Opini
Eropa Retak: Persatuan atau Ilusi yang Kian Rapuh?

Eropa, sang mercusuar peradaban yang dulu bersatu dalam kebanggaan kolektif, kini tampaknya mulai menunjukkan retakan di fondasinya. Uni Eropa, proyek besar yang digadang-gadang sebagai tonggak solidaritas, kini lebih menyerupai gedung tua yang catnya mulai mengelupas, dengan pilar-pilar yang berderit setiap kali ada angin kebijakan yang sedikit berbeda dari Brussel. Semakin lama, semakin jelas bahwa kebersamaan mereka lebih mirip pernikahan yang bertahan demi anak-anak, bukan karena cinta yang tulus.
Lihatlah Hongaria, negara kecil di jantung Eropa yang kini seperti anak nakal di keluarga besar Uni Eropa. Bukannya menurut pada aturan rumah, Budapest justru mempertanyakan segala keputusan orang tua angkatnya di Brussel. Ketika Eropa berlomba-lomba membakar jembatan energi dengan Rusia, Hongaria justru sibuk memastikan gas tetap mengalir ke rumah-rumah warganya. Aneh? Tidak juga. Yang aneh justru negara-negara yang rela merusak dapur sendiri demi mengikuti keputusan meja makan bersama yang penuh intrik.
Dan kini, setelah sekian lama dipaksa menelan keputusan-keputusan Brussel yang merugikan, Hongaria akhirnya angkat bicara. Menteri Luar Negeri Peter Szijjarto dengan gamblang menyindir bahwa Uni Eropa tak lebih dari klub yang suka memberikan janji manis sebelum menikam anggotanya sendiri. Dalam suratnya kepada Kaja Kallas, ia mengingatkan bahwa Brussel pernah bersumpah akan menjaga keamanan energi Hongaria. Tapi janji itu kini terdengar seperti rayuan politisi sebelum pemilu: manis di awal, pahit di belakang.
Tampaknya, Uni Eropa begitu bersemangat membantu Ukraina sampai lupa bahwa mereka masih punya anggota yang butuh perhatian. Szijjarto bahkan terang-terangan mempertanyakan bagaimana bisa seorang kandidat anggota seperti Ukraina berani menyerang infrastruktur energi yang menopang kehidupan negara anggota yang sah. Sejak kapan tamu yang belum resmi masuk rumah boleh melempari atap tuan rumah? Tetapi alih-alih membela anggotanya, Brussel malah sibuk menepuk-nepuk punggung Kiev, seolah-olah ini hanya kesalahpahaman kecil dalam keluarga besar Eropa.
Sementara itu, drama semakin memanas dengan serangan drone di dekat stasiun kompresor TurkStream. Hongaria melihat ini sebagai ancaman nyata terhadap kedaulatannya, tetapi Uni Eropa tampaknya lebih tertarik menutupi insiden ini dengan selimut retorika diplomasi. Sebuah organisasi yang katanya berdiri untuk kesejahteraan dan keamanan anggotanya, kini lebih sibuk menjaga citra dan menghindari konflik internal. Sungguh ironi yang indah: ketika solidaritas Eropa justru berujung pada pengabaian anggota yang berbeda pendapat.
Seperti pernikahan yang sudah hambar, Uni Eropa tetap bertahan demi gengsi, bukan demi kesejahteraan bersama. Negara-negara yang dulunya percaya pada mimpi Eropa bersatu kini mulai bertanya-tanya apakah ini masih layak dipertahankan. Dari Polandia hingga Italia, dari Slovakia hingga Prancis, suara-suara skeptis semakin kencang. Beberapa mulai bertanya, apakah benar Uni Eropa masih menguntungkan mereka, atau apakah ini hanya permainan politik di mana segelintir elite mendikte arah tanpa benar-benar mendengar suara rakyatnya?
Retakan ini semakin terlihat ketika isu energi dan perang Ukraina menjadi pusat perdebatan. Negara-negara Eropa Timur yang masih bergantung pada gas Rusia kini merasa dipaksa untuk mengorbankan kepentingan domestik demi kebijakan bersama yang lebih menguntungkan Jerman dan Prancis. Tapi siapa peduli? Brussel tetap bersikeras bahwa kesatuan lebih penting daripada kepentingan individu, meskipun itu berarti beberapa negara harus menggigil di musim dingin sambil menyanyikan lagu kebangsaan Uni Eropa.
Tidak mengherankan jika euroskeptisisme semakin menjamur. Partai-partai nasionalis dan anti-Uni Eropa mulai mendapatkan panggung, didukung oleh rakyat yang muak dengan kebijakan Brussels yang kerap lebih banyak menghasilkan penderitaan daripada solusi. Jika tren ini terus berlanjut, kita mungkin tidak hanya melihat lebih banyak veto dari Hongaria, tetapi juga potensi keluarnya lebih banyak anggota dari blok ini. Siapa yang bisa menjamin bahwa Brexit tidak akan diikuti oleh Huxit, Polexit, atau Italeave?
Seiring waktu, Uni Eropa tampaknya semakin menyerupai kekaisaran yang terlalu besar untuk dikendalikan. Setiap negara punya kepentingan sendiri, dan semakin sulit bagi Brussel untuk memaksa semua orang tunduk dalam satu garis. Jika para pemimpin di Brussels masih berpikir bahwa retakan ini bisa diperbaiki dengan tambalan diplomasi murahan, maka mereka akan segera menyaksikan bagaimana bangunan besar ini runtuh sedikit demi sedikit.
Bukan tidak mungkin, dalam beberapa dekade mendatang, peta politik Eropa akan kembali ke model lama: negara-negara yang berdiri sendiri dengan kepentingannya masing-masing. Uni Eropa mungkin tetap ada dalam bentuk nama, tetapi tanpa substansi yang nyata. Atau lebih buruk lagi, Uni Eropa bisa menjadi sekadar klub eksklusif di mana hanya mereka yang setuju dengan kebijakan Brussel yang boleh bertahan, sementara yang lain dipaksa memilih antara tunduk atau pergi.
Retakan ini tidak akan langsung membuat Eropa pecah besok atau lusa, tetapi jika pola ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin proyek besar ini akan berakhir sebagai satu lagi kegagalan sejarah yang akan dikenang dengan gelengan kepala. Brussel mungkin masih bisa menutup mata terhadap kenyataan ini, tetapi rakyat di negara-negara anggota sudah mulai melihat bahwa persatuan ini tidak seindah yang dulu dijanjikan. Jika Eropa terus membuat langkah-langkah blunder yang merugikan anggotanya sendiri, maka pertanyaan bukan lagi apakah Uni Eropa akan bertahan, tetapi seberapa lama sebelum ia benar-benar runtuh.