Opini
Eropa Pecah! Ukraina Terancam Ditelantarkan?

Viktor Orban kembali mengguncang panggung politik Eropa dengan pernyataan yang tak hanya sinis tetapi juga brutal: Uni Eropa tidak punya uang. Setelah pertemuan yang penuh perdebatan di Brussels, Orban menegaskan bahwa janji Eropa untuk terus menyokong Ukraina hanyalah bualan kosong. Ironisnya, ini bukan sekadar omong kosong populis seorang pemimpin Hungaria yang kerap dicap penghalang. Ini adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Uni Eropa kini berada di persimpangan jalan antara idealisme dan realitas, antara solidaritas dan kepentingan nasional.
Jika perang Ukraina adalah proyek bersama Uni Eropa, maka ini adalah proyek yang berjalan tanpa fondasi yang kokoh. Buktinya, ketika giliran membayar tiba, semua negara tiba-tiba sibuk mencari alasan. Uni Eropa, yang selalu menggembar-gemborkan persatuan, kini terlihat seperti rumah tangga yang anggotanya bertengkar soal siapa yang harus membayar tagihan listrik. Hungaria secara terbuka menolak menandatangani komitmen untuk bantuan militer tambahan. Italia dan Spanyol, yang selama ini lebih memilih bermain aman, mulai berbisik di sudut ruangan bahwa angka 40 miliar euro terlalu besar untuk perang yang tak berkesudahan.
Dalam perspektif realisme politik, ini bukanlah kejutan. Negara-negara tidak bertindak berdasarkan moralitas atau janji solidaritas semata, melainkan berdasarkan kepentingan nasional. Bagi Hungaria, mempertahankan hubungan baik dengan Rusia lebih penting daripada menghamburkan dana untuk Ukraina. Bagi Italia dan Spanyol, menjaga ekonomi domestik jauh lebih mendesak dibandingkan membakar uang demi perang yang tak memberi mereka keuntungan langsung. Jerman, yang selama ini menjadi motor utama kebijakan Uni Eropa, juga mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ketika kepentingan nasional berbicara, idealisme Uni Eropa runtuh seperti rumah kartu.
Namun, mengapa Uni Eropa tidak bisa mencapai kesepakatan? Jawabannya terletak pada kelembagaan mereka yang justru menghambat kerja sama. Uni Eropa didesain sebagai entitas supranasional, tetapi dalam praktiknya, ia tetap terjebak dalam kepentingan individual negara anggotanya. Setiap keputusan penting membutuhkan konsensus, dan itu memberi ruang bagi negara-negara seperti Hungaria untuk memainkan kartu veto. Dalam sistem ini, satu negara bisa menghancurkan seluruh kebijakan luar negeri hanya dengan satu kata: tidak. Jika Uni Eropa ingin berperang dengan Rusia, maka mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka bahkan tidak bisa berperang melawan ego mereka sendiri.
Sementara itu, Ukraina berada dalam situasi yang lebih tragis. Negara itu bukan hanya medan perang, tetapi juga pasien ICU yang hidupnya tergantung pada infus bantuan Barat. Dalam perspektif teori ketergantungan, Ukraina adalah negara yang sepenuhnya menggantungkan diri pada Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk bertahan. Jika Eropa mulai goyah dalam memberikan bantuan, maka Kyiv harus menghadapi kemungkinan bahwa mereka sedang ditinggalkan di medan perang. Ini bukan lagi tentang menang atau kalah; ini tentang bertahan hidup tanpa jaminan kapan bantuan berikutnya akan datang.
Realitas ekonomi juga menjadi faktor utama yang mendorong perpecahan Uni Eropa. Negara-negara anggota mulai merasakan dampak dari perang yang mereka dukung dengan penuh semangat di awal. Inflasi melonjak, harga energi tidak stabil, dan anggaran pemerintah semakin ketat. Masyarakat mulai bertanya: mengapa kita harus terus membayar untuk perang ini? Uni Eropa dibangun atas janji kemakmuran dan stabilitas, tetapi kini para pemimpin di Brussels harus menghadapi kenyataan bahwa perang yang mereka biayai justru menggerogoti fondasi ekonomi mereka sendiri.
Di saat yang sama, Rusia hanya perlu duduk dan menonton Uni Eropa bertengkar. Ini adalah kemenangan strategis tanpa perlu mengerahkan lebih banyak pasukan. Dari perspektif geopolitik, perpecahan di dalam Uni Eropa adalah keuntungan besar bagi Moskow. Jika Uni Eropa tidak bisa mengambil keputusan yang solid, maka Ukraina akan semakin lemah. Jika bantuan keuangan dan militer berkurang, maka Rusia tidak perlu repot-repot bernegosiasi karena waktu akan bekerja di pihak mereka. Perang ini mungkin tidak dimenangkan dengan tank dan rudal, tetapi dengan kesabaran dan strategi memecah belah musuh.
Pertanyaannya sekarang, apakah negara-negara yang masih bersemangat mendukung Ukraina akan tetap bertahan? Polandia, Prancis, dan negara-negara Baltik masih berusaha mengibarkan bendera perang, tetapi tanpa dukungan penuh dari Uni Eropa, upaya mereka akan semakin sulit. Jika mereka harus bertindak sendiri, itu berarti mereka harus mengalokasikan sumber daya nasional yang lebih besar. Seberapa lama mereka bisa bertahan? Seberapa dalam kantong mereka? Dan apakah mereka siap menghadapi tekanan domestik yang semakin besar untuk mengakhiri keterlibatan ini?
Di sisi lain, jika Uni Eropa benar-benar kehabisan uang seperti yang dikatakan Orban, maka ini adalah momen yang bisa mengubah arah perang secara drastis. Amerika Serikat, yang juga menghadapi tantangan politik domestik, mungkin tidak akan terus-menerus mengisi celah yang ditinggalkan Eropa. Jika Donald Trump kembali berkuasa, maka Kyiv bisa menghadapi kenyataan pahit bahwa Washington juga tidak lagi tertarik untuk membakar triliunan dolar untuk perang yang tak kunjung usai. Saat itu terjadi, Ukraina tidak hanya kehilangan Eropa, tetapi juga kehilangan penyokong utamanya.
Pada akhirnya, perang Ukraina bukan lagi sekadar konflik di medan tempur, tetapi juga pertempuran politik dan ekonomi di ruang-ruang pertemuan Brussels. Uni Eropa mungkin akan terus berusaha menyatukan sikap mereka, tetapi semakin lama mereka berselisih, semakin dekat Rusia dengan kemenangan strategisnya. Orban mungkin hanya satu suara di antara banyak pemimpin Eropa, tetapi pernyataannya mencerminkan sesuatu yang lebih besar: Uni Eropa bukanlah kekuatan monolitik yang bisa bergerak dengan satu suara. Mereka adalah koalisi negara-negara dengan kepentingan yang berbeda-beda, dan dalam perang seperti ini, perbedaan itu bisa menjadi kehancuran mereka sendiri.
Ketika sejarah mencatat perang ini, Uni Eropa akan dikenang bukan sebagai aliansi yang solid, tetapi sebagai kumpulan negara yang terpecah belah oleh kepentingan masing-masing. Jika Kyiv berharap pada kesatuan Eropa, maka mereka mungkin telah salah menaruh harapan sejak awal. Dan jika Uni Eropa berpikir bisa terus memainkan permainan ini tanpa konsekuensi, maka mereka akan segera menyadari bahwa dalam perang, ketidaktegasan adalah bentuk kekalahan yang paling memalukan.
Daftar Referensi:
- RT News – “Orban: The EU has no money left to support Ukraine” (https://www.rt.com/news/614564-orban-ukraine-eu-empty-promises/)
- Politico – “EU divisions deepen over Ukraine military aid”
- Euronews – “Ukraine aid plan faces resistance in Brussels”
- Financial Times – “Hungary blocks EU military support for Ukraine”
- Reuters – “EU struggles to agree on further funding for Ukraine amid economic concerns”