Connect with us

Opini

Gaji Bukan Tolak Ukur Sehat dan Pintar, Pak Menteri!

Published

on

Di sebuah ruangan berpendingin sejuk, di tengah Jakarta yang kian sesak, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melempar pernyataan yang seolah sederhana, namun mengguncang: orang bergaji Rp 15 juta per bulan, katanya, lebih sehat dan pintar ketimbang mereka yang cuma Rp 5 juta. Sorak tawa kecil mungkin terdengar di antara hadirin, tapi di luar sana, di warung-warung kopi, di grup WhatsApp kampung, kegelisahan merayap. Apa maksudnya ini? Apakah mayoritas rakyat Indonesia, yang berpenghasilan jauh di bawah angka ajaib itu, sedang dinyatakan bodoh dan sakit-sakitan? Ada absurditas di sini, sesuatu yang membuat kita ingin tertawa getir, tapi juga mengepalkan tangan. Indonesia Emas 2045, visi megah yang Budi jadikan payung, tiba-tiba terasa seperti mimpi yang mengejek mereka yang berjuang di bawah bayang-bayang UMR.

Budi bicara dengan semangat, matanya mungkin berbinar, menjelaskan bahwa Indonesia harus jadi high-income country dengan pendapatan per kapita USD 14.000 per tahun—setara Rp 15 juta sebulan—agar layak disebut “emas.” Angkanya matematis, dingin, dihitung dari total pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk. Tapi, tunggu dulu, ini bukan berarti setiap orang harus punya gaji Rp 15 juta, kan? Budi seolah lupa menjelaskan itu. Ia malah meluncur ke logika yang licin: gaji besar hanya dimiliki mereka yang sehat dan pintar. Kalau gajimu cuma Rp 5 juta, ya, menurut logika ini, kamu mungkin kurang olahraga atau jarang buka buku. Ironis, bukan? Di negeri di mana petani, buruh, dan pedagang kaki lima adalah tulang punggung ekonomi, pernyataan ini seperti tamparan halus yang dibalut senyum.

Mari kita ke data, biar tak terjebak emosi. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2023, rata-rata pendapatan pekerja formal di Indonesia cuma Rp 3,3 juta per bulan. Pekerja informal, yang jumlahnya 56% dari total tenaga kerja, bahkan lebih parah: Rp 1,5-3 juta. Artinya, mayoritas rakyat Indonesia hidup di bawah “standar emas” Budi. Lalu, apakah mereka semua tidak sehat dan tidak pintar? Tentu saja tidak. Petani di Jawa Tengah yang bangun subuh, mengayuh sepeda ke sawah, dan makan dari hasil kebunnya sering kali lebih bugar ketimbang eksekutif Jakarta yang terjebak macet dan stres. Guru honorer di pelosok Sulawesi, dengan gaji Rp 1 juta, bisa jadi lebih cerdas dalam mengelola kehidupan ketimbang manajer bergaji puluhan juta yang cuma pandai main networking. Budi seolah lupa, kesehatan datang dari olahraga dan pola makan, bukan dompet tebal. Kecerdasan lahir dari belajar dan pengalaman, bukan rekening bank.

Tapi Budi punya maksud, katanya, untuk memotivasi. Motivasi macam apa ini? Alih-alih menggugah, pernyataannya seperti menyiram air dingin ke muka mereka yang berjuang. Bayangkan seorang ibu penjual sayur di pasar, yang tiap hari bangun jam tiga pagi, menghitung untung Rp 50 ribu sehari. Apa ia harus merasa rendah diri karena gajinya tak sampai Rp 15 juta? Apa ia harus meragukan kesehatan anak-anaknya yang lari-lari di gang sempit, atau kecerdasan mereka yang belajar dari buku bekas? Ini bukan motivasi, ini justru narasi yang medownkan, yang membuat rakyat merasa kecil di depan visi megah bernama Indonesia Emas. Budi bilang, kalau gaji di bawah Rp 15 juta, kita belum negara maju. Lalu, apakah petani yang menyuplai beras kita, atau sopir angkot yang mengantar kita, bukan bagian dari “kemajuan” itu?

Ada falasi di sini, dan ironinya mencolok. Budi menyederhanakan Indonesia Emas menjadi soal gaji individu, padahal visi itu jauh lebih luas: pendapatan per capita tinggi, kemiskinan nol, pendidikan dan kesehatan prima, ekonomi berdaya saing. Ia seperti membangun strawman, musuh imajiner yang gampang diserang: kalau gajimu kecil, ya kamu kurang sehat dan kurang pintar. Padahal, data menunjukkan sebaliknya. Skor PISA Indonesia 2022, misalnya, memang di bawah rata-rata OECD, tapi itu soal kualitas sistem pendidikan, bukan karena rakyat “bodoh.” Penyakit seperti diabetes dan hipertensi, yang Budi sebut sebagai pembunuh utama, menyerang semua kelas sosial, tak peduli gaji. Eksekutif bergaji Rp 15 juta pun bisa diabetes kalau hidupnya cuma duduk, ngopi, dan makan fast food. Sementara, buruh bangunan yang gajinya Rp 3 juta mungkin punya jantungan lebih sehat karena kerja fisik tiap hari.

Lebih jauh, pernyataan ini berpotensi jadi dalih berbahaya. Kalau Indonesia Emas tak tercapai di 2045, akankah pemerintah bilang, “Maaf, rakyatnya kurang sehat dan pintar”? Ini seperti melempar tanggung jawab ke pundak rakyat, padahal kebijakan makro—anggaran pendidikan cuma 3,5% PDB, rumah sakit di pelosok yang minim alat, upah minimum yang tak manusiawi—jauh lebih menentukan. Budi sendiri menyebut program cek kesehatan gratis yang sudah menjangkau 5,8 juta orang per Mei 2025. Bagus, ini langkah nyata. Tapi kenapa harus dirusak dengan narasi yang menyalahkan individu? Kenapa tak bilang, “Kami perbaiki sistem kesehatan dan pendidikan, supaya semua bisa sehat dan terampil, tak peduli gaji”?

Konteks lokal makin mempertegas absurditas. Di Indonesia, gaji bukan cermin kompetensi. Banyak lulusan S2 jadi driver ojol, gajinya Rp 4 juta, karena lapangan kerja sempit. Sebaliknya, ada influencer yang gajinya puluhan juta cuma karena jago bikin konten joget. Apa ini berarti driver ojol kurang pintar, dan influencer lebih sehat? Rasanya ingin nyanyi lagu Iwan Fals: “Di mana-mana di belantara Jakarta, orang kecil selalu jadi penutup.” Budi seolah lupa, ketimpangan struktural—akses pendidikan timpang, kesehatan mahal, koneksi lebih berkuasa ketimbang skill—adalah musuh nyata, bukan gaji kecil rakyat.

Sindiran halus Budi, seperti soal ukuran celana 33 yang bikin cepat “menghadap Allah,” mungkin dimaksudkan jenaka. Tapi di telinga rakyat, itu cuma memperpanjang daftar pernyataan blak-blakannya yang tak sensitif. Ingat waktu ia bilang dokter umum boleh operasi caesar? Publik gaduh, tapi Budi tetap santai. Gaya komunikasinya memang mengundang perhatian, tapi sering kali malah memicu kemarahan. Seorang menteri, apalagi di posisi sensitif seperti kesehatan, seharusnya punya empati yang lebih tajam dari pisau bedah. Katakanlah: “Kami bantu rakyat hidup sehat dengan puskesmas yang dekat, dokter yang cukup, dan edukasi yang tak bikin pusing.” Itu lebih membumi ketimbang narasi gaji yang terasa seperti vonis.

Pada akhirnya, Indonesia Emas bukan soal angka Rp 15 juta di slip gaji. Itu soal petani yang bisa panen tanpa takut banjir, guru yang digaji layak, anak-anak yang sekolah tanpa kelaparan. Budi bilang kesehatan dan pendidikan kunci, dan saya setuju. Tapi kunci itu tak cuma di tangan rakyat, melainkan juga pemerintah. Jangan suruh rakyat lari marathon kalau jalannya masih berlubang. Jangan panggil mereka bodoh kalau buku pelajarannya masih usang. Dan jangan, jangan bilang mereka tak sehat hanya karena dompetnya tipis. Indonesia Emas harusnya mimpi yang merangkul, bukan yang menuding. Kalau tidak, kita cuma akan tersenyum getir, sambil berkata dalam hati, “Emas buat siapa, Pak?”

Jadi, mari kita pikir: apa benar gaji menentukan nilai kita? Atau justru keberanian kita bertahan, meski cuma dengan Rp 3 juta sebulan, yang bikin Indonesia bercahaya? Saya pilih yang kedua. Dan kalau Budi dengar, mungkin ia akan tersenyum, lalu—semoga—berpikir ulang sebelum bicara.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *