Connect with us

Opini

Eropa Tanpa NATO, Mungkinkah?

Published

on

Di sebuah dunia yang terombang-ambing antara paranoia dan utopia, Jan van Aken, co-leader Partai Kiri Jerman, melemparkan ide yang nyaris absurd: NATO, benteng pertahanan Barat, harus diganti dengan aliansi keamanan baru yang memeluk Rusia dan Amerika Serikat dalam pelukan damai. Dalam wawancara dengan Die Zeit, ia menegaskan visi partainya sejak 2011: keluar dari NATO, ciptakan sistem keamanan kolektif, dan usir pasukan AS beserta nuklirnya dari Jerman. “NATO tak punya masa depan,” katanya, seolah dunia bisa disulap jadi taman bermain diplomatik dalam semalam. Sementara itu, rudal-rudal Rusia menghantam Ukraina, dan Eropa berlomba mempersenjatai diri. Ironi ini menggelitik: di tengah gemuruh perang, van Aken memimpikan Eropa tanpa tentara. Benarkah ini visi jenius atau sekadar delusi seorang idealis?

Eropa, benua yang pernah porak-poranda karena perang, kini berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ada van Aken, yang dengan wajah serius mengusulkan OECD 2.0—aliansi damai yang menyatukan Rusia, AS, dan Eropa dalam harmoni bak orkestra Wina. Ia bicara soal “pembangunan kepercayaan” selama satu dekade, seolah Putin akan dengan senang hati menyesap teh bersama kanselir Jerman sambil mendiskusikan perdamaian abadi. Di sisi lain, Uni Eropa, di bawah bayang-bayang invasi Ukraina, meluncurkan Readiness 2030, sebuah rencana ambisius untuk menggelontorkan €800 miliar demi persenjataan canggih, drone, dan pertahanan udara. Eropa, yang dulu bermimpi jadi mercusuar moral, kini sibuk memesan howitzer dan rudal Taurus. Van Aken bertanya, “Bukankah kalian juga ingin hidup di negara tanpa tentara?” Tapi, di dunia nyata, siapa yang berani melepas senjata saat tetangga bermain tank?

Mari kita telisik visi van Aken lebih dalam, dengan sedikit cengiran. Ia ingin Jerman menendang pasukan AS keluar, lengkap dengan nuklirnya, seolah kehadiran mereka cuma beban, bukan tameng. “Senjata nuklir Prancis dan Inggris sudah lebih dari cukup,” katanya, entah dengan serius atau sekadar ingin memancing tawa. Data dari SIPRI menunjukkan bahwa pada 2024, AS menyumbang 70% anggaran pertahanan NATO, dengan 100.000 pasukannya tersebar di Eropa, termasuk 35.000 di Jerman. Menyingkirkan mereka, seperti yang diimpikan van Aken, ibarat mengusir penutup payung di tengah badai. Sementara itu, Rusia, yang ia harapkan jadi mitra damai, menghabiskan 8% PDB-nya untuk militer dan baru saja meluncurkan serangan drone ke Kyiv. Membangun kepercayaan dengan Moskow, seperti yang van Aken usulkan, terasa seperti mengajak harimau berpelukan—romantis, tapi beresiko.

Lalu, ada Readiness 2030, antitesis dari mimpi van Aken. Rencana ini, yang digaungkan Ursula von der Leyen, bukan sekadar soal beli senjata, tapi tentang Ematerials Eropa dari ketergantungan pada AS. Laporan dari European Defence Agency menyebutkan bahwa 80% pengadaan pertahanan Eropa masih bergantung pada pemasok non-UE, terutama AS. Readiness 2030 ingin membalikkan angka ini dengan mendorong industri pertahanan lokal, dari tank Leopard Jerman hingga drone Prancis. Tapi, ada ironi di sini: Eropa, yang bangga dengan nilai-nilai humanisnya, kini berlomba jadi raksasa militer. Van Aken mungkin akan menyindir, “Kalian bilang cinta damai, tapi kok tangan kalian penuh pelatuk?”

Jika kita tarik benang ke konteks lokal—katakanlah, ke Indonesia—bayang-bayang dilema ini juga terasa. Kita, yang sering terjepit antara idealisme netralitas dan kebutuhan alutsista, bisa melihat cermin di Eropa. Di sini, kita bicara soal “diplomasi bambu runcing” sambil diam-diam mengintip jet tempur Rafale. Van Aken mungkin akan disambut tawa sinis di Jakarta: “Mau damai sama semua orang? Coba bilang gitu ke kapal-kapal yang suka nyelonong di Natuna.” Dunia, sayangnya, tak seindah puisi Chairil Anwar. Keamanan sering kali datang dari laras senapan, bukan jabat tangan.

Kembali ke Eropa, visi van Aken bukan tanpa daya tarik. Bayangkan dunia di mana Eropa tak lagi jadi arena tarik-menarik AS dan Rusia, melainkan mediator yang menenun perdamaian. Tapi, inilah letak absurditasnya: untuk mencapai utopia itu, van Aken meminta kita mempercayai Rusia, yang baru saja membuat Ukraina jadi puing. Menurut laporan OSCE, lebih dari 10.000 warga sipil tewas di Ukraina sejak 2022, dan Moskow masih bersikukuh bahwa “operasi khusus” mereka adalah hak suci. Van Aken bilang butuh 10 tahun untuk membangun kepercayaan. Pertanyaannya: siapa yang punya kesabaran sebanyak itu saat rudal masih beterbangan?

Sebaliknya, Readiness 2030 menawarkan jawaban yang lebih paham realitas, tapi tak kalah problematik. Menggelontorkan €800 miliar untuk pertahanan berarti mengorbankan anggaran untuk kesehatan, pendidikan, atau transisi energi. Laporan Eurostat 2024 menunjukkan bahwa 22% warga UE masih hidup di ambang kemiskinan. Apa gunanya tank canggih jika rakyat kelaparan? Di sinilah sindiran van Aken mengena: “Kalian bilang damai, tapi kenapa dompet kalian bau mesiu?” Tapi, ia lupa satu hal: tanpa keamanan, tak ada ruang untuk kesejahteraan. Eropa tahu ini, karena bekas luka Perang Dunia II masih membekas di dinding-dinding Berlin.

Jadi, ke mana arah Eropa? Van Aken menawarkan mimpi yang indah tapi rapuh, seperti balon yang mudah meletus di angin geopolitik. Readiness 2030, meski pragmatis, risked Eropa jadi mesin perang baru, melupakan akar humanisnya. Mungkin jawabannya bukan memilih salah satu, tapi mencari jalan tengah yang tak ada di peta van Aken maupun von der Leyen. Misalnya, mengapa tidak memperkuat pertahanan sembari membuka saluran diplomasi? Tapi, ini bukan dunia dongeng. Rusia tak akan duduk manis, dan AS tak akan rela kehilangan cengkeramannya.

Di ujung narasi ini, kita diajak tersenyum miris. Van Aken, dengan idealismenya, seperti Don Quixote yang menyerang kincir angin, berharap dunia berputar sesuai lagunya. Sementara itu, Eropa, dengan Readiness 2030, memilih mempersenjatai diri, tahu bahwa kincir angin itu bisa jadi monster. Kita, sebagai penonton dari kejauhan, hanya bisa bertanya: apakah Eropa akan menemukan damai, atau justru terseret ke tarian perang yang baru? Satu hal pasti: dunia ini terlalu bising untuk mendengar bisik-bisik utopia.

Kita, yang menyaksikan dari pinggir, mungkin cuma bisa menghela napas. Eropa, seperti kita, terjebak dalam paradoks: ingin damai, tapi tak bisa lepas dari bayang-bayang senjata. Van Aken mungkin benar bahwa NATO bukan jawaban abadi, tapi menggantinya dengan pelukan Rusia terasa seperti lelucon yang tak lucu. Readiness 2030 menawarkan kekuatan, tapi dengan harga yang bikin dompet dan hati perih. Maka, sambil menyeruput kopi, mari kita tanya diri sendiri: kalau dunia ini panggung, apakah kita penonton, aktor, atau sekadar figuran yang lupa dialog?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *