, bicara sama temen, keluarga, atau siapa saja. Jangan cuma jadi juara diam. Gaza bukan cuma headline; itu manusia, sama seperti kita, yang cuma ingin hidup tanpa takut bom jatuh di kepala. Kalau kita tak bergerak sekarang, kapan lagi? Saat angka kematian jadi 200.000? Atau saat tak ada lagi yang tersisa untuk dihitung?
Aku nulis ini sambil mikir: di Jakarta, aku bisa duduk di kafe, ngetik, dan ngeluh soal macet. Di Gaza, orang-orang cuma bisa berharap besok masih hidup. Absurd, bukan, betapa dekat kita dengan mereka, tapi sekaligus begitu jauh? Ayo, kita ubah cerita ini. Satu langkah, satu suara, satu tindakan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?