Connect with us

Opini

Gas Melon Raib: Salah Putin, Trump, atau Kebijakan?

Published

on

Mulai 1 Februari 2025, rakyat Indonesia mendapatkan tantangan baru dalam kehidupan mereka: berburu gas LPG 3 kg layaknya petualangan Indiana Jones. Pemerintah, dengan dalih niat baik dan janji manis subsidi tepat sasaran, memutuskan hanya pangkalan resmi yang boleh menjual gas melon ini. Apa yang terjadi di lapangan? Pedagang kecil menjerit, pengecer menghilang, dan antrean di pangkalan mengular seperti festival diskon akhir tahun.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan bahwa kebijakan ini bertujuan memastikan pasokan tetap tersedia dan harga sesuai aturan. Logika yang luar biasa! Barang yang seharusnya tersedia justru semakin sulit ditemukan. Pedagang gorengan seperti Samidi di Kemanggisan Ilir kini harus menghentikan usahanya karena gas langka. Apakah pemerintah ingin mendidik masyarakat untuk berpuasa sepanjang tahun?

Sementara itu, di warung-warung pengecer, pemandangan semakin muram. Sumarni, yang biasanya memiliki stok 10 tabung, kini hanya bisa menatap kosong rak-raknya yang kosong. Pak Amron yang biasanya menjual 20 tabung per hari kini hanya bisa meratapi takdir. Tapi tenang saja, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sudah memastikan bahwa kelangkaan ini hanyalah ilusi. Kalau kata pejabat, rakyat yang salah lihat!

Menurut Bahlil, alasan pengecer dilarang menjual gas subsidi adalah karena ada kelompok yang membeli dalam jumlah tak wajar dan memainkan harga. Solusinya? Hapus pengecer! Logika sederhana ini seolah meyakinkan bahwa jika terjadi pencurian di pasar, maka solusinya bukan menangkap pencuri, tetapi menutup seluruh pasar. Cerdas sekali!

Bahlil menambahkan bahwa dengan pembelian di pangkalan, harga bisa dikontrol sesuai HET. Tapi pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin bahwa semua pangkalan beroperasi dengan jujur? Siapa yang mengawasi agar masyarakat yang berhak benar-benar mendapat gas tanpa harus antre berjam-jam? Pemerintah sibuk dengan niat baik, tapi lupa dengan realitas di lapangan.

Sementara rakyat kebingungan mencari gas, muncul teori konspirasi yang lebih masuk akal: apakah kelangkaan ini efek dari perang tarif Trump? Atau mungkin Putin memutus pasokan gas ke Eropa, lalu dampaknya merembet ke Indonesia? Bisa jadi alien dari galaksi Andromeda juga ikut memborong LPG 3 kg. Semua teori lebih masuk akal ketimbang logika pemerintah yang mengatakan tidak ada kelangkaan.

Seperti biasa, pemerintah akan berdalih bahwa kebijakan ini sudah melalui riset dan perencanaan matang. Mungkin mereka melakukan penelitian di dunia paralel, di mana rakyat selalu patuh, distribusi berjalan lancar, dan semua kebijakan diterima dengan penuh syukur. Sayangnya, di dunia nyata, kebijakan ini terlihat seperti eksperimen tanpa simulasi yang ujung-ujungnya menyusahkan rakyat kecil.

Jika memang ingin subsidi tepat sasaran, mengapa tidak dilakukan secara bertahap? Mengapa tidak memastikan terlebih dahulu bahwa infrastruktur pendukung siap? Jika ingin menghapus pengecer, pastikan dulu pangkalan cukup dan mudah dijangkau. Tapi tampaknya, bagi pemerintah, keputusan bisa diambil dulu, masalah baru dipikir belakangan. Toh, rakyat sudah biasa hidup susah.

Lalu bagaimana nasib pedagang kecil yang bergantung pada LPG 3 kg? Apakah mereka harus mulai mempertimbangkan alternatif seperti memasak dengan kayu bakar atau kembali ke zaman batu? Jangan-jangan nanti pemerintah akan mengeluarkan kebijakan subsidi batu bara untuk rakyat yang terpaksa beralih ke tungku tradisional. Siapa tahu, demi niat baik, kita bisa sekalian nostalgia ke masa lalu.

Di tengah semua kegaduhan ini, satu hal yang pasti: rakyat kecil selalu menjadi korban. Pemerintah bisa berbusa-busa bicara soal niat baik, tapi realitasnya adalah antrean panjang, pedagang yang kesulitan, dan distribusi yang amburadul. Seharusnya, kebijakan dibuat untuk mempermudah hidup rakyat, bukan malah membuat mereka harus berjuang lebih keras hanya untuk memasak.

Pada akhirnya, kita hanya bisa menunggu apakah pemerintah akan tetap kukuh dengan kebijakan ini, atau akhirnya sadar bahwa memaksakan sesuatu tanpa kesiapan hanya akan berujung pada kekacauan. Tapi melihat rekam jejaknya, besar kemungkinan rakyatlah yang harus beradaptasi, sementara pemerintah tetap sibuk mencari alasan. Selamat berburu gas, wahai rakyat jelata!

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *