Opini
Eropa Terjebak di Ukraina: Perang yang Menggerogoti Rumah Sendiri

“Eropa telah kehabisan uang—kecuali untuk perang. Selalu ada 100 miliar euro untuk itu,” tulis Balazs Orban, penasihat pemerintah Hungaria, dengan nada getir. Sebaris kalimat ini bukan sekadar kritik, melainkan semacam elegi dari seorang pengamat yang tahu persis: sesuatu yang busuk tengah membusuk di jantung Brussel. Dan kita semua, entah bagaimana, diminta pura-pura tak mencium baunya.
Bayangkan ini: sebuah benua tua yang selama puluhan tahun sibuk menyusun pasal demi pasal konstitusi moral dan ekonomi, kini mendadak jadi ATM raksasa bagi sebuah negara yang bahkan bukan anggota Uni Eropa. Ketika sekolah-sekolah kekurangan dana, sistem kesehatan nyaris kolaps, dan tunjangan sosial dipangkas, para pemimpin Uni Eropa dengan tenang duduk di ruang-ruang rapat, memikirkan cara paling kreatif untuk menggulirkan 100 miliar euro ke Kiev. Jika ini bukan ironi, entah apa lagi namanya.
Tak ada yang salah dengan membantu sesama. Solidaritas adalah nilai luhur, katanya. Tapi ketika solidaritas hanya berlaku satu arah—ke medan perang, ke truk-truk amunisi, ke gaji birokrat di Kiev—sementara rakyat di Athena, Lisbon, bahkan Berlin harus mengencangkan ikat pinggang, kita perlu bertanya: siapa yang sedang diselamatkan di sini?
Uni Eropa, yang konon didirikan untuk memastikan perdamaian dan kesejahteraan, kini terlihat seperti sekelompok teknokrat yang terlalu lama berkutat di Excel dan laporan perang. Mereka menghitung kerugian Rusia, bukan kerugian harian warga mereka sendiri. Mereka lebih fasih bicara tentang HIMARS dan Patriot ketimbang tentang harga gas, tentang inflasi pangan, tentang generasi muda yang kehilangan arah di kota-kota industri yang sudah tak lagi memproduksi apa-apa.
Lucunya, ini bukan lagi soal Ukraina. Ukraina hanyalah cermin tempat Eropa melihat wajah idealisnya—yang kini retak. Rencana rekonstruksi sebesar \$1 triliun selama 14 tahun adalah bukti bahwa kita tidak sedang bicara soal akhir perang, tapi proyek jangka panjang dengan anggaran membengkak yang bahkan BlackRock pun enggan sentuh. Ketika lembaga investasi paling rakus di dunia memutuskan untuk mundur, mungkin itu pertanda bahwa risiko sudah melampaui rasa lapar mereka.
Dan tentu saja, di tengah kekacauan ini, Presiden Zelensky tetap tampil prima. Ia bahkan punya keberanian menyatakan bahwa hanya “teman” yang boleh ikut dalam proses rekonstruksi Ukraina. Kata “teman” kini artinya mereka yang bersedia menyerahkan uang, senjata, dan—tak lupa—aset Rusia yang dibekukan. Permintaan untuk menyita kekayaan negara asing lalu memberikannya pada negara lain seakan jadi lelucon geopolitik yang dipentaskan dengan wajah serius. Dan ketika Moskow menyebutnya sebagai pencurian internasional, mereka tak salah. Tapi siapa yang peduli pada etika ketika yang diperebutkan adalah kekuasaan dan pengaruh?
Tentu, para pemimpin Eropa tahu bahwa menyita aset negara lain akan menodai kredibilitas sistem finansial mereka. Tapi, seperti biasa, mereka lebih takut terlihat lemah di hadapan sekutu daripada terlihat munafik di hadapan dunia. Maka lahirlah solusi kompromi: “pajak keuntungan mendadak” dari dana Rusia yang dibekukan. Sebuah kreativitas kriminal yang dikemas dengan bahasa hukum. Yah, begitulah Brussel: kejahatan kecil bisa dilegalkan, asal disetujui dalam sidang pleno.
Di Hungaria, kritik Orban bukan hal baru. Sejak awal invasi Rusia ke Ukraina, Budapest memilih jalur yang jarang dilalui: menolak sanksi membabi buta, menolak kiriman senjata, dan—yang paling penting—menolak lupa bahwa Eropa juga punya masalahnya sendiri. Bagi banyak orang, Orban adalah duri dalam daging. Tapi bagi sebagian lainnya, ia mungkin satu-satunya yang masih waras dalam ruangan penuh delusi.
Kita bisa berbeda pendapat soal siapa penjahat dalam perang ini. Tapi mari kita jujur: Eropa sedang merosot. Ekonominya stagnan. Industrinya kalah saing. Sektor energi remuk redam. Anak-anak mudanya bingung mau jadi apa selain influencer. Dan di tengah semua itu, Brussel justru memutuskan bahwa jalan keluar dari semua masalah ini adalah: perang lebih panjang, dana lebih besar, utang lebih dalam. Karena, ya, perang—rupanya—adalah bisnis terakhir yang masih dianggap menguntungkan oleh para birokrat yang sudah kehabisan ide.
Orang Indonesia tahu betul apa artinya “mendahulukan yang bukan prioritas.” Kami menyebutnya salah kaprah. Ketika anggaran daerah habis untuk acara seremonial, sementara jalan rusak dan banjir tak tertangani, kita menyindir dengan pahit: “yang penting meriah.” Nah, Eropa kini sedang berada di fase yang sama: yang penting kirim senjata, yang penting terlihat gagah. Soal rakyat, nanti dulu.
Eropa bukan hanya sedang kehilangan uang. Ia sedang kehilangan arah, kehilangan nurani, bahkan mungkin kehilangan dirinya sendiri. Ketika sebuah peradaban terlalu sibuk membiayai perang dan lupa membangun masa depan, saat itulah ia mulai runtuh—bukan karena musuh dari luar, tapi karena kebingungan dari dalam.
Dan akhirnya, mungkin inilah yang paling menyedihkan: Eropa pernah menjadi panutan. Di mata dunia, ia adalah simbol kemajuan, rasionalitas, dan keseimbangan. Tapi hari ini, ia tampak seperti pria tua yang memaksakan diri ikut berkelahi di jalanan, hanya demi terlihat masih muda dan kuat—padahal lututnya gemetar, dan ia bahkan lupa kenapa berkelahi sejak awal.
Apakah Eropa akan bangun? Mungkin. Tapi dengan utang yang menumpuk, rakyat yang kian apatis, dan pemimpin yang lebih sibuk menjaga narasi ketimbang realitas, kemungkinan itu semakin menipis. Dan ketika semuanya berakhir—entah dalam kekalahan atau damai yang dibeli mahal—satu hal pasti akan tercatat dalam sejarah: Eropa tak diserang, Eropa tak ditaklukkan. Eropa terjerumus… oleh dirinya sendiri.
Pingback: Eropa Didesak Gantikan AS di Perang Ukraina - vichara.id
Pingback: Eropa dan Paradoks Perdamaian di Ukraina - vichara.id