Connect with us

Opini

Fatamorgana di Antalya: Saat Revolusi Suriah Dibicarakan Tanpa Rakyatnya

Published

on

Antara retorika diplomatik dan realitas kelaparan, konferensi Antalya mencerminkan jurang lebar antara elite dan rakyat Suriah.

Di aula megah Antalya, sorot lampu menerangi wajah-wajah diplomat dan cendekiawan yang duduk dalam lingkaran diskusi. Suara mereka bergema, penuh semangat membahas masa depan Suriah yang terkoyak perang. Antalya Diplomacy Forum menjadi panggung bagi para panelis untuk merangkai harapan. Namun, di balik kata-kata indah itu, ada keheningan yang menyakitkan: suara rakyat Suriah di akar rumput tak terdengar. Apa gunanya bicara tentang revolusi jika jutaan warga masih mengungsi, kelaparan, dan hidup dalam ketakutan?

Diskusi itu memuji pemerintahan Ahmad al-Sharaa, menyebut deklarasi konstitusi dan pemerintahan inklusif sebagai capaian besar. Geir O. Pedersen, Utusan Khusus PBB untuk Suriah, dengan nada diplomatis menyoroti daftar kemajuan, tapi tak menjelaskan bagaimana langkah ini menyentuh rakyat biasa. Apakah konstitusi itu memberi harapan bagi warga Homs yang tinggal di reruntuhan? UNHCR mencatat 6,2 juta warga Suriah masih terlantar di dalam negeri. Jika inklusivitas ada, mengapa Los Angeles Times melaporkan ribuan Alawit melarikan diri ke Lebanon?

Carl Skau, Wakil Direktur Eksekutif World Food Programme, membawa secercah kejujuran, menyebutkan 3 juta warga Suriah menghadapi kelaparan parah, namun hanya 1,5 juta yang bisa dibantu karena dana menipis. Angka itu adalah wajah ibu-ibu di Homs yang meratap karena anak-anak mereka tak punya makanan—lebih buruk dari masa perang. Namun, Skau tak menyentuh nasib pengungsi yang menyeberang ke Lebanon. The Century Foundation mencatat 7.616 jiwa, kebanyakan Alawit, melarikan diri dari kekerasan pesisir. Diskusi ini tak menangkap keputusasaan mereka.

Kekerasan sektarian, yang hanya disebut Pedersen sebagai kemunduran, adalah luka nyata yang diabaikan. Syrian Network for Human Rights melaporkan 211 warga sipil tewas dalam bentrokan pesisir, sebagian besar akibat serangan terhadap Alawi. Seorang pengungsi di Lebanon berkata, “Malam hari mereka datang untuk membunuh,” kutipan dari Los Angeles Times yang menunjukkan ketakutan mendalam. Mengapa panel tak menyinggung kegagalan al-Sharaa mencegah pembantaian ini? Apakah mereka sengaja menutup mata demi narasi optimistis? Ketidakamanan yang berlanjut membuktikan revolusi masih jauh dari damai.

Jeffrey Sachs, ekonom terkenal dan Direktur Pusat Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Columbia, mengarahkan tuduhan keras pada AS dan Israel, menyebut perang Suriah sebagai bagian dari Operasi Timber Sycamore CIA. Argumennya, meski berpijak pada fakta historis, terasa seperti pengalihan dari masalah dalam negeri. UN mencatat 600.000 nyawa hilang, tapi menyalahkan Barat tak menjelaskan mengapa Hayat Tahrir al-Sham(HTS), yang kini berkuasa, ditakuti oleh Kristen dan Alawi. Postingan di X menyebutkan ketakutan akan eksekusi massal—realitas yang Sachs abaikan.

Nuh Yılmaz, Wakil Menteri Luar Negeri Turki, berbicara tentang mekanisme kuintet—Turki, Irak, Suriah, Lebanon, Yordania—untuk menangani terorisme dan keamanan perbatasan. Gagasan ini terdengar mulia, tapi bagaimana itu menyentuh kehidupan warga biasa? UNHCR melaporkan 90% warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa air bersih atau listrik. Apakah mekanisme ini akan membangun kembali rumah-rumah yang hancur di Damaskus? Panel gagal menghubungkan solusi regional dengan kebutuhan lokal, meninggalkan kesan bahwa diplomasi lebih peduli pada kepentingan negara.

Amar, seorang analis dari think tank Suriah di Istanbul, menjadi satu-satunya suara Suriah di panel. Ia menyerukan ekonomi produksi baru dan keterlibatan masyarakat sipil. Namun, visinya terasa jauh dari kenyataan ketika UNHCR mencatat 13 juta warga Suriah bergantung pada bantuan kemanusiaan, dengan hanya 25% kebutuhan terpenuhi. Bagaimana membangun ekonomi ketika warga seperti Qasim, yang dikutip The Conversation, takut kembali karena khawatir akan instabilitas baru? Amar tak membahas trauma kolektif atau kerusakan infrastruktur.

Audiens dengan tepat mempertanyakan absennya perempuan dan lebih banyak warga Suriah di panel. UN Women mencatat perempuan Suriah menghadapi kekerasan berbasis gender yang meningkat selama konflik, namun suara mereka tak ada di Antalya. Bagaimana kita bisa bicara tentang inklusivitas jika ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya tak punya tempat di meja ini? Diskusi yang didominasi elit global dan regional gagal menangkap denyut nadi rakyat Suriah, yang masih hidup di antara puing-puing dan ketakutan.

Pengungsi adalah cerminan pedih dari revolusi yang dipuji panel. UNHCR melaporkan 1 juta warga Suriah kembali sejak kejatuhan Assad, namun ribuan lainnya, seperti dicatat The Century Foundation, masih melarikan diri ke Lebanon. Mengapa? Karena rumah mereka hancur, pekerjaan tak ada, dan keamanan masih mimpi. Seorang pengungsi di Yordania berkata kepada The Conversation, “Kami ingin pulang, tapi ke mana?” Pertanyaan itu seharusnya mengguncang panel, tapi mereka sibuk memuji konstitusi dan sanksi.

Sanksi, yang disebut Pedersen dan Skau sebagai penghalang besar, memang memperburuk penderitaan. UN mencatat sanksi menghambat impor obat-obatan dan bahan bakar, memperdalam kemiskinan. Tapi menyalahkan sanksi saja tak cukup. Pemerintahan al-Sharaa harus ditanya: mengapa keamanan lokal masih rapuh? Mengapa milisi masih berkeliaran, seperti dilaporkan postingan X tentang kekerasan di pedesaan? Diskusi ini menghindari pertanyaan sulit, memilih harapan yang rapuh ketimbang kejujuran yang pahit.

Antalya menjadi cerminan tragis: keinginan merayakan perubahan bertabrakan dengan kenyataan kelam. UN mencatat 16,7 juta warga Suriah membutuhkan bantuan, namun dunia hanya menonton. Panel berbicara tentang deklarasi dan mekanisme, tapi tak ada yang bertanya kepada rakyat Suriah: apa yang kalian butuhkan? Revolusi yang mereka puji terasa seperti fatamorgana bagi mereka yang masih mengungsi dan kelaparan. Masa depan Suriah bukan di meja diplomasi—ia ada di jalanan, tempat rakyat masih berjuang untuk hidup.

Saya menutup dengan nada getir. Diskusi ini gagal menjadi suara bagi rakyat Suriah. Kemajuan yang mereka soroti—konstitusi, pemerintahan inklusif—hanya bayang-bayang di atas kertas, tak menyentuh luka nyata di lapangan. UNHCR mencatat 5,4 juta pengungsi masih tersebar di luar Suriah, dan jutaan lainnya terlantar di dalam negeri. Jika revolusi benar-benar terjadi, mengapa rakyat masih lari dari rumah mereka? Antalya meninggalkan kita dengan pertanyaan: kapan rakyat Suriah benar-benar bisa pulang?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *