Opini
“Fantasi Sedarah”, Salah Meta?

Malam itu, layar Metro TV memancarkan ironi paling kelam dari dunia digital kita: sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” dengan puluhan ribu anggota, terang-terangan mempromosikan fantasi inses, lengkap dengan bayangan eksploitasi seksual terhadap anak. Dunia maya, yang konon penuh algoritma canggih dan moderasi ketat, ternyata cukup longgar untuk memberi panggung bagi predator. Reaksi publik? Geger, tentu. Tapi respons institusional? Lebih mirip drama satire ketimbang kebijakan efektif: grup ditutup setelah viral, pelaku baru diburu setelah publik ribut. Kita sedang menambal lubang kapal karam dengan lakban.
Dalam program Top Issue Metro TV, Alexander Sabar dari Kominfo bicara dengan wajah percaya diri: lembaganya telah menangani 1,8 juta konten negatif sejak Oktober 2024 hingga Mei 2025, termasuk 380.000 konten pornografi. Hebat? Mungkin. Tapi grup “Fantasi Sedarah” baru digubris setelah tangkapan layarnya berseliweran di WhatsApp. Barulah mesin birokrasi mendadak hidup, setelah sebelumnya tampak tertidur pulas. “Masyarakat harus peka,” ujarnya. Seolah masyarakat kini merangkap jadi moderator konten, polisi digital, sekaligus psikolog forensik, semua dari layar ponsel.
Pakar keamanan siber, Alfons Tanujaya, menyebut Meta memiliki teknologi AI yang bisa mendeteksi konten mesum. Tapi kenyataannya, grup ini bertahan hingga viral. Artinya? Teknologi hanya bekerja jika ada tekanan. Menutup grup semata seperti menebang dahan, tapi membiarkan akar kebusukan terus tumbuh—siap bertunas kembali.
Penegak hukum pun tak luput dari kritik. Diharapkan menjadi palu keadilan, mereka justru tampil seperti pemain figuran yang masuk panggung ketika drama hampir usai. Reza Indragiri, psikolog forensik, menyebut bahwa dari kasus “Fufu Fafa” yang viral dan menjijikkan itu, tak ada langkah hukum nyata. Kini, 30.000 akun yang tergabung dalam grup inses serupa hanyalah pucuk gunung es. Dan langkah hukum? “Kejar satu orang dulu,” katanya. Seolah menangkap satu nyamuk cukup untuk memberantas demam berdarah.
Masalah makin rumit karena UU TPKS tidak memiliki pasal khusus untuk inses antar-dewasa yang terjadi atas dasar “suka sama suka”. Kebiri kimia? Terjebak prosedur birokrasi. Kita punya payung hukum, tapi penuh lubang. Peraturan ada, tapi enggan menyentuh zona abu-abu. Maka, predator digital bisa melenggang, asal tahu celah.
Namun akar masalah ini tak bisa hanya dilempar ke Meta atau hukum yang ompong. Ini potret kegagalan sistemik negara dalam membentuk ekosistem digital yang aman. Kominfo, yang seharusnya bisa menekan platform raksasa seperti Meta untuk tunduk pada nilai-nilai lokal, tampaknya lebih sibuk tampil dalam seminar dan konferensi. Tanujaya menyentil: Meta bisa ditekan, asalkan pemerintah serius. Tapi saat ini, pemerintah kita terlihat lebih nyaman dengan guideline global, meski realitas lokalnya jauh lebih pelik.
Norma yang dikhotbahkan di mimbar dan pidato tampak kehilangan gigi ketika dihadapkan dengan teks hukum. Pelaku inses dewasa bisa lolos karena hukum gugup menyentuh ranah tabu. Anak-anak tetap jadi korban, sementara kita sibuk memperdebatkan definisi moral. Kita membangun pagar tinggi, tapi membiarkan lubang besar menganga di tengah tembok.
