Connect with us

Opini

Gaza Berdarah, Dunia Arab Masih Sibuk Berdiplomasi

Published

on

Apa yang sedang berlangsung di Gaza bukan hanya sebuah tragedi kemanusiaan—ia adalah pertunjukan horor yang diputar ulang setiap hari dengan penonton yang, alih-alih menjerit, justru memilih menyetel volume lebih pelan agar tidak mengganggu makan malam mereka. Dalam sebuah pernyataan yang tajam dan penuh kemarahan, Syaikh Naim Qassem, Sekretaris Jenderal Hizbullah, menyebutnya sebagai perang genosida Amerika–Israel yang didiamkan dunia. Dan ketika seorang pemimpin gerakan perlawanan bersuara lantang, sementara negara-negara Arab justru bergeming, kita tahu ini bukan sekadar soal politik. Ini soal martabat yang tenggelam bersama reruntuhan Gaza.

Lebih dari 59 ribu nyawa melayang, 142 ribu lebih luka-luka, dan dua juta lebih manusia mengantri maut setiap hari, bukan di medan perang, tapi di reruntuhan rumah sakit, tenda pengungsian, dan puing-puing dapur yang kosong. Di tengah bencana ini, yang terdengar justru pernyataan-pernyataan klise dari para pemimpin Arab: “Kami prihatin,” “Kami menyerukan gencatan senjata,” “Kami mendesak komunitas internasional untuk bertindak.” Oh, betapa elegan bahasa diplomasi itu—dingin, steril, dan sangat cocok untuk dibacakan sambil menyesap kopi Turki.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sheikh Qassem menyebut diamnya dunia sebagai “kebisuan yang memalukan”, dan mungkin itu kata paling sopan untuk menyebut pengkhianatan. Karena, mari kita jujur: ini bukan sekadar keheningan karena takut. Ini adalah kesepakatan diam-diam. Persekongkolan pasif yang menyelipkan kenyamanan bisnis di balik penderitaan manusia. Negara-negara Arab yang dulu bersumpah demi Palestina, hari ini malah berlomba membuka kantor dagang, menyambut pejabat zionis dengan karpet merah yang mungkin dijahit oleh tangan-tangan pengungsi yang kehilangan tanahnya.

Di balik jargon solidaritas, banyak negara Arab justru menjadi pemilik saham paling besar dalam diam. Mereka tidak perlu membom Gaza. Cukup menjaga hubungan baik dengan pelakunya, dan membiarkan embargo kemanusiaan terus berlangsung. Lihat saja Rafah. Bukan Israel yang mengontrol gerbangnya, tapi Mesir—yang tetap membiarkan ribuan truk bantuan menumpuk seperti janji-janji yang tak pernah ditepati. Ketika satu liter air menjadi lebih mahal dari selembar resolusi PBB, kita tahu absurditas telah resmi jadi norma.

Lucunya, banyak dari para pemimpin Arab ini justru lebih sibuk mengatur narasi di media sosial ketimbang membuka jalur bantuan. Mereka mengutuk kekerasan, tapi tetap meneken kontrak kerja sama militer dengan negara yang melakukannya. Mereka berdoa untuk Gaza, tapi mengizinkan jet tempur pembom Gaza mengisi bahan bakar di pangkalan mereka. Jika ini bukan ironi paling telanjang, saya tak tahu apa lagi yang layak disebut pengkhianatan.

Dunia internasional? Jangan berharap banyak. Mereka terlalu sibuk dengan definisi “hak membela diri” yang ajaib itu—yang rupanya hanya berlaku sepihak. Amerika Serikat, dengan kebanggaan liberalnya, telah memveto lebih banyak resolusi gencatan senjata daripada jumlah negara yang mengakui Palestina sebagai negara. Dan Uni Eropa? Mereka menjual senjata sambil menyumbang selimut. Kombinasi yang brilian: bunuh dulu, bantu setelahnya.

Di sela kematian dan kelaparan yang terus bertambah, muncul tokoh-tokoh seperti Qassem yang menyuarakan kemarahan moral. Tapi suara itu kerap ditertawakan sebagai ekstremis, padahal justru keberadaannya menjadi pengingat bahwa kemanusiaan belum sepenuhnya mati. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang ekstrem? Mereka yang menuntut agar genosida dihentikan, atau mereka yang membungkamnya demi stabilitas pasar regional?

Pernyataan Qassem dan Hamas bukan hanya luapan emosi. Di balik retorikanya yang membakar, terselip fakta telanjang: ribuan orang mati kelaparan sambil dunia menonton. Bahkan laporan resmi menyebut lebih dari seribu orang tewas saat mencoba mencari bantuan makanan. Ini bukan hanya soal perang. Ini pembiaran yang sistematis. Dan dunia Arab—dengan segala kekayaan dan kekuasaannya—adalah kaki tangan yang paling sempurna dalam menyempurnakan penderitaan itu.

Tentu, tidak semua negara Arab sama. Tapi ketika yang berani berbicara adalah minoritas, dan yang berani bertindak adalah segelintir, kita patut bertanya: untuk siapa sebenarnya Liga Arab itu berdiri? Untuk Palestina, atau untuk mempertahankan status quo yang nyaman bagi penguasa?

Saya tidak ingin terjebak dalam nostalgia romantis tentang dunia Arab yang bersatu. Itu terlalu naif. Tapi saya juga tidak bisa menahan rasa marah dan getir melihat negeri-negeri yang dulu memimpin gerakan nonblok, hari ini justru memblokir truk bantuan. Negeri-negeri yang dulu meneriakkan “anti-imperialisme”, hari ini justru menjadi mitra dagang utama kekuatan imperialis. Apa kabar nasionalisme Arab?

Kita di Indonesia, mungkin merasa aman karena jauh dari dentuman bom dan suara pesawat tempur. Tapi jangan salah, diam kita juga ditulis sejarah. Ketika dunia Islam menjadi penonton, dan dunia Barat menjadi sponsor, maka dunia ketiga seperti kita justru punya peluang untuk menjadi suara moral. Tapi suara itu tidak akan terdengar kalau kita sendiri terlalu sibuk berdebat soal drama pemilu atau harga pulsa. Palestina bukan hanya isu luar negeri—ia adalah cermin nurani. Dan cermin itu sedang pecah.

Saat Syaikh Qassem berkata bahwa “sejarah akan mencatat para pemimpin yang diam,” saya tidak bisa tidak merasa tertohok. Sebab diam bukan lagi netral. Ia telah menjadi bentuk partisipasi. Dan dalam kasus Gaza, partisipasi itu adalah pada penderitaan, bukan penyelamatan.

Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana: berapa banyak anak Gaza yang harus mati agar satu pemimpin Arab merasa cukup terganggu untuk bertindak? Dan kalau jawabannya adalah “tak satu pun,” maka benarlah yang dikatakan sejarah: bahwa yang membunuh bukan hanya senjata, tapi juga diam yang dipelihara.

Gaza bukan sekadar wilayah. Ia adalah luka terbuka dalam wajah umat manusia. Dan selama luka itu terus berdarah sementara para penguasa Arab sibuk mencuci tangan, kita tahu bahwa keadilan belum lahir—dan dunia belum pantas disebut beradab.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer