Opini
Euro: Penantang Dolar di Tengah Dunia yang Berubah

Euro bisa menjadi penantang dolar AS, kata Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, pada Senin lalu—tentu dengan satu syarat: zona euro harus mereformasi sistem keuangan dan keamanannya. Pernyataan ini bagai angin segar di tengah ketegangan global. Dunia sedang gelisah, dominasi dolar mulai goyah, dan di Jakarta, pasar tradisional turut merasakan getarannya—dolar menguat, harga beras melonjak, rupiah tertekan. Tapi, benarkah euro bisa mengisi ruang kosong yang ditinggalkan dolar? Ataukah ini sekadar angan di tengah kenyataan pahit bahwa dunia terlalu bergantung pada satu mata uang?
Kegelisahan terhadap dominasi dolar bukan tanpa alasan. Dolar memang sedang mengalami tekanan. Laporan RT mencatat bahwa pada bulan lalu, nilai tukar dolar jatuh ke titik terendah dalam tiga tahun terakhir, dipicu oleh ketidakpastian tarif era Donald Trump. Ditambah lagi, utang Amerika Serikat yang mencapai $33 triliun pada 2023—menurut data Departemen Keuangan AS—membuat kepercayaan global terhadap mata uang ini mulai goyah. Tak kalah penting, penggunaan dolar sebagai senjata geopolitik—seperti pembekuan aset Rusia—telah menimbulkan kecemasan di banyak negara.
Di Indonesia, dampaknya sangat nyata. Ketergantungan pada dolar terasa di hampir semua lini. Utang luar negeri Indonesia yang mencapai sekitar $400 miliar pada 2024 (menurut Bank Indonesia) sebagian besar dalam denominasi dolar. Ketika dolar menguat, beban bunga utang meningkat dan harga barang impor—dari gandum hingga BBM—ikut melambung. Ini bukan sekadar hitungan ekonomi makro. Ini adalah cerita pedagang di Tanah Abang yang harus menaikkan harga karena biaya impor melonjak. Dunia memang mencari alternatif. Dan euro, menurut Lagarde, memiliki peluang untuk menjadi jawabannya.
Namun, peluang saja tidak cukup. Lagarde menyebut adanya “peluang emas” bagi euro untuk tampil sebagai mata uang global, tetapi dia pun menyadari tantangan yang menghadang. Zona euro perlu menyelesaikan proyek pasar tunggal, memperkuat kerangka hukum, dan mereformasi sistem keuangan secara menyeluruh. Tak hanya itu, euro harus mampu mengambil porsi lebih besar dalam faktur perdagangan internasional, serta membangun infrastruktur pembayaran lintas batas yang lebih efisien.
Bagi Indonesia, ini tentu relevan. Selama ini, ekspor ke Eropa—seperti minyak sawit—kebanyakan masih menggunakan dolar. Jika euro menjadi mata uang utama dalam transaksi perdagangan, risiko fluktuasi kurs terhadap dolar bisa berkurang. Bayangkan kontrak ekspor sawit dalam euro: stabilitas nilai tukar rupiah terhadap euro mungkin lebih bisa dijaga. Namun, realitasnya tak sesederhana itu. Uni Eropa terdiri dari 20 negara dengan kepentingan nasional yang sering bertabrakan. Jerman dan Belanda, misalnya, cenderung menolak pembiayaan bersama, sementara Italia dan Spanyol justru mendorong integrasi fiskal yang lebih dalam. Reformasi yang dibayangkan Lagarde adalah jalan panjang penuh kompromi.
Tak berhenti di aspek ekonomi, Lagarde juga menyinggung faktor keamanan: euro yang kuat, menurutnya, memerlukan kekuatan militer yang lebih mandiri. Artinya, Eropa tak bisa terus bergantung pada NATO yang didominasi Amerika Serikat. Ini bukan soal teknis semata, melainkan visi geopolitik yang besar. Mempersatukan visi pertahanan negara-negara Eropa yang memiliki sejarah dan prioritas berbeda ibarat mencampur air dan minyak—sulit menyatu.
Bagi Indonesia, yang menjunjung tinggi politik bebas aktif, dinamika ini menjadi pengingat bahwa ketergantungan pada satu kekuatan—termasuk dolar—mengandung risiko besar. Kita sudah merasakannya. Ketika Trump mengancam menaikkan tarif, ekspor tekstil kita ke Amerika langsung terancam. Maka, muncul pertanyaan: apakah euro bisa menjadi solusi jangka panjang, atau justru menambah kompleksitas dalam peta global yang sudah penuh ketidakpastian?
Statistik menunjukkan tantangan yang dihadapi euro untuk naik takhta. Data IMF menyebutkan bahwa pangsa euro dalam cadangan devisa global hanya sekitar 20%, jauh tertinggal dari dolar yang masih mendominasi di angka 57,3%. Meskipun pangsa dolar telah menyusut ke level terendah dalam tiga dekade terakhir, ia masih memegang kunci sistem keuangan global. Minyak dunia masih diperdagangkan dalam dolar. Jaringan SWIFT, yang digunakan oleh perbankan global dari Jakarta hingga Berlin, didominasi oleh sistem berbasis dolar. Inilah yang membuat euro sulit menggantikan peran dolar secara cepat dan menyeluruh.
Bank Indonesia sebenarnya sudah mulai bergerak. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar, BI mendorong transaksi bilateral dalam mata uang lokal—konsep yang dikenal sebagai Local Currency Transaction (LCT). Perdagangan dengan Malaysia dan Tiongkok mulai menggunakan rupiah dan yuan atau ringgit. Namun, menurut laporan BI tahun 2024, volumenya masih kecil—kurang dari 5% dari total perdagangan luar negeri Indonesia. Artinya, langkah-langkah ini masih jauh dari menggantikan dominasi dolar.
Lagarde boleh bermimpi, tapi kenyataan Indonesia lebih mendesak. Diversifikasi cadangan devisa adalah salah satu langkah yang masuk akal. Data BI menunjukkan bahwa pada Oktober 2024, cadangan devisa Indonesia mencapai $149 miliar, dengan porsi terbesar masih dalam bentuk dolar. Memperbesar porsi euro memang mungkin, tapi hanya jika zona euro benar-benar menawarkan stabilitas dan keandalan sistem yang lebih kuat. Sebaliknya, mata uang lain seperti yuan Tiongkok—yang baru mengambil 2,5% pangsa cadangan global—juga mulai dilirik, meskipun masih menyisakan kekhawatiran terkait transparansi dan kontrol pemerintah Tiongkok.
Di sisi lain, dinamika global bergerak ke arah yang semakin kompleks. Sejak Barat menjatuhkan sanksi kepada Rusia pada 2022, negara-negara BRICS mulai beralih ke penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan. Data dari Rusia menunjukkan bahwa pada 2023, 90% perdagangan antaranggota BRICS tidak lagi menggunakan dolar maupun euro. Ini menandakan dunia sedang berevolusi menuju sistem multikurensi. Indonesia pun mulai mengikuti arus ini. Perjanjian LCT dengan Tiongkok untuk ekspor nikel adalah salah satu buktinya. Kita tak ingin terjebak dalam dominasi satu mata uang.
Namun, sistem multikurensi bukan tanpa tantangan. Bagi pelaku usaha, kontrak dalam banyak mata uang berarti biaya konversi yang lebih tinggi dan risiko nilai tukar yang lebih rumit. Bagi eksportir sawit di Sumatera, misalnya, fluktuasi dalam tiga mata uang berbeda bisa berarti kerugian tak terduga. Maka, meski impian Lagarde menarik, dunia tampaknya bergerak ke arah yang berbeda—bukan mengganti dolar dengan euro, tetapi membangun ekosistem keuangan yang lebih beragam dan seimbang.
Dan di sinilah peran Indonesia menjadi penting. Ketika dolar menguat, rakyat merasakannya lewat kenaikan harga kebutuhan pokok. Pemerintah pun harus berhitung ulang untuk kebijakan subsidi BBM. Dalam kondisi ini, gagasan Lagarde mungkin terasa seperti bintang di siang hari—indah, tetapi sulit dijangkau. Reformasi yang dibutuhkan Eropa bukan perkara bulan atau tahun, melainkan bisa memakan waktu puluhan tahun, dan belum tentu berhasil.
Indonesia tidak bisa menunggu. Langkah-langkah kecil seperti memperluas kerja sama LCT, memperkuat posisi rupiah di kawasan, dan menyesuaikan komposisi cadangan devisa adalah keputusan yang bisa diambil sekarang. Namun, ada pertanyaan yang perlu terus kita renungkan: jika euro gagal menjadi alternatif, apakah kita akan terus menari mengikuti irama dolar? Atau, justru saatnya Indonesia, dengan kekayaan sumber daya dan posisi strategisnya, menjadi bagian dari dunia yang lebih seimbang—di mana tidak ada satu mata uang pun yang menjadi raja tunggal?