Connect with us

Opini

Eropa: Surga Turis, Neraka Warganya

Published

on

Ah, Eropa! Benua yang dikenal sebagai pusat peradaban, kiblat kebudayaan, dan mercusuar kemakmuran. Tempat di mana sejarah, seni, dan kuliner bertemu dalam satu panggung megah untuk dipertontonkan kepada dunia. Namun, di balik gemerlap lampu kota-kota tuanya yang memesona, terselip ironi yang semakin sulit disembunyikan: Eropa lebih peduli pada turis dibandingkan warganya sendiri. Sebuah paradoks yang menempatkan warga asli sebagai pengungsi di tanah kelahirannya sendiri, sementara turis menikmati segala kemewahan yang dulu seharusnya menjadi hak mereka.

Rumah atau Ilusi?

Bayangkan Anda adalah seorang pemuda Eropa yang lahir dan besar di kota bersejarah seperti Barcelona, Amsterdam, atau Roma. Anda bekerja keras, membayar pajak, dan berkontribusi terhadap ekonomi negara. Namun, ketika saatnya tiba untuk membeli rumah atau sekadar menyewa apartemen kecil, kenyataan pahit menghantam: harga properti melonjak tak terkendali, apartemen kosong lebih banyak ditempati oleh wisatawan sementara Anda terpaksa tinggal di pinggiran kota atau bahkan kembali ke rumah orang tua.

Dalam dua dekade terakhir, harga properti di kota-kota besar Eropa naik lebih dari dua kali lipat. Di Amsterdam, harga rumah rata-rata kini melampaui 500.000 euro. Di Barcelona, seorang pekerja muda dengan gaji rata-rata 1.500 euro per bulan hanya bisa bermimpi memiliki apartemen sendiri. Sementara itu, Airbnb dan platform sejenisnya membuat kota-kota ini semakin tak ramah bagi warganya. Para pemilik properti lebih memilih menyewakan apartemen mereka kepada turis dengan tarif harian tinggi dibandingkan kepada penduduk lokal yang mencari kontrakan jangka panjang.

Kebijakan pemerintah? Mereka sibuk mengatur batas jumlah apartemen yang bisa disewakan melalui Airbnb—tapi bukan dengan melindungi hak warga untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Mereka lebih tertarik menarik lebih banyak turis karena itu berarti lebih banyak pemasukan dari pajak dan industri pariwisata. Warga yang protes? Ah, mereka hanya dianggap sebagai gangguan kecil dalam simfoni kapitalisme modern.

Turis, Raja Tanpa Mahkota

Ketika seseorang mengunjungi kota seperti Paris atau Venesia, mereka ingin merasakan atmosfer “asli” kota tersebut. Namun, apa yang mereka temukan? Kafe-kafe tua berubah menjadi rantai restoran cepat saji yang lebih sesuai dengan selera turis Amerika, toko roti khas digantikan oleh gerai suvenir plastik, dan pemilik toko lokal dipaksa angkat kaki karena harga sewa yang semakin tak masuk akal. Warga setempat semakin jarang terlihat, digantikan oleh gerombolan turis dengan kamera dan peta digital di tangan mereka.

Di Venesia, situasinya lebih parah. Penduduk kota yang dulunya mencapai 175.000 jiwa kini hanya tersisa sekitar 50.000 orang. Sisanya telah pergi, kalah dalam perang ekonomi melawan turisme massal. Kapal pesiar raksasa yang membawa ribuan turis dalam sehari terus merusak ekosistem laguna, tetapi pemerintah setempat tetap menyambut mereka dengan tangan terbuka—karena, tentu saja, uang yang dihasilkan lebih penting daripada keberlanjutan kota itu sendiri.

Di beberapa kota, warga mulai melawan dengan cara mereka sendiri. Di Barcelona, muncul gerakan anti-turis dengan slogan seperti “Tourists go home!” dicoret di dinding-dinding bangunan tua. Namun, apakah ini menyelesaikan masalah? Tidak. Karena kenyataannya, perekonomian lokal sudah terlalu bergantung pada sektor pariwisata.

Pekerjaan? Hanya untuk Mereka yang Tangguh

Bagi generasi muda, bekerja dan hidup di Eropa kini menjadi permainan bertahan hidup. Kontrak kerja sementara semakin menjadi norma, sementara pekerjaan dengan jaminan dan keamanan kerja perlahan menghilang seperti reruntuhan sejarah yang terlupakan. Di Italia dan Spanyol, lebih dari 30% pekerja muda terjebak dalam kontrak kerja jangka pendek, yang berarti mereka tidak memiliki kestabilan finansial untuk membeli rumah, berkeluarga, atau bahkan sekadar merencanakan masa depan.

Namun, industri pariwisata terus berkembang pesat. Kota-kota dipenuhi dengan lowongan pekerjaan sebagai pelayan, pemandu wisata, atau petugas kebersihan hotel. Masalahnya, pekerjaan-pekerjaan ini sering kali bergaji rendah dan tidak menawarkan perlindungan sosial yang memadai. Warga lokal akhirnya terpaksa menerima pekerjaan yang tak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Solusi yang Tak Pernah Ada

Setiap kali masalah ini diangkat, pejabat Uni Eropa dan pemerintah lokal memberikan jawaban yang sama: regulasi baru, lebih banyak aturan untuk mengendalikan penyewaan jangka pendek, dan janji-janji kosong untuk membangun lebih banyak rumah terjangkau. Namun, kenyataannya, setiap kebijakan baru sering kali memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh investor besar dan pemilik modal.

Mengapa? Karena realitas politik dan ekonomi Eropa modern lebih condong ke arah kepentingan bisnis daripada kesejahteraan warganya. Dalam demokrasi yang seharusnya melindungi hak rakyat, kapitalisme telah membajak kursi penguasa. Turis menjadi prioritas, sementara warga asli hanya menjadi pelengkap dalam lanskap urban yang semakin dikomodifikasi.

Akhir dari Sebuah Mimpi?

Ketika Eropa menjual citra dirinya sebagai tempat yang penuh dengan warisan budaya dan keindahan, ia juga menjual jiwanya kepada industri pariwisata global. Warga yang seharusnya menjadi penjaga kebudayaan ini justru tersingkir dari kota-kota mereka sendiri, terpaksa menjadi penonton dalam teater kehidupan yang semakin absurd.

Jika tren ini terus berlanjut, mungkin dalam beberapa dekade ke depan, Eropa tidak lagi menjadi benua yang dihuni oleh komunitas asli, melainkan hanya sekadar taman bermain raksasa bagi wisatawan global. Kota-kota akan berubah menjadi museum hidup, di mana “warga lokal” hanya hadir sebagai aktor yang berpura-pura menjalani kehidupan normal demi kepuasan turis.

Dan ketika saatnya tiba, siapa yang akan tersisa untuk menjaga warisan sejati benua ini? Mungkin hanya kenangan, yang ironisnya, akan diabadikan dalam foto-foto turis yang pernah datang ke sana.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *