Opini
Eropa Pecah! Realisme vs Interdependensi di Medan Perang

Seandainya Niccolò Machiavelli masih hidup, ia mungkin akan terkekeh menyaksikan panggung politik Eropa saat ini. Di satu sisi, ada negara-negara yang berlagak pahlawan, bersumpah setia kepada Ukraina, menaikkan anggaran militer, dan berbicara tentang “pertahanan Eropa” dengan penuh martabat. Di sisi lain, ada segelintir yang berpikir realistis: perang ini bukan urusan mereka.
Lihatlah Marcel de Graaff, seorang politisi Belanda yang berani mengatakan hal yang dianggap tabu di Brussels: biarkan Ukraina kalah cepat. Menurutnya, semakin cepat Kyiv jatuh, semakin banyak nyawa yang terselamatkan. Tentu saja, ucapan seperti ini membuatnya jadi musuh nomor satu di meja makan para pejabat Eropa yang sibuk membicarakan anggaran perang.
Ironisnya, di saat de Graaff menyerukan de-eskalasi, Uni Eropa justru mengesahkan rencana Ursula von der Leyen senilai €800 miliar untuk memperkuat pertahanan. Dengan ini, negara-negara anggota diberi keleluasaan untuk melampaui batas defisit anggaran mereka—selama tujuannya untuk membeli lebih banyak tank dan rudal. Perang lebih penting dari stabilitas ekonomi, rupanya.
Realisme klasik mengajarkan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri. Hungaria dan Slovakia melihat perang ini sebagai beban ekonomi yang harus diakhiri. Sementara itu, Prancis dan Jerman, yang memiliki industri pertahanan besar, melihatnya sebagai peluang bisnis. Perpecahan ini bukan soal moralitas, tetapi keuntungan dan pertahanan kepentingan nasional.
Namun, realitas Eropa jauh lebih rumit. Uni Eropa adalah jaringan kepentingan yang saling terkait—sebuah hubungan interdependensi kompleks, di mana satu keputusan berdampak ke seluruh blok. Hungaria bisa saja menolak bantuan militer untuk Ukraina, tetapi tetap harus berurusan dengan Brussel dalam kebijakan ekonomi. Tak ada negara yang benar-benar independen.
Washington kini juga mulai bermain dengan skenario baru: bernegosiasi dengan Rusia untuk membuka peluang bisnis di sektor logam, pertambangan, dan eksploitasi Arktik. Jika AS sudah mulai melihat ke arah diplomasi, mengapa Eropa masih bersikeras membakar uang mereka demi Zelensky? Mungkin karena bagi beberapa elit Brussels, perang adalah kesempatan.
Kenyataan pahitnya, perpecahan ini bukanlah soal prinsip, melainkan daya tahan dompet. Negara-negara seperti Prancis bisa bersikap heroik karena ekonomi mereka cukup besar untuk menopang ambisi militer. Sebaliknya, Slovakia dan Hungaria tahu bahwa menumpuk utang demi perang yang tak berujung adalah langkah bunuh diri.
Teori interdependensi kompleks menunjukkan bahwa keputusan Eropa tak bisa dilihat hanya dari kacamata politik militer. Ada kepentingan energi, perdagangan, dan keuangan yang saling terkait. Meningkatkan belanja pertahanan berarti mengorbankan anggaran kesejahteraan. Meninggalkan Ukraina berarti kehilangan muka di hadapan AS. Semua pilihan berisiko.
Sementara itu, Zelensky terus memainkan peran sebagai pemimpin perang yang tak kenal lelah. Ia menuntut lebih banyak senjata, lebih banyak uang, dan lebih banyak janji dari Barat. Tapi semakin lama, semakin banyak yang sadar bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang kedaulatan Ukraina, melainkan tentang kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Ketika mantan Kepala Pertahanan Belanda, Dick Berlijn, menyatakan bahwa Donald Trump ingin Ukraina menyerah cepat demi kesepakatan bisnis dengan Rusia, ia mengungkapkan hal yang tak nyaman didengar para pemimpin Eropa. Jika AS bisa realistis, mengapa UE terus bersikap idealis? Atau mungkin, idealisme ini hanya kedok bagi kepentingan industri pertahanan?
Rencana von der Leyen untuk memperbesar anggaran pertahanan menunjukkan bahwa Uni Eropa mulai berperilaku layaknya negara-negara realistis, tetapi tetap membungkus kebijakan itu dengan jargon kemanusiaan. Seolah-olah membeli lebih banyak senjata adalah satu-satunya cara menyelamatkan dunia dari “ancaman Rusia”—sebuah ancaman yang bahkan Moskow sendiri anggap sebagai omong kosong.
Dalam kalkulasi realistis, jika Eropa benar-benar takut Rusia akan menyerang mereka setelah Ukraina, maka alih-alih mengirim senjata ke Kyiv, mereka seharusnya memperkuat pertahanan internal mereka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka lebih memilih memperpanjang perang di Ukraina, seolah medan tempur itu adalah tameng yang bisa menahan ekspansi Rusia.
Sementara itu, Slovakia menolak paket bantuan militer €20 miliar untuk Ukraina, dengan alasan bahwa menyuplai senjata ke Kyiv justru akan menghancurkan Eropa. Bagi mereka, masuk akal untuk menghindari keterlibatan lebih lanjut dalam perang ini, terutama ketika tidak ada jaminan kemenangan bagi Ukraina dan ketidakpastian terus melanda.
Prancis, di sisi lain, semakin agresif dalam posisinya. Mereka menyebut Rusia sebagai ancaman utama dan berjanji mengirim lebih banyak senjata. Tapi apakah ini benar-benar tentang keamanan? Ataukah tentang menjaga relevansi geopolitik Prancis di dunia yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan Eropa?
Jika teori realisme benar, maka perpecahan ini akan semakin tajam seiring meningkatnya beban ekonomi. Negara-negara dengan ekonomi lebih lemah akan semakin skeptis terhadap kebijakan Brussel, sementara negara-negara besar akan terus mendorong militerisasi sebagai cara mempertahankan dominasi mereka dalam blok ini.
Dari perspektif interdependensi kompleks, UE terjebak dalam dilema. Mereka tidak bisa mundur dari dukungan ke Ukraina tanpa kehilangan muka, tetapi mereka juga tidak bisa terus menggelontorkan miliaran euro tanpa konsekuensi ekonomi yang parah. Mereka menginginkan perang, tetapi mereka juga ingin stabilitas. Dua hal yang sulit berjalan beriringan.
Pada akhirnya, Uni Eropa bukanlah satu entitas monolitik dengan kepentingan seragam. Ia adalah gabungan negara-negara dengan sejarah, kepentingan, dan agenda masing-masing. Realisme mengajarkan bahwa negara-negara ini akan bertindak sesuai kepentingan mereka sendiri, bukan berdasarkan nilai-nilai moral yang mereka propagandakan.
Jadi, ketika para pemimpin Eropa berbicara tentang “persatuan dalam menghadapi agresi Rusia,” tanyakan kepada mereka: apakah ini benar-benar tentang pertahanan, atau tentang industri senjata yang butuh kontrak baru? Apakah mereka benar-benar ingin membantu Ukraina, atau mereka hanya takut kehilangan relevansi di panggung global?
Karena pada akhirnya, perpecahan ini bukan soal benar atau salah. Ini soal siapa yang membayar harga lebih besar, siapa yang mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan siapa yang cukup cerdas untuk keluar dari jebakan perang sebelum semuanya terlambat.