Opini
Fonbita: Kuburan Sunyi di Negeri yang Terlupakan

Fonbita bukan sekadar nama tempat. Ia adalah kuburan massal yang dunia putuskan untuk lupakan. Sebuah desa kecil di Niger, tempat yang tak masuk dalam radar politik global, tempat nyawa lebih murah daripada segelas kopi di kafe Paris. Tapi di sanalah, di sebuah sore yang damai, 44 nyawa melayang dalam sekejap, ditembaki tanpa ampun saat bersujud dalam doa. 13 lainnya luka-luka, sebagian sekarat menunggu ajal di ranjang rumah sakit yang lebih mirip kamar mayat. Pelakunya? Militan Islamic State in the Greater Sahara (ISGS), kelompok yang tak lagi berjuang demi ideologi, tapi demi teror dan darah.
Pemerintah Niger mengutuk serangan ini. Menteri Dalam Negeri Mohamed Toumba muncul di layar televisi dengan wajah tegang, mengumumkan hari berkabung, mengibarkan bendera setengah tiang, dan bersumpah memburu pelaku. Tapi sumpah semacam itu sudah terlalu sering diucapkan. Fonbita mungkin berduka hari ini, tapi besok, ia akan tenggelam dalam kesunyian, dilupakan dunia seperti ratusan desa lain yang bernasib sama di Afrika Barat.
Fonbita hanyalah satu titik dalam lautan kekerasan yang melanda wilayah Sahel. Konflik bersenjata di sana bukan sekadar urusan militan dan pemerintah, tetapi sebuah kompleksitas yang melibatkan banyak kepentingan. Negara-negara besar seperti Prancis, Amerika Serikat, bahkan kekuatan regional seperti Nigeria dan Aljazair, semuanya memiliki kepentingan yang bermain dalam pusaran kekerasan ini. Mereka memiliki pangkalan militer, strategi geopolitik, dan kepentingan ekonomi yang sering kali justru memperkeruh keadaan ketimbang menyelesaikan masalah.
Warisan Kolonialisme yang Membusuk
Konflik di Sahel tak bisa dilepaskan dari warisan kolonialisme. Niger, Mali, Burkina Faso—negara-negara yang kini dikepung oleh terorisme adalah bekas jajahan Prancis. Selama puluhan tahun, Prancis menguras sumber daya alam mereka tanpa membangun fondasi ekonomi yang kuat. Ketika mereka akhirnya mendapatkan kemerdekaan, yang tersisa hanyalah negara dengan pemerintahan lemah, ekonomi yang tak mandiri, dan masyarakat yang terpecah-belah oleh garis etnis dan agama yang diperkuat oleh kebijakan kolonial.
Prancis tak benar-benar pergi. Mereka masih bercokol dalam bentuk kehadiran militer dan kontrol ekonomi. Perusahaan Prancis masih mengendalikan pertambangan uranium di Niger, sementara militer Prancis tetap memiliki pangkalan di berbagai negara Afrika Barat. Dalam banyak kasus, kehadiran militer Prancis justru menjadi bumerang, memicu sentimen anti-Barat dan memberikan bahan bakar bagi propaganda kelompok ekstremis.
Senjata, Perdagangan Gelap, dan Peran Negara Besar
ISGS bukan satu-satunya kelompok bersenjata di wilayah ini. Ada berbagai faksi yang saling bersaing, mulai dari Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM), Boko Haram, hingga kelompok-kelompok lokal yang mengangkat senjata karena ketidakpuasan terhadap pemerintah. Mereka mendapatkan senjata dari berbagai jalur: pasar gelap, penyelundupan dari Libya yang hancur setelah intervensi NATO, dan bahkan dari pasukan pemerintah yang korup.
Amerika Serikat, meski tak seagresif Prancis dalam intervensi langsung, juga punya kepentingan besar di Sahel. Mereka mengoperasikan pangkalan drone di Niger untuk mengawasi kelompok-kelompok militan dan melindungi kepentingan mereka di Afrika. Namun, sejarah menunjukkan bahwa intervensi militer asing jarang menyelesaikan masalah, malah sering kali memperburuknya.
Media dan Standar Ganda
Jika pembantaian ini terjadi di Eropa, reaksi dunia akan sangat berbeda. Media akan memberitakan dengan intensitas tinggi, para pemimpin dunia akan berlomba-lomba mengutuk, dan masyarakat internasional akan bergegas menawarkan bantuan. Namun ketika hal ini terjadi di Afrika, berita itu hanya muncul sekilas sebelum tenggelam oleh berita lain yang dianggap lebih “menjual” oleh media global.
Ada standar ganda yang mencolok dalam pemberitaan dan kepedulian global. Dunia tampaknya telah menerima bahwa kekerasan di Afrika adalah sesuatu yang “biasa”. Ini bukan hanya soal kurangnya liputan media, tapi juga refleksi dari bagaimana dunia memandang Afrika: bukan sebagai wilayah yang layak diperjuangkan hak-haknya, tapi sebagai arena konflik yang seolah sudah menjadi takdir.
Negara-Negara Afrika: Antara Ketidakmampuan dan Ketidakpedulian
Tentu, tidak adil jika seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada negara-negara Barat. Pemerintah Afrika sendiri memiliki peran dalam kekacauan ini. Korupsi merajalela, pemimpin lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada membangun negara, dan anggaran militer lebih sering digunakan untuk menindas oposisi ketimbang melawan kelompok militan.
ECOWAS, organisasi yang seharusnya menjadi garda depan dalam menangani masalah regional, lebih sering menggelar pertemuan seremonial daripada mengambil langkah nyata. Sementara itu, rakyat terus menjadi korban, terjebak antara ketidakpedulian pemerintah mereka sendiri dan kekejaman kelompok bersenjata.
Apakah Kita Peduli?
Membaca berita tentang Fonbita, mungkin sebagian dari kita merasa simpati sesaat. Tapi setelah itu? Kita akan kembali ke rutinitas kita, membiarkan tragedi ini terkubur bersama ratusan tragedi lain di Afrika yang tak pernah mendapat perhatian cukup. Kita hidup di dunia yang hanya bereaksi jika tragedi terjadi di tempat-tempat yang dianggap penting oleh media dan para elit global.
Namun, ada hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa mulai dengan menyebarkan kesadaran bahwa tragedi seperti ini bukan sekadar statistik. Kita bisa menekan pemerintah agar tidak hanya fokus pada kepentingan geopolitik sempit, tetapi juga benar-benar mendukung pembangunan dan stabilitas di Afrika. Kita bisa mendukung organisasi yang bekerja langsung di lapangan, membantu korban kekerasan dan membangun kembali komunitas yang hancur.
Dunia ini tidak akan berubah jika kita terus membiarkan standar ganda dan ketidakpedulian merajalela. Fonbita bukan sekadar kisah tentang Niger, tapi tentang bagaimana dunia memilih siapa yang pantas mendapat simpati dan siapa yang dibiarkan mati dalam sunyi. Sampai kapan kita akan membiarkan ini terjadi?