Connect with us

Opini

Eropa ‘Merdeka’ dari Amerika: Mimpi atau Kenyataan?

Published

on

Friedrich Merz baru saja mendeklarasikan sesuatu yang luar biasa. Ia ingin Eropa “merdeka” dari Amerika Serikat. Kata yang menarik, “merdeka” dalam tanda kutip. Seolah-olah selama ini Eropa adalah jajahan Washington, dan baru sekarang tersadar bahwa mereka butuh otonomi. Entah ini kesadaran politik atau sekadar refleksi kepanikan menghadapi Trump yang mulai mengabaikan benua tua.

Dalam pemungutan suara baru-baru ini di Jerman, kekuasaan politik bergeser ke kanan, Partai Demokrat Kristen (CDU/CSU) pimpinan Merz memperoleh 28,5% pada Minggu kemarin, yang mengharuskan setidaknya menambah satu mitra koalisi untuk membentuk posisi mayoritas di parlemen.

Merz, dengan penuh semangat, menyatakan bahwa Eropa harus mengurangi ketergantungannya pada AS, terutama dalam bidang keamanan. Mungkin ia lupa bahwa Jerman selama ini menikmati payung perlindungan NATO, yang sebagian besar biayanya ditanggung oleh Pentagon. Kini, setelah melihat Presiden Amerika Serikat Donald Trump acuh tak acuh, mereka merasa perlu bergegas mencari jalan keluar sendiri.

Ketika Amerika masih peduli dengan Eropa, para pemimpin di Berlin, Paris, dan Brussel merasa nyaman dengan status quo. Tak perlu repot membangun militer yang kuat atau mengembangkan kebijakan luar negeri yang mandiri. Cukup ikuti arahan Washington, maka keamanan dan stabilitas pun terjamin. Tapi sekarang, tiba-tiba muncul semangat nasionalisme Eropa, seolah-olah mereka baru sadar bahwa mereka bisa berdiri sendiri.

Yang lebih ironis, dorongan untuk “kemerdekaan” ini datang di saat Eropa sedang terombang-ambing dalam berbagai krisis. Ekonomi stagnan, ketergantungan energi ke Rusia masih menjadi masalah, dan kebijakan imigrasi terus memicu ketegangan politik internal. Apakah Jerman dan kawan-kawannya benar-benar siap untuk mengelola semua ini tanpa bantuan Amerika? Atau ini hanya gertakan politik untuk menekan Washington agar tetap peduli?

Trump, seperti biasa, tidak melewatkan kesempatan untuk berkomentar. Ia menyebut hasil pemilu Jerman sebagai tanda bahwa rakyat bosan dengan kebijakan yang tidak masuk akal, terutama dalam energi dan imigrasi. Dengan kata lain, jika Jerman ingin merdeka dari Amerika, mungkin Trump juga ingin “merdekakan” mereka lebih dulu. Jangan lupa, ia pernah mengancam akan menarik pasukan AS dari Eropa jika mereka tidak mau membayar lebih tinggi untuk NATO.

Merz ingin mempercepat integrasi Eropa, seolah-olah itu solusi ajaib yang akan menyelamatkan mereka dari ketergantungan terhadap AS. Tapi dengan meningkatnya suara untuk partai-partai sayap kanan dan kiri yang cenderung euroskeptik, tampaknya ambisinya tidak akan berjalan mulus. Tidak semua negara Eropa mau ikut dalam mimpi Jerman untuk membangun kekuatan otonom, apalagi jika itu berarti kenaikan anggaran militer yang drastis.

Tentu, Uni Eropa bukan anak kecil yang harus selalu menggandeng tangan Washington dalam segala urusan. Tapi pertanyaannya, apakah mereka benar-benar siap mengambil langkah besar ini? Atau ini hanya reaksi panik karena Amerika sudah tidak begitu peduli dengan Eropa? Saat Trump kembali ke Gedung Putih, jangan-jangan Eropa malah lebih cepat “merdeka” dari yang mereka bayangkan, bukan karena keinginan sendiri, tapi karena ditinggalkan begitu saja.

Jika benar Eropa ingin mandiri, mereka harus mulai dengan sesuatu yang lebih konkret dari sekadar retorika politis. Apakah Jerman siap meningkatkan belanja pertahanan secara signifikan? Apakah Prancis siap mengubah kebijakan luar negerinya agar lebih agresif tanpa Amerika? Apakah negara-negara kecil di Eropa siap berinvestasi besar untuk membangun industri militer sendiri? Jika jawabannya masih samar, maka pernyataan Merz tidak lebih dari ilusi politis.

Namun, ada satu skenario yang lebih menarik: bagaimana jika ini hanya strategi negosiasi? Jika Eropa berbicara soal “merdeka”, bisa jadi itu hanya gertakan agar AS tidak benar-benar pergi. Seperti pasangan yang mengancam akan berpisah, padahal diam-diam masih berharap pasangannya tetap tinggal. Jika begitu, mungkin Washington juga tidak perlu terlalu panik dengan ambisi baru Merz.

Yang jelas, jika Eropa benar-benar ingin merdeka, mereka harus mulai bertindak seperti kekuatan global yang sejati. Bukan sekadar memainkan kartu geopolitik saat merasa tidak aman. Kalau tidak, mereka hanya akan terlihat seperti anak yang baru sadar bahwa selama ini mereka terlalu bergantung pada orang tua mereka, tetapi masih belum punya cukup keberanian untuk hidup sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *