Connect with us

Opini

Eropa Nekat Main Api, Siap Terbakar?

Published

on

Ketika Eropa mulai berbicara tentang mengirim pasukan ke Ukraina, seolah-olah dunia belum cukup panas, Moskow langsung mengeluarkan peringatan keras. Dmitry Medvedev dengan sinis menyebut Macron dan Starmer sebagai dua politisi yang pura-pura bodoh. Namun, apakah benar mereka hanya pura-pura? Atau justru mereka sedang menggali lubang yang lebih dalam untuk Eropa sendiri?

Macron dan Starmer dengan penuh percaya diri menyatakan kesiapan mengirim pasukan ke Ukraina. Mereka berbicara tentang koalisi negara-negara yang mau berpartisipasi, seolah sedang menyusun pasukan tentara bayaran untuk perang yang bukan milik mereka. Yang menarik, mereka menyampaikannya di saat Amerika Serikat sedang berusaha mencari jalan damai. Seperti menyiram bensin ke api.

Dalam strategi eskalasi perang, atau yang dikenal dengan brinkmanship, para pemain politik besar kerap mendorong situasi ke ambang kehancuran untuk menekan lawan mereka. Dengan mengancam mengirim pasukan, Prancis dan Inggris mencoba menunjukkan nyali di hadapan Rusia. Namun, pertanyaannya: benarkah mereka siap jika gertakan ini berubah menjadi perang sungguhan?

Rusia telah berulang kali menyatakan bahwa kehadiran pasukan NATO di Ukraina bukan lagi sekadar provokasi, tetapi deklarasi perang langsung. Jika tentara NATO menginjakkan kaki di tanah Ukraina, itu artinya Eropa sedang membuka pintu neraka. Moskow tidak perlu berpikir dua kali untuk menganggapnya sebagai eskalasi langsung, dan konsekuensinya bisa sangat fatal bagi Eropa sendiri.

Uniknya, sementara Macron dan Starmer berteriak soal keberanian, Italia dan Denmark lebih berhati-hati. Giorgia Meloni dengan tegas menyatakan bahwa Italia tidak akan mengirim pasukan. Denmark, di sisi lain, berbicara tentang kehadiran “jika keadaan memungkinkan.” Ini menunjukkan bahwa di dalam NATO sendiri, tidak ada kesepakatan mutlak soal langkah ini.

Perpecahan internal dalam blok Barat semakin terlihat. AS, yang selama ini menjadi dalang utama dalam dukungan terhadap Ukraina, justru lebih memilih jalur diplomasi. Biden tidak ingin terseret dalam perang yang bisa menguras sumber daya dan fokus dari prioritas mereka: China. Sementara itu, Kanada dengan Trudeau-nya masih sibuk mempertimbangkan segala kemungkinan, tetapi tidak berani berkomitmen.

Di satu sisi, ini adalah pemandangan yang ironis. NATO yang selalu digembar-gemborkan sebagai aliansi kuat, kini mulai menunjukkan keretakan dalam menentukan sikapnya. Prancis dan Inggris bermain api, sementara anggota lain lebih memilih untuk tidak ikut-ikutan menyulut konflik lebih jauh. Apakah ini berarti NATO mulai kehilangan kesatuannya?

Jika ini benar-benar hanya gertakan, lalu apa tujuan di baliknya? Ada dua kemungkinan. Pertama, ini adalah upaya meningkatkan tekanan terhadap Rusia agar bersedia menerima kesepakatan damai dengan syarat Barat. Kedua, ini hanyalah strategi untuk menjaga agar konflik tetap hidup, demi menjaga industri senjata dan ekonomi perang tetap berjalan.

Perang selalu menjadi bisnis besar bagi industri pertahanan, dan Prancis serta Inggris memiliki kepentingan besar dalam sektor ini. Perusahaan-perusahaan senjata mereka tidak akan mendapatkan keuntungan maksimal jika perang ini berakhir terlalu cepat. Dengan menggertak Rusia, mereka bisa memaksa negara-negara lain meningkatkan belanja pertahanan, yang pada akhirnya menguntungkan para kapitalis perang.

Namun, seperti bermain api di dekat gudang mesiu, strategi ini bisa menjadi bumerang. Jika Rusia benar-benar merespons dengan agresi lebih besar, siapa yang akan menanggung akibatnya? Tentu bukan Macron atau Starmer yang duduk nyaman di ruang konferensi. Yang akan menderita adalah rakyat Eropa yang bisa menjadi target serangan balasan Rusia.

Apalagi, Rusia bukan negara yang bisa didikte dengan ancaman. Putin dan para jenderalnya sudah memperhitungkan segala skenario, termasuk kemungkinan perang langsung dengan NATO. Dengan kekuatan nuklir yang mereka miliki, mereka tidak akan ragu untuk membalas dengan kekuatan penuh jika merasa eksistensi mereka terancam.

Jadi, ketika Macron dan Starmer bermain api, mereka sebenarnya sedang mempertaruhkan nyawa jutaan orang di Eropa. Mereka mungkin berpikir bahwa Rusia akan mundur di hadapan ancaman ini, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Moskow tidak pernah gentar menghadapi provokasi Barat. Justru sebaliknya, semakin ditekan, semakin keras mereka melawan.

Dalam skenario paling buruk, ini bisa menjadi titik awal perang global. NATO, yang selama ini bersikap defensif, bisa dipaksa untuk turun langsung ke medan perang. Jika itu terjadi, Eropa bukan hanya akan kehilangan stabilitas, tetapi juga bisa menjadi medan tempur baru di abad ke-21. Inikah yang sebenarnya diinginkan Macron dan Starmer?

Namun, ada satu hal yang mungkin mereka lupakan: perang bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga soal ekonomi dan psikologi rakyat. Dengan krisis energi yang masih membayangi dan ketidakstabilan ekonomi akibat inflasi, rakyat Eropa mungkin tidak akan diam jika perang ini benar-benar meningkat. Apakah Macron dan Starmer siap menghadapi gelombang protes besar-besaran jika rakyat mulai menyadari bahwa mereka dijadikan tumbal ambisi politik?

Sementara itu, di Washington, Biden mungkin sedang tersenyum melihat kegaduhan ini. AS bisa saja menggunakan situasi ini untuk memperkuat posisinya sebagai perantara perdamaian, sekaligus membiarkan Eropa menghadapi konsekuensi dari kesembronoan mereka sendiri. Jika Eropa terbakar karena api yang mereka nyalakan sendiri, AS bisa dengan mudah mengambil jarak dan menonton dari kejauhan.

Ironisnya, ini bukan pertama kalinya Eropa terjebak dalam strategi yang merugikan mereka sendiri. Dari invasi Irak hingga intervensi di Libya, mereka selalu mengikuti langkah AS tanpa berpikir panjang. Kali ini, tampaknya mereka mencoba mengambil inisiatif sendiri—namun dengan risiko yang jauh lebih besar. Apakah mereka benar-benar siap menanggung akibatnya?

Pada akhirnya, Eropa harus sadar bahwa mereka bukan lagi kekuatan dominan seperti dulu. Bermain api dengan Rusia bisa berakhir dengan mereka sendiri yang terbakar. Jika NATO benar-benar terseret dalam perang ini, tidak ada jaminan bahwa AS akan datang menyelamatkan mereka. Lalu, siapa yang akan menanggung kehancuran akibat kesembronoan ini?

Mungkin, inilah saatnya bagi Eropa untuk berhenti bertindak seperti anak kecil yang bermain dengan korek api di gudang bensin. Sebelum semuanya terlambat, sebelum api yang mereka nyalakan berubah menjadi kobaran yang melahap mereka sendiri. Sebab dalam dunia politik internasional, siapa pun yang bermain api, cepat atau lambat, akan merasakan panasnya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *