Opini
Eropa Terpuruk: Krisis Energi atau Krisis Akal Sehat?

Saat gas Eropa melonjak ke harga tertinggi sejak Oktober 2023, rasanya sulit untuk tidak mempertanyakan siapa yang sebenarnya sedang “memanaskan” situasi ini. Di tengah lonjakan harga energi yang luar biasa, pasokan gas yang terhambat, dan suhu politik yang semakin dingin, Eropa tampaknya berjuang untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ketika suhu di luar turun, ketidakmampuan Uni Eropa untuk menanggulangi krisis ini justru semakin memanaskan ketegangan sosial-ekonomi di dalamnya.
Bagaimana bisa sebuah benua dengan sejarah panjang kemajuan dan stabilitas tiba-tiba terjerumus dalam kekacauan? Sebagian orang mungkin berpikir bahwa penghentian kontrak transit gas dengan Rusia adalah langkah berani untuk mengurangi ketergantungan pada Moskow. Namun, bagi banyak orang, langkah ini justru tampak seperti permainan politik yang mengorbankan rakyat jelata. Terutama ketika negara-negara seperti Slovakia dan Hungaria mulai mengkritik tindakan ini sebagai pemicu krisis energi dengan tujuan tertentu.
Sebagai tanggapan, Uni Eropa sepertinya berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih “inovatif”. Mengimpor lebih banyak gas cair (LNG) dari AS dan Norwegia mungkin terdengar seperti solusi yang cerdas, tetapi kenyataannya harga LNG ini malah semakin memperburuk biaya hidup. Bayangkan saja, sudah cukup mahal untuk hidup di Eropa tanpa harus menambah biaya energi yang semakin tak terjangkau.
Inflasi yang mengikutinya semakin memperburuk keadaan. Apa gunanya kebijakan suku bunga rendah jika harga energi meroket ke langit? Eropa seolah sedang memperebutkan rekor harga energi tertinggi, dan rakyatnya menjadi taruhan dalam permainan yang tak ada ujungnya. Di tengah-tengah ini, beberapa negara anggota berusaha keras untuk menyiasati masalah ini. Tetapi sepertinya kebijakan energi yang mereka pilih adalah tentang siapa yang bisa “bermain politik” lebih lama, bukan tentang bagaimana cara untuk bertahan hidup.
Ketika suhu turun lebih jauh, EU pun mulai panik. Kenaikan harga energi yang drastis sudah cukup membuat ribuan keluarga di Eropa berjuang untuk mengatur pengeluaran mereka. Pemadaman listrik mulai menjadi ancaman nyata. Tentu saja, di tengah kerumunan ini, ada “pahlawan” yang siap datang menyelamatkan—yaitu LNG dari Amerika Serikat. Tapi sayangnya, importir energi ini juga datang dengan harga yang jauh lebih mahal, yang berarti, lebih banyak uang yang harus disalurkan ke luar negeri.
Namun, hal yang lebih ironis adalah kenyataan bahwa meskipun Uni Eropa mencoba mengurangi ketergantungan pada Rusia, mereka tetap saja membeli LNG dari negara yang sama—Rusia—tetapi kali ini dalam bentuk cair. Seolah-olah dunia sedang bermain teka-teki: “Bagaimana kita bisa mengurangi ketergantungan pada Rusia, tetapi tetap membeli energi dari Rusia?” Tentu, ini hanya menambah kebingungan dalam kebijakan energi Uni Eropa.
Lalu, di tengah kekacauan ini, ada narasi politik yang tidak bisa diabaikan. Presiden Zelensky dari Ukraina yang mengklaim bahwa pemutusan kontrak transit gas adalah langkah untuk mengurangi pendapatan energi Moskow. Ini terdengar heroik, tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Negara-negara Eropa yang sudah ketergantungan pada pasokan energi Rusia kini harus berjuang dengan ketidakpastian. Sementara itu, di Eropa, rakyat harus menanggung beban tagihan energi yang kian membengkak—apakah ini yang disebut dengan “kemenangan politik”?
Maka, jika kita mempertimbangkan situasi ini secara keseluruhan, Eropa sepertinya sedang terjebak dalam lingkaran setan kebijakan energi. Sementara politisi sibuk berargumen tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, rakyat kecil terus menanggung beban ekonomi yang semakin berat. Apakah ini hasil dari kebijakan yang baik? Ataukah Eropa sedang “menghitung ulang” apa yang sebenarnya lebih penting: politik atau kesejahteraan rakyat?
Krisis energi ini, yang pada dasarnya sudah menjadi krisis sosial-ekonomi, bisa jadi adalah cerminan kegagalan kolektif dalam merespons kebutuhan dasar. Pada akhirnya, Eropa harus menghadapi kenyataan bahwa kebijakan energi yang canggih dan penuh perhitungan ini belum cukup untuk menanggulangi persoalan yang jauh lebih mendalam. Sebab, jika satu hal yang pasti dalam krisis ini adalah bahwa “kerja keras” untuk mengurangi ketergantungan energi juga membutuhkan lebih dari sekadar retorika politik.