Pendidikan—yang katanya fondasi bangsa—pun remuk redam. Ciput Puryanti dari KemenPPA mengaku hanya 5% korban kekerasan seksual ditangani secara menyeluruh. Kenapa? Karena anggaran pemulihan psikososial bukan prioritas. Pendidikan karakter? Kini tak lebih dari kata-kata manis di brosur sekolah. Adrianus Meliala mengingatkan bahwa paparan narasi menyimpang bisa mengubah fantasi menjadi aksi. Tapi siapa hari ini yang masih mengajarkan batasan suci dalam relasi keluarga? Sekolah sibuk mengejar akreditasi, keluarga sibuk mengejar konten, tokoh agama sibuk mengejar engagement.
Digital parenting jadi jargon, tapi realitasnya? Banyak orang tua tak tahu cara membedakan akun bot dari akun manusia. Grup WhatsApp keluarga hanya ramai dengan stiker ucapan pagi dan tangkapan layar grup aneh. Literasi digital kita mirip main catur tanpa tahu bidak.
Dan masyarakat? Lapisan pertahanan terakhir yang ternyata paling rapuh. Data menunjukkan lebih dari 50% pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat: ayah, kakak, paman. Tapi masyarakat justru lebih aktif menyebar tangkapan layar ketimbang melapor. Kita mudah marah, tapi malas mendidik. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi ketelanjangan moral kolektif yang kita rawat bersama.
Berita keji jadi bahan hiburan, bukan pelajaran. Amarah jadi konten, bukan kesadaran. Tokoh masyarakat sibuk menjaga citra, bukan menjaga anak-anak. Kita lebih peduli pada tampilan publik daripada kebusukan privat. Kita sedang memainkan opera moral, padahal panggungnya sudah runtuh.
Masalah ini tidak lahir di server Meta. Ia tumbuh di rumah-rumah yang sepi pendidikan, sekolah yang miskin nilai, dan mimbar-mimbar yang lebih suka bicara pemilu daripada etika. Lumpur ini bukan kiriman luar negeri. Ia muncul dari ketidakpedulian yang kita rawat bersama.
Meliala menyebut faktor sosial-ekonomi—kemiskinan, rumah sempit, ibu jadi TKI—sebagai pemicu. Dunia maya yang anonim hanyalah kendaraan. Tapi jika respons kita hanya sebatas sensor dan jeruji, kita hanya menyiram api dengan bensin. Kita butuh strategi menyentuh akar: hukum yang tajam, pendidikan yang relevan, dan masyarakat yang sadar bahwa dunia digital bukan dunia kedua, tapi wajah lain dari hidup kita sendiri.
Menghapus seluruh kejahatan memang mustahil. Tapi mencegah satu anak dari cengkeraman predator adalah kemenangan. Dan kemenangan itu tidak datang dari trending topic atau pidato pejabat. Ia datang dari kerja nyata: Kominfo yang menekan Meta dengan taring, polisi yang tak malas bekerja, sekolah yang bukan hanya mengajar tapi mendidik, dan keluarga yang benar-benar hadir.
Kalau kita hanya menyalahkan algoritma dan berharap hukum menyapu bersih, kita ibarat dokter yang memberi vitamin untuk tumor ganas. Masalah ini bukan sekadar soal teknis, ini soal nurani. Dan nurani, sayangnya, tak bisa diviralkan.
Mari berhenti jadi penonton skandal dan mulai jadi pendidik nilai. Berhenti menunggu solusi dari atas dan mulai bergerak dari bawah. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, ya selamat datang kembali di “Fantasi Sedarah” jilid berikutnya—dengan nama grup yang mungkin lebih halus, tapi isi yang tetap busuk.
Sumber:
- Psikolog: Lemahnya Hukum Dimanfaatkan Penjahat Inses Gentayangan di Medsos | Beritasatu (https://www.youtube.com/watch?v=oToD4KESqCA)
- ‘FANTASI SEDARAH’ BIKIN RESAH | TOP ISSUE – (https://www.youtube.com/watch?v=Wn8ptKAH9Y0)