Connect with us

Opini

Eropa Panik: Perang Harus Lanjut, Damai Tak Boleh Tanpa Kami!

Published

on

Uni Eropa kini punya proyek baru: balapan senjata. Setelah sekian lama hanya bermain di pinggiran, kali ini mereka ingin masuk ke arena besar. Donald Tusk, Perdana Menteri Polandia, tampaknya sudah siap menjadi juru kampanye utama. “Eropa harus menang dalam perlombaan senjata ini!” serunya penuh semangat. Ada semacam kebanggaan tersendiri bagi Eropa untuk akhirnya bisa membelanjakan uang mereka bukan untuk sosial, tapi untuk tank dan misil.

Pernyataan itu disampaikan tepat setelah Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengangkat megafon dan berteriak kepada dunia bahwa Rusia adalah ancaman. Bukan hanya untuk Ukraina, tapi juga untuk seluruh Eropa, bahkan Prancis sendiri. “Siapa yang percaya Rusia akan berhenti di Ukraina?” tanyanya dengan nada khawatir. Jelas, bukan karena Prancis tiba-tiba mendapat wahyu geopolitik, tetapi karena ada sesuatu yang lebih besar: kepanikan.

Kepanikan ini terjadi bukan karena ada serangan mendadak dari Rusia, bukan karena tank-tank Moskow sudah bergerak ke perbatasan, melainkan karena sebuah pertemuan di Riyadh. Ya, Arab Saudi yang sering mereka pandang sebelah mata itu justru menjadi tempat pertemuan antara Amerika Serikat dan Rusia untuk membahas perdamaian. Lebih buruk lagi, Ukraina dan Uni Eropa tidak diundang.

Bayangkan betapa menyesakkan bagi pemimpin Eropa ketika mendapati diri mereka tidak relevan dalam konflik yang mereka anggap sebagai milik mereka. Mereka telah mengirim miliaran euro ke Ukraina, mereka telah mengorbankan ekonomi mereka dengan sanksi demi sanksi terhadap Rusia, dan sekarang, Amerika justru berbicara dengan Rusia tanpa mengajak mereka. Ini jelas penghinaan yang tak termaafkan.

Maka, respons mereka sangat khas: mendongkrak alarm perang. Jika AS berani berbicara tentang perdamaian tanpa melibatkan mereka, maka mereka akan berbicara tentang perang yang tak bisa dihentikan tanpa mereka. Jika AS ingin keluar dari konflik ini dengan kompromi, maka Eropa akan memastikan bahwa konflik ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah.

Dalam perhitungannya, Macron tampaknya berpikir bahwa jika Eropa terus membunyikan sirine darurat, Washington akan mendengar dan berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan tanpa konsultasi dengan mereka. Maka, isu keamanan pun digoreng dengan suhu maksimal. “Rusia telah mengalokasikan 40% anggarannya untuk militer,” kata Macron, seakan lupa bahwa angka ini adalah reaksi terhadap miliaran dolar yang telah dikirim ke Ukraina oleh NATO dan Uni Eropa sendiri.

Lalu, Tusk pun ikut menyalakan api. Ia mengingatkan semua orang bahwa Uni Soviet kalah dalam perlombaan senjata 40 tahun lalu dan Rusia akan mengalaminya lagi. Sebuah retorika klasik yang penuh dengan optimisme buta. Mungkin ia lupa bahwa Uni Soviet runtuh bukan hanya karena perang senjata, tetapi juga karena keterpurukan internal yang sama sekali berbeda dengan situasi Rusia saat ini. Tapi siapa peduli soal sejarah? Yang penting adalah menyebarkan keyakinan bahwa perang ini bisa dimenangkan dengan mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli senjata.

Sementara itu, di Washington, Donald Trump—dengan gaya khasnya—sedang mengomel tentang bagaimana Eropa terlalu bergantung pada AS. Ia bahkan menyarankan agar Eropa mulai menjaga dirinya sendiri, karena Amerika punya kepentingan lain yang lebih besar. Ini menambah kepanikan di Paris, Berlin, dan Warsawa. Jika AS benar-benar mulai menarik diri dari konflik ini, maka siapa yang akan menopang ambisi perang mereka?

Dari sudut pandang mereka, pilihan yang tersisa hanya satu: menjadikan perang ini sebagai urusan Eropa sepenuhnya. Tetapi bagaimana caranya? Tentu saja dengan memperbesar momok Rusia sebagai ancaman eksistensial. Tiba-tiba, semua pemimpin Eropa mulai berbicara tentang bagaimana Putin bisa saja melanjutkan invasinya ke negara-negara Eropa lainnya. Semua ini dilakukan agar publik Eropa percaya bahwa perang ini bukan hanya soal Ukraina, tetapi juga soal keberlangsungan hidup benua mereka sendiri.

Tentu saja, semua ini harus dibungkus dengan propaganda yang rapi. Tidak ada yang boleh mengatakan bahwa ini sebenarnya tentang ambisi politik Macron atau Tusk untuk tetap relevan di hadapan Washington. Sebaliknya, ini harus terlihat sebagai perjuangan suci demi kebebasan dan keamanan Eropa. Setiap kritik terhadap perang harus dianggap sebagai sikap pro-Rusia. Setiap pertanyaan tentang biaya perang harus dijawab dengan histeria tentang ancaman invasi.

Ironisnya, sementara para pemimpin Eropa sibuk membangun narasi ini, rakyat mereka sendiri semakin lelah dengan perang yang tak kunjung usai. Ekonomi mereka merosot, harga energi melonjak, dan ketidakpuasan sosial terus meningkat. Namun, para pemimpin mereka justru berusaha meyakinkan bahwa jalan keluar dari krisis ini adalah dengan menghamburkan lebih banyak uang untuk militer. Sebuah strategi yang mengingatkan kita pada kebijakan Perang Dingin yang akhirnya hanya menguntungkan segelintir elit.

Tapi yang paling lucu dari semua ini adalah bagaimana mereka tetap berpura-pura bahwa perang ini bisa dimenangkan. Mereka berbicara seolah-olah Rusia akan menyerah begitu saja karena Eropa menaikkan anggaran militernya. Padahal, jika ada satu hal yang sejarah ajarkan kepada kita, itu adalah bahwa perang modern jarang berakhir dengan kemenangan mutlak. Biasanya, semuanya kembali ke meja perundingan—yang ironisnya, baru saja mereka tolak dengan keras.

Jadi, kita sekarang menyaksikan tontonan yang menggelikan. Para pemimpin Eropa berlomba-lomba membuktikan bahwa mereka lebih keras dari Amerika Serikat dalam menghadapi Rusia, meskipun mereka tahu bahwa tanpa AS, mereka tak akan bisa melanjutkan perang ini. Mereka menjerit soal ancaman Rusia, sementara publik mereka sendiri semakin muak dengan perang yang menggerogoti kesejahteraan mereka. Dan di balik semua ini, ada satu fakta yang mereka coba sembunyikan: bahwa keputusan terbesar tentang perang ini tidak ada di tangan mereka, tetapi di tangan Washington dan Moskow.

Pada akhirnya, ini bukan tentang keamanan atau ancaman. Ini adalah tentang ego politik, tentang ketakutan akan kehilangan relevansi, dan tentang usaha terakhir untuk memastikan bahwa Eropa tetap dianggap sebagai pemain utama dalam konflik yang mereka sendiri tidak punya kendali atas akhirnya. Ini adalah drama klasik dari para pemimpin yang lebih takut kehilangan panggung daripada menghadapi kenyataan. Dan seperti biasa, yang akan membayar harga tertinggi dari semua ini bukanlah mereka, tetapi rakyat mereka sendiri.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *