Opini
Etika Militer atau Lisensi Membunuh? Gaza di Ujung Senapan

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
“Nyawa manusia di Gaza lebih murah dari ribuan anjing liar yang berkeliaran mencari makan.” — Sebuah pengakuan pahit dari Chaim Har-Zahav, mantan tentara cadangan Israel, yang kini menjadi saksi bagaimana moral dan etika dilempar ke tong sampah di tanah Palestina.
Kutipan ini bukan dari aktivis kemanusiaan atau media alternatif. Ini berasal langsung dari seorang yang pernah menjadi bagian dari mesin perang itu sendiri. Kata-katanya menyuarakan sebuah realitas gelap: di Gaza, menjadi manusia bukanlah perlindungan, melainkan hukuman mati.
Seorang pria melambai-lambaikan bendera putih, tanda universal untuk menyerah. Tapi seorang komandan senior dengan tenang memerintahkan, “Saya tidak tahu apa itu bendera putih. Tembak dia, itu perintah.” Untungnya, kali ini para prajurit di lapangan menolak. Namun, berapa banyak perintah serupa yang sudah dilaksanakan tanpa suara, tanpa pertanyaan, tanpa penyesalan?
“Nyawa Palestina sepenuhnya bergantung pada skala nilai pribadi dan pandangan dunia tentara yang memegang senapan.” Begitu pula Har-Zahav menulis, menelanjangi kenyataan brutal bahwa tidak ada aturan yang pasti di Gaza. Yang ada hanyalah garis imajiner yang terus berubah sesuai suasana hati militer. Melangkah ke garis itu berarti hukuman mati, bahkan jika Anda hanya seorang anak berusia 14 tahun yang membawa bendera putih, seperti Nahed Adel Barbakh.
Tetapi, mari jangan lupa bagaimana militer ini tetap “bangga” mempertahankan citra global mereka. Ketika sebuah video ITV News memperlihatkan orang-orang dengan tangan terangkat ditembak mati di Khan Younis, tanggapannya adalah: “Itu editan.” Namun bukti satelit, rekaman beberapa kamera, dan analisis ahli menghancurkan narasi ini. Lalu apa? “Ada kesalahan, ini perang,” kata seorang brigadir jenderal dengan santainya.
Kesalahan? Bagaimana dengan perintah untuk menembak manusia tak bersenjata yang memohon perlindungan dengan bendera putih? Bagaimana mungkin membunuh dua saudara lelaki yang hanya mencoba menyelamatkan satu sama lain disebut kesalahan? Tentu, ini bukan kesalahan—ini adalah kebijakan yang dikemas dengan indah dalam retorika “hak membela diri.”
Bahkan Har-Zahav sendiri menyebut bahwa Gaza telah menjadi tempat di mana “aturan keterlibatan telah dibuang jauh-jauh sejak 7 Oktober.” Nyawa manusia? Hanya angka statistik untuk laporan juru bicara militer keesokan harinya, lengkap dengan narasi heroisme palsu.
Mungkin yang paling ironis adalah, di balik klaim sebagai militer yang “paling bermoral di dunia,” kita menemukan kisah-kisah seperti ini: bendera putih tidak lagi menjadi simbol perdamaian, tetapi target tembak.
Mungkin sudah waktunya dunia berhenti membisu. Sebab, seperti yang dikatakan Francesca Albanese, pelapor khusus PBB, “Apa yang bisa membenarkan pembunuhan seseorang yang melambaikan bendera putih? Dari jarak sejauh itu? Ancaman apa yang mereka timbulkan?”
Jika tidak ada jawaban untuk itu, maka kita tahu persis apa yang sedang terjadi. Ini bukan perang; ini adalah eksekusi sistematis dengan kamera dunia sebagai saksi bisu. Selamat datang di Gaza, di mana nyawa manusia dihargai lebih murah dari peluru yang digunakan untuk mengakhirinya.