Opini
Gaza Berdarah: Rumah Sakit Hancur, Anak-Anak Kelaparan

Malam itu, langit Khan Younis berderu, bukan karena badai, melainkan ledakan yang mengoyak Rumah Sakit Eropa Gaza. Enam rudal, kata laporan Al Mayadeen, menghantam pintu darurat, halaman, dan area sekitar, meninggalkan 28 tubuh tak bernyawa dan 70 lainnya terluka, banyak di antaranya kini terjebak di bawah reruntuhan. Ada apa dengan dunia ini, ketika rumah sakit—tempat harapan lahir—jadi sasaran bom? Kegelisahan menyeruak, seolah nyawa manusia di Gaza hanyalah angka, bukan cerita, bukan mimpi. Laporan itu, dengan dinginnya fakta, membuka luka: ini bukan sekadar konflik, tapi penderitaan yang terus berulang, di mana warga sipil membayar harga dari ambisi politik dan dendam.
Di tengah kepulan asap, tim Pertahanan Sipil Gaza berjuang, tapi artileri Israel tak berhenti, menghalangi mereka menjangkau korban. Bayangkan, mereka yang ingin menyelamatkan justru jadi target. Ini bukan cerita fiksi, melainkan realitas yang dicatat Al Mayadeen pada Mei 2025. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut 52.900 jiwa telah melayang sejak Oktober 2023, dengan 119.700 lainnya terluka. Angka-angka ini bukan statistik semata; mereka adalah ibu, anak, dokter, jurnalis seperti Hassan Eslaih, yang tewas dalam serangan di unit luka bakar Rumah Sakit Nasser. Fotografinya, yang pernah mengguncang dunia, kini jadi kenangan. Apa yang kita lakukan saat melihat ini? Diam, atau berteriak untuk keadilan?
Israel berdalih, seperti biasa, bahwa serangan itu menyasar “pusat komando Hamas” di bawah rumah sakit, menuding Muhammad Sinwar bersemayam di sana. Tapi, seperti ribuan klaim sebelumnya, bukti tak kunjung muncul. Tokoh senior perlawanan Palestina, dalam laporan Al Mayadeen, membantah keras, menyebut ini propaganda Netanyahu untuk meredam kritik dari dalam negeri. Human Rights Watch (2024) pernah mencatat, tuduhan “markas Hamas” sering tak disertai dokumentasi, sementara rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi hancur. Di Aabasan al-Kabira, dua warga sipil tewas dalam tenda dekat Gerbang Asdaa. Di rumah keluarga Afghan, 10 jiwa hilang. Ini perang, atau sesuatu yang lebih gelap? Pertanyaan itu menggantung, menusuk.
Sementara itu, Gaza kelaparan. Laporan kedua dari Al Mayadeen, mengutip WHO, menyatakan 57 anak telah mati akibat malnutrisi sejak blokade bantuan dimulai Maret 2025. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya berlari di gang-gang, kini merangkak lemah, tubuh mereka menyerah pada kelaparan. IPC mencatat 244.000 orang di Gaza berada dalam fase bencana pangan, dengan 2,1 juta jiwa terancam kelaparan. Richard Peeperkorn dari WHO menyebut ini “darurat kelaparan terburuk di dunia,” akibat “penghalangan bantuan yang disengaja.” Tidak ada truk bantuan yang masuk sejak 18 Maret, 31 di antaranya terdampar di El-Arish. Di Indonesia, kita tahu betapa pedihnya kelaparan—ingat cerita nenek moyang saat dijajah? Tapi ini 2025, dan dunia masih membiarkan anak-anak mati karena roti tak sampai.
Hamas, di sisi lain, tak tinggal diam. Brigade al-Quds meluncurkan roket ke Isdud, Askalan, Sderot, kata laporan ketiga Al Mayadeen. Brigade al-Qassam menghadang unit teknik Israel di al-Shujaiya, bahkan menembak jatuh drone Super Heron. Ini perlawanan, teriakan mereka yang terjepit pendudukan dan blokade. Tapi roket-roket itu, meski simbol keteguhan, sering terhadang Iron Dome, dan balasan Israel jauh lebih mematikan—rumah sakit, pasar, sekolah hancur. Di Indonesia, kita paham perjuangan melawan penjajah. Soekarno pernah bilang, “Kemerdekaan harus direbut!” Tapi di Gaza, rebutan itu berdarah, dan dunia seolah lupa.
Netanyahu menolak gencatan senjata, meski Hamas berulang kali menawarkan pertukaran tawanan. Reuters (April 2025) mencatat penolakan Israel terhadap proposal yang dimediasi Qatar, dengan Netanyahu bersumpah untuk “kemenangan total.” Keren, tapi kemenangan apa yang dia cari? Tawanan Israel sendiri terancam dalam serangan “habis-habisan” yang dia janjikan, seperti dilaporkan Haaretz (2025). Keluarga tawanan berunjuk rasa, menangis di jalanan Tel Aviv, tapi koalisi sayap kanan Netanyahu menuntut perang terus. Ini bukan kecanggihan, ini kekerasan yang buta. Dukungan AS—$3,8 miliar per tahun, kata Congressional Research Service (2024)—memberi Israel kebebasan, tapi untuk apa? Menghancurkan Gaza, bukan Hamas.
Laporan-laporan ini bukan sekadar berita; mereka cermin kegagalan kemanusiaan. Di Gaza, anak-anak tak lagi bermimpi menjadi dokter atau pilot—mereka hanya ingin hidup. WHO memperingatkan, 71.000 anak di bawah lima tahun berisiko malnutrisi akut dalam 11 bulan ke depan. Pusat perawatan gizi kehabisan stok, hanya mampu menangani 500 anak dari ribuan yang membutuhkan. Peeperkorn bilang, ini “siklus berbahaya”: kelaparan melemahkan tubuh, penyakit menyebar, rumah sakit tak berfungsi. Di Indonesia, kita tahu perjuangan melawan penindasan, tapi kita juga tahu diplomasi—Konferensi Meja Bundar 1949—membawa kemerdekaan. Gaza butuh itu, tapi dunia terpecah.
Israel menyebut ini perang melawan Hamas, tapi skala kematian—70% perempuan dan anak-anak, kata PBB (2025)—dan blokade yang mencekik menyerupai genosida bagi banyak pihak. Afrika Selatan menggugat Israel ke ICJ (2024), menyebut ini niat menghancurkan rakyat Palestina. Israel membantah, tapi tanpa bukti “markas Hamas” di rumah sakit, klaim mereka rapuh. Amnesty International (2024) mencatat serangan tak proporsional, seperti di al-Shujaiya dan al-Tuffah, yang menghapus keluarga dari daftar hidup. Ini bukan perang biasa; ini penderitaan yang dirancang.
Kita, yang duduk jauh di Indonesia, mungkin bertanya: apa yang bisa kita lakukan? Diamkah, atau berteriak? Di pasar tradisional kita, ibu-ibu masih menawar sayur, anak-anak berlarian. Di Gaza, pasar hancur, anak-anak terkubur. Solidaritas bukan sekadar kata; ini soal bertindak. Indonesia pernah menentang penjajahan, mengirim Sukarno ke sidang PBB untuk bersuara. Sekarang, dunia butuh suara itu lagi—untuk Gaza, untuk anak-anak yang tak pernah tahu apa itu damai.
Hamas melawan, seperti pejuang Indonesia dulu, tapi asimetri kekuatan mengerikan. Iron Dome menahan roket, tapi bom Israel tak punya hambatan. Dukungan AS memberi Israel keberanian, tapi juga tanggung jawab moral yang mereka abaikan. Gencatan senjata, yang ditawarkan Hamas, adalah jalan keluar, tapi Netanyahu memilih perang. Tawanan Israel, yang bisa diselamatkan, jadi korban ambisinya. Ini bukan kecanggihan; ini kegagalan kemanusiaan.
Saya menyerukan gencatan senjata, seperti Hamas, seperti PBB, seperti hati nurani kita. Blokade harus dibuka, bantuan harus mengalir, agar anak-anak Gaza tak lagi mati karena kelaparan. Investigasi independen, mungkin oleh ICC, harus mengungkap kebenaran di balik serangan seperti di Rumah Sakit Eropa Gaza. Palestina berhak melawan, seperti Indonesia dulu, tapi dunia harus membantu mereka merebut keadilan, bukan hanya nyawa. Kita bukan penutup telinga; kita manusia, dan Gaza adalah ujian kemanusiaan kita.
Malam di Khan Younis kini sunyi, tapi bukan damai. Reruntuhan rumah sakit berbisik tentang nyawa yang hilang, tentang harapan yang dipadamkan. Kita tak bisa mengembalikan mereka, tapi kita bisa menolak diam. Di Indonesia, kita tahu perjuangan itu panjang, berdarah, tapi juga penuh makna. Gaza bukan angka; mereka cerita, seperti kita. Dan cerita ini, dengan segala luka dan perlawanannya, menuntut kita untuk bertindak, untuk bersuara, untuk hidup sebagai manusia.