Opini
Eropa, Sanksi, dan Luka yang Diciptakannya Sendiri

Uni Eropa dengan penuh keyakinan melangkah lebih jauh: menurunkan batas harga minyak Rusia dari $60 menjadi $45 per barel dan menjatuhkan sanksi baru, termasuk terhadap pipa Nord Stream yang sudah lumpuh sejak 2022. Tujuannya jelas—memotong pendapatan Kremlin untuk membiayai perang di Ukraina, mendorong Moskow duduk di meja perundingan. Perdana Menteri Estonia, Kaja Kallas, bahkan menyebut langkah ini akan “mengguncang” keuangan Rusia.
Namun di balik retorika keras itu, kegelisahan menyelinap: apakah strategi ini akan efektif? Ataukah, seperti sanksi-sanksi sebelumnya sejak 2022, justru menjadi bumerang bagi Eropa sendiri?
Batas harga $45 per barel memang tampak lebih tegas. Namun, menurut laporan Associated Press, batas $60 yang ditetapkan sebelumnya hanya bersifat simbolik. Minyak Rusia seperti Urals sudah lama diperdagangkan di bawah harga tersebut. Bahkan dengan sanksi berjalan, Rusia masih mencatat keuntungan berkat armada bayangan—ratusan kapal tanker tua yang tetap mengangkut minyak ke pasar global, menurut Reuters.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyatakan bahwa pendapatan energi Rusia dari Eropa memang menurun drastis—dari €12 miliar menjadi hanya €1,8 miliar per bulan. Tapi, anehnya, ekonomi Rusia tumbuh 3,6% pada 2023, menurut IMF. Sebuah ironi yang memperlihatkan bahwa sanksi tidak selalu membawa dampak seperti yang diharapkan.
Sanksi tambahan kini menyasar 22 bank Rusia dan melarang ekspor barang senilai €2,5 miliar. Namun, Rusia bukan pemain baru dalam hal mengelak dari sanksi. Sejak invasi Krimea pada 2014, Moskow sudah mulai membangun sistem pembayaran alternatif seperti SPFS, dan beralih menggunakan mata uang yuan dan rupee dalam transaksi energi, sebagaimana dicatat Bloomberg. Di Asia, minyak Rusia dijual dengan diskon $10–20 di bawah harga Brent. India—yang kini mengimpor sekitar 40% minyaknya dari Rusia—mengolah minyak itu menjadi solar dan mengekspornya kembali ke Eropa. Menurut The Economist, Eropa yang memboikot Rusia justru berakhir membeli produk hasil olahan Rusia dengan harga lebih mahal.
Turki juga memainkan peran penting sebagai perantara. Minyak dan gas Rusia mengalir melalui pelabuhan Ceyhan dan jaringan pipa TurkStream, menurut laporan Energy Intelligence. Dalam dunia yang kini multipolar, India dan Turki tidak tunduk pada tekanan moral Barat. Mereka bermain di tengah, mengambil keuntungan dari situasi, tanpa terjebak dalam dikotomi “pro” atau “anti” Barat. Sanksi yang dahulu efektif terhadap rezim apartheid Afrika Selatan kini terasa tumpul saat diarahkan pada Rusia—sebuah negara dengan cadangan devisa sebesar $600 miliar, menurut Bank Dunia.
Baca Juga: Ketika NATO Minta 400%, Siapa yang Bayar?
Eropa tampaknya masih terjebak dalam romantisme era unipolar, yakin bahwa tekanan ekonomi akan selalu mampu mengubah jalannya konflik. Namun realitas berkata lain. Rusia tetap bertahan, sementara Eropa sendiri mulai goyah.
Krisis energi tahun 2022 adalah cermin pahit bagi Eropa. Saat itu, harga gas melonjak hingga €300 per megawatt-jam, dan minyak Brent mendekati $120 per barel, menurut data IEA. Uni Eropa harus menggelontorkan subsidi energi hingga €700 miliar untuk menahan gejolak sosial. Di lapangan, rakyat biasa menanggung beban berat—dari pekerja kerah biru di Berlin hingga petani kecil di Portugal, semua kesulitan membayar tagihan.
Industri pun terpukul. Pada 2023, output industri Jerman menyusut 4,8%, menurut Eurostat. Perusahaan kimia raksasa BASF bahkan mulai mengurangi operasinya di Jerman dan memperluas investasi di Amerika Serikat, menurut Financial Times. Sementara itu, Rusia mengalihkan ekspor energinya: 50% ke Tiongkok dan 40% ke India, memperkuat poros energi baru di luar orbit Barat.
Sanksi terhadap pipa Nord Stream pun terasa simbolik semata. Pipa ini sudah rusak akibat sabotase pada 2022, dan tak lagi mengalirkan gas. Namun sanksi itu tetap bisa memicu respons balasan dari Rusia, termasuk kemungkinan memotong pasokan gas melalui jalur TurkStream, sebagaimana diperingatkan Platts. India dan Turki, yang kini menikmati manfaat besar dari perdagangan ini, tidak punya alasan kuat untuk mengubah posisi mereka.
Sanksi yang dibahas dalam KTT G7 pada Juni 2025 terdengar megah. Namun, tanpa sanksi sekunder terhadap negara-negara perantara seperti India dan Turki, efektivitasnya akan kembali dipertanyakan. Eropa, dalam banyak hal, terus membayar mahal—baik secara ekonomi maupun sosial.
Dari jauh, Indonesia bisa berkaca. Ketika harga minyak global melonjak pada 2022, subsidi energi kita membengkak hingga Rp502 triliun, menurut data Kementerian Keuangan. Protes muncul dari Jakarta hingga Makassar saat harga Pertalite naik. Kita mengimpor minyak olahan dari Singapura, yang sebagian bahkan bisa berasal dari minyak Rusia yang telah “dibersihkan” melalui rantai pasok global, menurut Kementerian ESDM. Krisis energi adalah beban yang nyata. Bila Eropa yang kuat pun kelabakan, bagaimana bila tekanan serupa menimpa Indonesia di tengah konflik geopolitik global?
Lantas mengapa Eropa tetap bersikeras, meski dampaknya menyakitkan bagi warganya sendiri? Von der Leyen bicara soal perlunya “gencatan senjata nyata” di Ukraina. Tapi tanpa tekanan besar dari aktor-aktor non-Barat, apa alasan Moskow untuk menyerah? Dunia multipolar tak lagi patuh pada dikte dari Washington atau Brussels. Tiongkok, India, dan negara-negara Global South menjalankan agenda masing-masing. Dengan kapasitas produksi hingga 7 juta barel per hari, Rusia bukan lawan kecil, sebagaimana diakui OPEC.
Sanksi sekunder terhadap India dan Turki mungkin dibutuhkan agar tekanan benar-benar terasa. Tapi ini bukan perkara mudah. Diplomasi dengan negara-negara tersebut rumit, apalagi jika menyentuh kepentingan domestik mereka. Tidak ada negara yang rela merugi demi kepentingan Barat, apalagi di tengah kompetisi geopolitik dan ketegangan regional.
Pertanyaannya kini: sampai kapan Eropa mampu bertahan? Menurut Gas Infrastructure Europe, stok gas mereka telah mencapai 90% untuk musim dingin 2025. Namun jika Rusia membalas dengan pengurangan pasokan gas atau minyak, harga energi bisa kembali meroket, sebagaimana diperingatkan oleh IEA. Inflasi, yang sempat turun ke level 2–3%, bisa kembali naik. Industri Jerman akan semakin goyah. Italia, dengan rasio utang mencapai 140% terhadap PDB, tidak punya ruang fiskal untuk subsidi lanjutan. Rakyat Eropa—yang sudah lelah dengan tagihan mahal dan guncangan ekonomi—bisa kehilangan kesabaran. Protes besar-besaran di Prancis pada 2022–2023 adalah sinyal awal ketidakpuasan itu.
Baca Juga: Uni Eropa Berjudi dengan Anggaran Militer Triliunan
Eropa memang bermimpi melepaskan diri dari ketergantungan energi Rusia. Program REPowerEU menargetkan 45% energi terbarukan pada 2030. Namun realisasinya mahal dan lama. Menurut IEA, dibutuhkan €1 triliun dan waktu hingga 2040. Untuk saat ini, Eropa justru harus membeli LNG dari AS dan Qatar dengan harga dua kali lipat dari gas Rusia, atau solar dari India dengan premi yang tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg. Ini seperti menolak beras murah dari tetangga, lalu membeli dari pasar jauh sambil berharap panen sendiri. Bebannya dirasakan oleh buruh di Hamburg, pedagang kecil di Lisboa, dan warga biasa di Athena.
Di titik ini, Indonesia bisa kembali bercermin. Kita tahu pahitnya menaikkan harga BBM. Kita tahu betapa beratnya menjaga stabilitas ketika energi menjadi beban fiskal dan sosial. Eropa, dengan segala keunggulannya, juga tak kebal. Maka refleksi pun muncul: apakah Eropa, meski berangkat dari niat baik, terlalu yakin dunia masih tunduk pada poros Barat?
Rusia bertahan dengan dukungan Tiongkok dan India. Sanksi yang terlihat garang di atas kertas ternyata lemah di lapangan. Eropa telah merasakan lukanya sendiri—krisis energi, inflasi, guncangan industri. Pertanyaannya kini bukan hanya soal kebijakan, tapi soal kesadaran: apakah mereka mau belajar, atau akan terus menjalani luka yang mereka ciptakan sendiri?
Dunia multipolar menuntut pendekatan baru. Rusia, dengan cadangan gas terbesar dan pasokan minyak melimpah, bukan musuh yang bisa didiamkan dengan tekanan ekonomi semata. Eropa, dengan sanksi barunya, terlihat mengulang pola lama, berharap tekanan ekonomi akan memaksa Moskow menyerah. Namun Moskow punya sekutu, strategi, dan pasar alternatif. Sementara rakyat Eropa harus berhadapan dengan tagihan listrik yang mencekik, lapangan kerja yang terancam, dan ekonomi yang melambat.
Bagi Indonesia, semua ini adalah pelajaran. Energi tidak bisa dipisahkan dari geopolitik. Krisis global bukan lagi isu jauh. Kita telah merasakannya, dan bisa mengalaminya lagi jika tidak bersiap.
Pada akhirnya, mungkin pelajaran terbesarnya adalah ini: sanksi saja tak cukup. Dunia telah berubah. Diplomasi pragmatis dengan India, Turki, bahkan Tiongkok mungkin diperlukan. Eropa harus realistis, dan Indonesia pun harus bijak membaca arah angin. Di era multipolar ini, strategi energi dan hubungan internasional tidak bisa lagi dijalankan dengan peta lama. Pertanyaannya tinggal satu: apakah Eropa akan melangkah maju dengan pemahaman baru, atau terus terpuruk dalam idealismenya?