Opini
Gaza Berdarah, Israel Terpecah: Ironi Perang Tanpa Akhir

Di tengah puing-puing Gaza yang masih berasap, rumah sakit menerima 32 jasad dalam sehari, sembilan di antaranya diselamatkan dari reruntuhan, sementara 119 lainnya tiba dengan luka menganga, menjerit dalam diam. Ambulans tak bisa menjangkau, terhalang dentuman bom Israel yang tak kenal lelah. Sejak Oktober 2023, 52.567 nyawa melayang, 118.610 tubuh terluka—angka yang dingin, namun menyengat, seperti laporan Kementerian Kesehatan Palestina yang terbaru. Di sini, kematian adalah rutinitas, dan hidup adalah keajaiban yang rapuh, tergantung pada sisa bahan bakar rumah sakit yang cuma bertahan tiga hari. Realitas ini absurd, seperti menonton tragedi berulang di layar usang, tapi tak ada yang mengganti salurannya.
Di utara Gaza, fajar pecah dengan dentuman tiga misil yang menghantam apartemen di al-Karama, menewaskan 15 jiwa yang sedang terlelap—tanpa peringatan, tanpa belas kasih. Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil, menggambarkan upaya heroik menarik korban dari puing, tapi di Beit Lahia, rumah keluarga al-Attar yang jadi tempat perlindungan warga terlantar juga rata dengan tanah, menyisakan enam martyr dan beberapa jiwa yang hilang di bawah beton. Ini bukan sekadar serangan; ini adalah pernyataan—bahwa di Gaza, tak ada tempat aman, tak ada narasi suci tentang perlindungan warga sipil. Sementara itu, di Khan Younis, dua nyawa lain padam, dan di Rafah, tiga rumah lenyap dalam ledakan. Ironis, bukan? Dunia yang sibuk dengan konferensi perdamaian masih membiarkan bom berbicara lebih lantang daripada diplomasi.
Blokade Israel, yang kini memasuki bulan kedua, adalah senjata tak kasat mata yang sama mematikannya. UNRWA, dengan nada putus asa di X, menggambarkan anak-anak Gaza yang tidur dengan perut kosong, orang sakit yang ditinggalkan tanpa obat. Rumah sakit, tulang punggung terakhir kemanusiaan di sini, terancam kolaps karena Israel memblokir bahan bakar, dengan alasan “zona merah” yang samar. Hamas menuding ini sebagai upaya sengaja menciptakan kelaparan, dan sulit untuk tidak setuju. Bayangkan: sebuah “operasi militer” yang begitu canggih hingga mampu menghitung kalori yang masuk ke Gaza, tapi tak mampu—atau tak mau—membedakan antara kombatan dan anak kecil. Di Jakarta, kita mungkin mengeluh macet atau listrik padam, tapi di Gaza, keluhan itu adalah kemewahan; bertahan hidup adalah taruhan harian.
Sementara Gaza berdarah, di Israel, drama lain berlangsung—bukan di medan perang, tapi di koridor kekuasaan. Yitzhak Brik, jenderal tua yang tak lagi takut bicara, melempar bom verbal di Maariv: Hamas, katanya, telah “menang efektif” di Gaza. Hanya 10-25% terowongan Hamas yang hancur, dan 30.000 pejuang mereka masih berdiri tegak, bersenjata, terhubung melalui terowongan lintas batas ke Sinai. Brik mengejek narasi resmi Israel yang mengklaim kemajuan, menyebutnya ilusi yang dibungkus propaganda. Dia bahkan menuding Kepala Staf baru, Eyal Zamir, sebagai boneka Netanyahu, yang tahu perang ini sia-sia tapi tetap melaju demi ambisi politik. Ini seperti menonton kapten kapal yang tahu kapalnya bocor, tapi malah menambah kecepatan sambil tersenyum ke kamera.
Brik tak berhenti di situ. Dia memetakan ancaman yang mengepung Israel: Yaman sebagai front kedelapan, potensi aliansi Turki-Suriah, senjata yang diselundupkan dari Yordania, hingga kemungkinan serangan misil dari Iran. Di dalam negeri, ekstremisme berkembang, Tepi Barat bergolak, dan Hizbullah serta Hamas tetap menantang. “Kita tak siap perang multi-front,” kata Brik, dan ini bukan sekadar peringatan—ini adalah tamparan untuk bangun dari mimpi buruk yang diciptakan sendiri. Tapi di Tel Aviv, media masih sibuk menjual cerita kemenangan, dan publik, seperti kita yang kadang terjebak sinetron, terlanjur percaya.
Di sisi lain, keluarga sandera Israel menangis dalam keputusasaan. Forum Keluarga Sandera menuding pemerintah Netanyahu mengorbankan 59 tawanan di Gaza demi rencana “menaklukkan dan menguasai wilayah.” Bezalel Smotrich, menteri keuangan yang tak kenal kompromi, dengan bangga menyatakan Israel tak akan mundur dari Gaza, bahkan jika itu berarti mengorbankan sandera. “Kita akan menduduki Gaza, tak peduli apa pun,” katanya, seolah “pendudukan” adalah mantra ajaib yang akan menyelesaikan semua masalah. Ini ironis: sebuah negara yang mengklaim bertarung demi rakyatnya malah memilih tanah ketimbang nyawa. Herzi Halevi, mantan kepala staf, pernah bilang hanya kesepakatan dengan Hamas yang bisa membebaskan sandera, tapi suaranya tenggelam di bawah ambisi Smotrich dan Netanyahu.
Publik Israel, menurut jajak pendapat, tak sejalan dengan pemerintah. Lebih dari 70% mendukung kesepakatan tukar tahanan, bahkan jika itu berarti mengakhiri perang. Tapi di Gaza, kata “kesepakatan” terdengar seperti lelucon pahit. Hamas tetap teguh dalam negosiasi, dan Israel, meski menunda eskalasi penuh demi kunjungan Trump, terus melancarkan serangan terbatas untuk “menekan” Hamas. Tekanan ini, seperti yang kita lihat, hanya menambah angka korban—bukan solusi. Di warung kopi Jakarta, kita mungkin berdebat soal politik lokal, tapi di Gaza, politik adalah garis tipis antara hidup dan mati, dan saat ini, kematian yang menang.
Narasi ini bukan sekadar tentang Gaza atau Israel; ini tentang kita, yang menyaksikan dari jauh, tapi entah kenapa tetap diam. Dunia yang begitu terhubung dengan X dan berita instan ini, anehnya, tak mampu menghentikan mesin perang. Brik bicara soal “delusi media” di Israel, tapi bukankah kita juga terjebak dalam delusi kita sendiri? Kita mengklik “like” untuk petisi perdamaian, tapi besok lupa, sibuk dengan drama selebgram. Gaza, dengan 52.567 korban jiwanya, adalah cermin—bukan cuma untuk Israel, tapi untuk kemanusiaan yang sering lupa prioritasnya.
Laporan-laporan ini, dari angka korban hingga perpecahan di Israel, adalah serpihan dari mosaik yang lebih besar: sebuah dunia yang gagal belajar dari sejarah. Blokade yang mencekik Gaza bukan cuma soal bahan bakar atau makanan; ini tentang memutus harapan, tentang membuat hidup begitu sulit hingga menyerah terasa lebih mudah. Tapi Gaza, entah bagaimana, terus bertahan, seperti pohon zaitun yang tetap hijau di tengah badai. Dan di sisi lain, Israel, dengan semua kekuatan militernya, justru tampak rapuh—terpecah oleh ambisi, dikejar oleh bayang-bayang kegagalan.
Apa yang tersisa dari semua ini? Mungkin cuma pertanyaan yang menggantung: sampai kapan kita membiarkan angka-angka ini bertambah, sampai kapan kita menerima absurditas ini sebagai “berita biasa”? Di Gaza, anak-anak tidur dengan lapar, rumah sakit menanti kegelapan, dan bom terus bernyanyi. Di Israel, para jenderal berteriak, keluarga menangis, dan politisi sibuk dengan peta kekuasaan. Dan kita? Kita membaca, mengangguk, mungkin berdoa, tapi kemudian kembali ke rutinitas. Mungkin itulah ironi terbesar: dunia yang begitu pandai mencatat kematian, tapi begitu bodoh dalam mencegahnya. Mari tersenyum miris, lalu tanya diri sendiri—kapan kita benar-benar peduli?
Sumber: