Connect with us

Opini

Gaza Berdarah: Ironi Kemanusiaan di Bawah Bom Israel

Published

on

Di Gaza, angka-angka berteriak lebih keras ketimbang bom. Dalam 24 jam, 48 nyawa melayang, 142 lainnya terluka, korban agresi Israel yang tak kenal jeda, kata Kementerian Kesehatan setempat. Rumah sakit kebanjiran tubuh-tubuh berdarah, sementara jet tempur dan artileri terus menggerus kota. Di bawah reruntuhan, puluhan jiwa terperangkap, tak tersentuh ambulans, terhalang tembok dan peluru. Ini bukan sekadar perang—ini orkestra kematian, dimainkan dengan presisi yang mengerikan, di panggung yang sudah luluh lantak.

Di sudut Khan Younis, drone Israel menghantam Qizan Rashwan, merenggut satu nyawa, melukai lainnya. Artileri menimpali di Qizan al-Najjar, seolah tanah itu harus dihukum. Di Gaza City, Al-Sikka Street jadi ladang sasaran, Beit Lahia menyaksikan darah di pantai, dan seorang anak di al-Atatra terluka hanya karena berkumpul dengan tetangga. Sejak Oktober 2023, 52.615 orang tewas, 118.752 luka. Angka-angka ini bukan statistik; mereka adalah nama, wajah, mimpi yang dipadamkan.

Tapi tunggu, mari kita berhenti sejenak. Bayangkan: di Nuseirat, sebuah rumah dekat sekolah Al-Suwariha dibom, dua nyawa hilang, salah satunya seorang perempuan. Di Al-Bureij, tenda pengungsian yang seharusnya jadi tempat aman malah jadi kuburan—20 orang tewas, anak-anak di antaranya. Rumah sakit Al-Awda dan Al-Aqsa Martyrs kehabisan napas, pasien terlantar, dokter bekerja dengan tangan kosong. Ini bukan sekadar krisis; ini absurditas yang nyata, di mana hidup manusia dipermainkan seperti pion di papan catur.

Rumah sakit di Gaza, kata laporan, akan kolaps dalam 48 jam. Bahan bakar tak sampai, obat-obatan lenyap, listrik cuma mimpi. Bayangkan dokter yang harus memilih siapa hidup, siapa mati, di bawah lampu darurat yang kedip-kedip. UNRWA menyebut ini “hukuman kolektif,” dan memang, apa lagi namanya? Blokade Israel menutup pintu bantuan, meninggalkan 2 juta jiwa dalam jerat kelaparan dan penyakit. Ini bukan strategi militer; ini kejam dengan sengaja.

Lalu ada Insherah, seorang ibu dari Jabalia. Dia merangkak di bawah hujan peluru, hanya untuk mengambil sekantong tepung dari reruntuhan rumahnya. Tepung itu, harapan terakhir anak-anaknya, kini tercecer di tanah, bercampur debu dan darah. “Saya cuma ingin anak-anak saya makan,” katanya. Ironis, bukan? Di abad 21, seorang ibu harus mempertaruhkan nyawa untuk tepung, sementara dunia sibuk dengan konferensi dan veto di PBB.

Majeed Dabbour, sopir tuk-tuk di Nuseirat, punya cerita serupa. Dia menempuh jalan berdebu, penuh bahaya, demi mengangkut tepung yang seringkali sudah busuk. “Setiap mobil di jalan adalah sasaran,” katanya. Jadi, dia pakai tuk-tuk, kendaraan yang lebih cocok untuk pasar minggu ketimbang medan perang. Ini Gaza hari ini: orang-orang mempertaruhkan nyawa untuk roti, sementara jet tempur mengintai dari langit. Realitas yang nyaris lucu, kalau tak begitu tragis.

Hamas menyebut ini genosida, Israel bilang mereka cuma buru “teroris.” Tapi ketika sekolah, rumah sakit, dan kamp pengungsian jadi sasaran, siapa yang bisa percaya narasi sederhana? Hukum internasional, yang katanya suci, terasa seperti lelucon di sini. Konvensi Jenewa melindungi warga sipil, rumah sakit, tempat ibadah—tapi di Gaza, semua itu cuma kertas usang. Serangan ke Al-Bureij, yang menewaskan 20 orang di tenda UNRWA, adalah tamparan bagi siapa saja yang masih percaya pada “proporsionalitas.”

Mari kita bicara soal blokade. Sejak Maret 2025, Israel menutup akses bantuan, dari makanan sampai bahan bakar. Hasilnya? 90% penduduk Gaza jadi pengungsi, hidup di tenda-tenda reyot, tanpa air bersih, tanpa harapan. UNRWA bilang ini “bencana kemanusiaan yang semakin dalam,” tapi kata-kata itu terasa kosong. Ketika anak-anak mati kelaparan, ketika ibu-ibu mengais tepung dari reruntuhan, apa gunanya pernyataan resmi kalau tak ada tindakan?

Di Deir al-Balah, dua orang tewas dalam serangan udara. Di Al-Ma’sakar, drone merenggut dua nyawa lagi. Setiap hari, cerita yang sama: bom jatuh, nyawa hilang, dunia diam. Media internasional kadang menyiarkan, tapi seringkali dengan narasi yang steril, penuh “kedua belah pihak.” Tapi di mana keseimbangannya ketika satu pihak punya jet tempur, tank, dan blokade, sementara pihak lain cuma punya tuk-tuk dan doa?

Saya teringat obrolan di warung kopi Jakarta, di mana orang-orang sering bilang, “Ya Tuhan, Gaza lagi, kapan selesainya?” Tapi ini bukan drama sinetron yang bisa diselesaikan dalam 30 episode. Ini soal nyawa, martabat, dan kegagalan kita semua. Kita, yang menonton dari jauh, menikmati kopi dan Wi-Fi, sementara di Gaza, orang-orang bertarung untuk sesuap nasi. Ada rasa malu yang menggerogoti, tapi juga kemarahan—pada dunia yang membiarkan ini terus berulang.

Laporan Al Mayadeen mungkin punya bias, seperti semua media. Tapi ketika UNRWA, WHO, bahkan dokter-dokter tanpa batas bilang hal yang sama—bahwa Gaza sedang dihancurkan secara sistematis—sulit untuk menutup mata. Tuduhan “genosida” bukan cuma retorika; ini soal fakta di lapangan: 52.615 tewas, rumah sakit lumpuh, anak-anak kelaparan. Kalau ini bukan genosida, lalu apa? Pembersihan etnis versi modern? Atau cuma “operasi militer” yang kelewat rajin?

Sikap komunitas internasional, kalau boleh jujur, adalah lelucon pahit. Dewan Keamanan PBB, dengan veto-veto ajaibnya, lebih mirip klub debat ketimbang penyelamat nyawa. Mesir dan Qatar coba mediasi, tapi tanpa tekanan nyata dari AS atau Eropa, Israel tak akan berhenti. Sementara itu, bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan, dan warga Gaza terus mati—bukan cuma karena bom, tapi karena kelaparan, penyakit, dan keputusasaan.

Bayangkan jadi dokter di Al-Awda Hospital, menjahit luka tanpa anestesi, mendengar jeritan pasien sambil tahu bahwa generator akan mati dalam hitungan jam. Atau jadi Insherah, yang cuma ingin anak-anaknya tak tidur lapar. Ini bukan soal politik, bukan soal Hamas atau Netanyahu. Ini soal kemanusiaan—orang-orang biasa yang dihukum karena lahir di tempat yang salah. Dan dunia, dengan segala kemajuan teknologinya, memilih diam.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Menulis di medsos? Berdemo? Menyumbang? Semua itu penting, tapi tak cukup. Gaza butuh gencatan senjata, investigasi independen, dan bantuan yang nyata—sekarang, bukan besok. Kita perlu menekan pemerintah, boikot produk yang mendukung agresi, dan berhenti pura-pura ini cuma “konflik Timur Tengah” yang jauh di sana. Karena setiap bom yang jatuh di Gaza adalah noda di hati nurani kita semua.

Saya menulis ini dengan rasa muak yang elegan, kalau boleh bilang. Muak pada kebrutalan yang disamarkan sebagai “pertahanan diri,” pada dunia yang lebih peduli pada geopolitik ketimbang nyawa anak-anak. Tapi saya juga menulis dengan harapan—harapan bahwa kita, entah di Jakarta, London, atau New York, masih punya cukup empati untuk bergerak. Gaza bukan cuma nama di peta; itu cermin yang memperlihatkan siapa kita sebenarnya. Dan cermin itu, sayangnya, penuh retak.

Mari tertawa miris, lalu berpikir: kalau kita tak bertindak, siapa lagi? Insherah tak punya waktu menunggu, Majeed tak bisa terus mengemudi di bawah bom, dan dokter-dokter di Al-Awda tak bisa menyelamatkan nyawa dengan tangan kosong. Gaza adalah ujian kemanusiaan kita—dan sejauh ini, kita gagal dengan sangat gemilang.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *