Opini
Francesca Albanese vs Hukum Rimba Bernama Amerika

Pada 9 Juli kemarin, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio mengumumkan sanksi terhadap Francesca Albanese—seorang Pelapor Khusus Dewan HAM PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki. Ia menuduh Albanese telah meluncurkan “kampanye politik dan ekonomi yang memalukan dan tidak sah” karena mendorong Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyelidiki para pejabat, perusahaan, dan eksekutif dari AS serta sekutunya yang tak pernah bersalah: Israel. Begitu, katanya. Dengan wajah datar. Dan dada membusung bangga.
Mari kita ulang pelan-pelan: seorang pejabat tinggi negara adidaya menjatuhkan sanksi kepada seorang pakar hukum internasional karena… karena dia menjalankan tugasnya? Karena ia menyerukan akuntabilitas? Karena ia menyebut nama perusahaan yang ikut menangguk untung dari tumpukan puing dan mayat anak-anak di Gaza? Di dunia waras, ini adalah lelucon yang pahit. Tapi di dunia kita—dunia yang tengah digenggam erat oleh para pedagang senjata dan algoritma predator—ini adalah kebijakan luar negeri yang sah.
Francesca Albanese menyusun laporan tebal berisi lebih dari 200 masukan dari negara, organisasi HAM, akademisi, dan bahkan perusahaan. Ia tidak sekadar mengoceh di Twitter sambil menyeruput kopi Starbucks. Ia menyelidiki. Ia menulis. Ia membuka kedok. Ia menyebut lebih dari 60 perusahaan yang terlibat dalam ekonomi pendudukan—dari Lockheed Martin hingga Microsoft, dari Caterpillar sampai Amazon. Dan tentu, ini sangat menghina para pemain besar. Dalam sistem global hari ini, mengungkap kebenaran lebih berbahaya daripada menjatuhkan bom.
Bila Anda masih percaya bahwa AS adalah pembela demokrasi, pelindung kebebasan, dan penjaga hak asasi manusia, mungkin sudah waktunya Anda membuka mata dan menutup koran lama. Negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum justru menghukum mereka yang menuntut keadilan. Negeri yang katanya menjunjung kebebasan justru membungkam pelapor pelanggaran. Ironi apa yang lebih memesona dari ini?
Rubio menyebut laporan Albanese sebagai bentuk “lawfare”—perang hukum. Istilah ini menarik, karena yang sedang dipersoalkan bukan perang, tapi hukum. Tapi begitulah logika kekuasaan: ketika hukum menyentuh yang kuat, ia disebut alat perang. Namun saat menghantam yang lemah, itu adalah “penegakan hukum yang sah”. Maka, muncullah satu lagi adagium kontemporer: jika kamu tak bisa melawan bukti, sanksilah pembuat bukti.
Lucunya, Amerika yang selama ini mengklaim diri sebagai sponsor utama keadilan global, justru makin gencar memerangi hukum internasional. Bulan lalu, mereka menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim ICC karena menyelidiki kejahatan perang AS dan Israel. Dan kini, mereka melanjutkan pertunjukan dengan menyerang sang pelapor. Ini bukan sekadar paranoia; ini adalah supremasi kekuasaan yang telanjang—tapi dengan jas Armani dan senyum hangat saat konferensi pers.
Bayangkan jika seorang pelapor PBB menyusun laporan yang menyebut nama perusahaan Indonesia terlibat dalam kejahatan kemanusiaan. Apa reaksi kita? Mungkin kita akan panik, mungkin membela diri. Tapi apakah kita akan menjatuhkan sanksi pribadi kepada pelapor itu? Mencekalnya masuk ke negara? Membekukan asetnya? Tentu tidak, karena kita masih punya rasa malu. Amerika tampaknya sudah menjual rasa malu itu di bursa saham, bersama prinsip-prinsip lainnya.
Dalam laporan Albanese yang berjudul From Economy of Occupation to Economy of Genocide, disebutkan bagaimana berbagai perusahaan global secara sadar ikut menopang mesin kekerasan zionis. Ada teknologi pengawasan. Ada kecerdasan buatan. Ada senjata pintar yang menghancurkan rumah sakit dan sekolah. Semua bekerja rapi. Tertata. Profit masuk. Nyawa melayang. Dunia menyaksikan. Tapi siapa yang bersalah? Tentu saja bukan mereka yang memproduksi peluru, melainkan mereka yang berani bertanya siapa sebenarnya yang menarik pelatuk.
Inilah yang disebut kebal hukum versi elite global. Amerika tak hanya ingin tak tersentuh oleh hukum internasional, mereka juga ingin menulis ulang definisi keadilan. Apa pun yang mereka lakukan adalah pembelaan diri. Apa pun yang Anda lakukan untuk menentangnya adalah “perang ekonomi.” Mereka ingin Anda percaya bahwa bom yang mereka jatuhkan adalah bunga mawar bagi demokrasi. Dan jika Anda tak percaya, Anda akan disanksi.
Sebagai orang Indonesia, kita tahu betapa kuatnya pengaruh narasi Barat dalam membentuk opini publik. Mereka punya media, punya algoritma, punya jaringan diplomatik yang canggih. Tapi apa yang mereka tidak punya adalah moral untuk mengakui: kami salah. Mereka lebih memilih menjatuhkan sanksi kepada seorang pelapor daripada menghadapi kenyataan bahwa negara mereka ikut menumpuk mayat di Gaza dengan dalih “membela sekutu.”
Satu hal yang patut disayangkan: mengapa suara dunia begitu senyap? Mengapa PBB tidak serempak mengecam sanksi terhadap pelapor mereka sendiri? Mengapa para pembela HAM dari negara-negara besar hanya bersuara dalam bisik? Dunia tampaknya telah sampai pada titik di mana mengutuk penjajahan lebih berisiko daripada menjadi bagian darinya. Mereka yang berdiri untuk keadilan dianggap radikal. Sementara mereka yang mendanai perang disebut mitra strategis.
Jika Francesca Albanese dijatuhkan hanya karena ia menyuarakan apa yang sudah menjadi jeritan korban selama puluhan tahun, maka kita semua sedang menyaksikan pembunuhan lambat atas integritas hukum internasional. Dan pembunuhnya tak lain adalah mereka yang selama ini paling lantang berbicara soal demokrasi dan hak asasi manusia. Ironi global itu kini makin matang, makin sarkastik, dan makin tak tahu malu.
Jadi, bila suatu hari nanti Anda membaca pernyataan resmi AS yang menyebut mereka sedang “menegakkan hukum internasional” di suatu wilayah konflik, ingatlah ini: mereka mungkin sedang mengebom rumah sakit, mendanai drone, atau menjatuhkan sanksi pada orang-orang yang terlalu jujur untuk didiamkan.
Dan ya, dunia ini bukan hanya kehilangan rasa malu. Dunia sedang belajar, dari sang guru besar bernama Amerika Serikat, bahwa hukum bisa dibeli, moral bisa disewakan, dan kebenaran… bisa dibungkam, asalkan Anda punya cukup kekuasaan, cukup peluru, dan cukup narasi “self-defense.”
Sumber: