Connect with us

Opini

Eropa: Orkestra Tanpa Konduktor di Medan Perang

Published

on

Brussels sedang pusing tujuh keliling. Di ruang-ruang rapat yang megah dan ber-AC itu, para petinggi Uni Eropa saling bertukar tatapan cemas—entah karena naskah strategi yang tak kunjung solid, atau karena Presiden Donald Trump kembali berulah dengan gaya khasnya: membalik keputusan seperti membalik tangan. Politico melaporkan bahwa sekutu-sekutu AS di Eropa mendadak panik ketika Pentagon secara sepihak mengumumkan pembekuan bantuan militer ke Ukraina. Katanya, gudang senjata AS makin menipis. Tapi, tak lama berselang, Trump si raja drama tampil ke panggung, memutar haluan, dan bersumpah akan terus mengalirkan senjata. Eropa? Bengong. Tak tahu harus percaya yang mana—yang diucapkan Pentagon, atau ocehan Trump yang bisa berubah di tengah napas.

Ada satu kata yang paling cocok menggambarkan posisi Eropa hari ini: “whiplash”. Kepala menengok kiri, ternyata harus ke kanan. Mau melangkah, eh, aspalnya retak. Negara-negara NATO di Eropa seperti pengantin yang ditinggal kabur mempelai prianya di pelaminan: masih pakai jas rapi, tapi isi kepala kosong. Tak tahu harus menyanyi lagu bahagia atau menangis histeris. Mereka tersesat di tengah kemewahan institusional—bangunan megah, birokrasi kompleks, diplomasi gemerlap—tapi nihil kepastian arah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Selama puluhan tahun, Eropa merasa nyaman berada di bawah naungan AS. Tak perlu repot mikir soal strategi militer, tinggal angguk dan ikut. Tapi zaman sudah berubah. Trump datang bukan membawa revolusi, tapi ketidakpastian. Ia menyodorkan doktrin America First dengan garang: “Kalau Ukraina penting buat kalian, ya biayai sendiri!” Lalu Eropa gelagapan. Uni Eropa, yang biasa membanggakan nilai-nilai humanisme dan multilateralisme, tiba-tiba harus menghitung ulang lembaran euro untuk membeli peluru dan rudal. Dari anggaran Covid, pindah ke alutsista. Dari jaring pengaman sosial, pindah ke pabrik senjata. Solidaritas berubah menjadi surat utang.

Ironi pun lahir dari lorong-lorong parlemen Brussel. Sembari berpidato tentang perdamaian dan hak asasi manusia, para pemimpin Eropa menyetujui redirect €335 miliar dana bantuan pandemi ke sektor militer. Yang semula disiapkan untuk menyelamatkan nyawa dari virus, kini dipakai untuk menyuplai senjata ke garis depan. Di balik layar, mungkin ada yang tertawa getir: Beginikah rasanya menjadi negara maju yang kehilangan arah?

Eropa sedang tidak baik-baik saja. Tidak, bukan karena invasi Rusia ke Ukraina, tetapi karena kehilangan identitas. Mereka dulu dikenal sebagai kekuatan lunak, penjaga nilai-nilai kemanusiaan, diplomat ulung. Tapi kini? Jadi semacam pecundang yang gagap di medan keras geopolitik global. Ketika AS bersikap labil dan Rusia mengancam dari Timur, Eropa berdiri di tengah dengan ragu: apakah akan menjadi pengikut setia atau mulai belajar mandiri? Sayangnya, jawaban itu belum ditemukan. Yang ada hanyalah pernyataan-pernyataan generik: “Kami akan mendukung Ukraina selama yang dibutuhkan.” Sementara rakyat mulai bertanya, “Berapa lama itu? Dan sampai berapa lama kami harus membayar harga dari perang yang bahkan bukan milik kami sepenuhnya?”

Dalam situasi seperti ini, Eropa bukan cuma terlihat lemah, tapi juga kehilangan kredibilitas moral. Mereka mengutuk invasi Rusia—dan itu tepat. Tapi di saat yang sama, mereka mentoleransi pendudukan Israel atas Palestina selama puluhan tahun. Mereka mengecam pelanggaran HAM di Timur, tapi diam membisu saat pengungsi Afrika dan Arab ditenggelamkan di Laut Tengah. Begitu banyak kontradiksi yang membuat orang bertanya-tanya: apakah Brussel masih punya kompas etis, atau hanya bergantung pada angin politik dari Washington?

Ada satu kutipan yang barangkali relevan: “Mereka yang tidak punya strategi sendiri akan selalu jadi alat strategi orang lain.” Inilah yang terjadi pada Eropa. Mereka tidak sedang memimpin, mereka sedang mengikuti—terkadang sambil menutup mata. Krisis Ukraina hanya mempercepat kenyataan pahit ini: bahwa Uni Eropa, meski penuh dengan institusi dan janji-janji, tidak siap menghadapi dunia yang kini multi-kutub, brutal, dan tak tertebak.

Apalagi, bayang-bayang Trump terus menggantung. Kalau dia terpilih lagi tahun depan, Eropa mungkin benar-benar harus berhenti bermimpi tentang “kebersamaan transatlantik”. Yang akan datang bukan lagi sekadar omongan kasar atau ejekan sinis, tapi mungkin pengunduran diri total Amerika dari proyek-proyek geopolitik global. Lalu, apakah Eropa siap mengisi kekosongan itu? Atau malah sibuk berdebat soal siapa yang harus bayar lebih banyak?

Sementara itu, Moskow menonton dari kejauhan. Kremlin tak perlu terburu-buru. Mereka tahu bahwa waktu adalah sekutu terbaik. Ketika lawan terpecah, tak perlu banyak bergerak. Diam saja sudah cukup untuk menang setengah langkah. Bahkan, dalam momen langka, Rusia sempat memuji upaya diplomatik AS yang katanya lebih rasional. Sebuah sindiran manis yang menyentil Eropa: bahkan lawan pun bisa menghormati inkonsistensi, asal itu menguntungkan.

Lalu, di mana tempat kita—Indonesia, Asia Tenggara—dalam semua ini? Mungkin hanya sebagai penonton di kursi belakang. Tapi sebagai bangsa yang sering disuruh “meniru Barat”, kita punya pelajaran penting. Bahwa kemajuan teknologi, pendidikan tinggi, dan demokrasi mapan pun bisa menjadi rapuh kalau kehilangan arah dan terlalu bergantung pada pihak lain. Bahwa peradaban bisa kehilangan wibawa kalau tak punya keberanian mengambil keputusan sendiri.

Eropa kini seperti orkestra tua yang kehilangan konduktor. Para pemain masih berdiri dengan alat musik di tangan, partitur di depan mata, tapi tak tahu harus memainkan nada yang mana. Dan di antara kebingungan itu, suara-suara sumbang mulai terdengar: suara populisme, nasionalisme sempit, bahkan ekstremisme kanan yang dulu ditertawakan, kini mulai menyusup ke pusat kekuasaan.

Kalau Brussels tak segera menemukan iramanya sendiri, bukan tak mungkin konser besar yang dulu disebut “proyek peradaban Eropa” akan berubah jadi kekacauan simfoni yang menyakitkan telinga. Sebuah tragedi dari benua tua yang pernah mengajari dunia tentang pencerahan, tapi kini justru tersesat di kegelapan pilihannya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer