Opini
Eropa Merdeka 0%, Diskon 15% Tarif Ekspor

(Sebuah narasi satir dari koloni ekonomi yang -katanya- maju)
Ursula von der Leyen berdiri di atas hamparan hijau lapangan golf milik Donald Trump di Skotlandia. Di tempat itu, bukan rumput yang ditapakinya yang penting, tapi bagaimana rumput itu menandai batas: antara martabat dan tawar-menawar. Di sanalah, tanpa seremoni kemerdekaan, Uni Eropa resmi menerima tarif 15% untuk sebagian besar ekspornya ke Amerika Serikat—sebuah kesepakatan yang oleh The Sunday Times tak segan menyebutnya sebagai “penyerahan diri.” Dan dalam sejarah kekaisaran mana pun, penyerahan selalu datang dengan ongkos mahal. Dalam hal ini, total: $1,35 triliun, belum termasuk harga diri yang remuk.
Tarif 15% adalah potongan harga. Tapi jangan salah: potongan itu berlaku untuk barang, bukan untuk kedaulatan. Uni Eropa, dalam kecemasan yang membatu, rela membayar mahal demi potongan itu. $600 miliar untuk investasi ke AS. $750 miliar lagi untuk pembelian energi selama tiga tahun. Apakah itu kebijakan perdagangan? Tidak. Itu tribute. Pajak koloni kepada imperium. Dan von der Leyen, dengan senyum teknokratik khasnya, tampaknya merasa ini adalah diplomasi. Bagi sebagian besar warga Eropa, ini tampak seperti potongan diskon di etalase toko yang sudah dijarah habis-habisan.
Yang lebih menyakitkan: Inggris, negara yang keluar dari Uni Eropa dan berdagang sendirian, justru mendapatkan tarif ekspor 10%—lebih rendah dari “diskon” Uni Eropa. Ironi itu terhidang hangat, seperti fish and chips di saat hujan. Brussels bukan hanya tunduk, tapi kalah dalam tawar-menawar dari negara yang sebelumnya mereka anggap “keluar dari peradaban.” Mungkin benar, kadang yang keluar dari Uni Eropa justru lebih berdaulat daripada yang tinggal.
Tentu, pertanyaannya muncul: mengapa? Mengapa Ursula yang dikenal tegas, bahkan keras dalam isu Covid-19 dan transformasi digital, bisa melunak secepat itu? Jawaban yang menyedihkan dan sekaligus mengguncang: karena takut. Takut Trump menghentikan bantuan militer ke Ukraina. Takut AS menarik pasukannya dari Eropa. Takut Eropa harus berdiri sendiri di atas kaki yang sudah terlalu lama dipapah oleh sepatu bot tentara AS. Ketakutan itu membuat mereka merangkak sebelum diancam.
Laporan menyebut, semula Komisi Eropa sudah menyiapkan paket balasan untuk tarif 20% yang dirancang Trump. Tapi ketika sang mantan presiden menaikkan ancaman menjadi 30%, nyali Brussels menguap seperti subsidi pertanian dalam APBN baru. Tidak ada perlawanan, hanya kalkulasi panik: bagaimana caranya agar AS tetap senang, Ukraina tetap bersenjata, dan tentara AS tetap berkeliaran di tanah Eropa seperti pengantar keamanan restoran yang dibayar terlalu mahal.
Tak pelak, kritik bermunculan dari sesama pemimpin Eropa. Emmanuel Macron menyesalkan hasil kesepakatan itu, menyebut Uni Eropa “tidak cukup ditakuti.” Barangkali yang ia maksud sebenarnya: Uni Eropa bahkan tidak cukup disegani. Viktor Orban, seperti biasa tanpa basa-basi, menyindir bahwa Trump “memakan Ursula untuk sarapan.” Bukan hanya soal tarif, Orban menuduh von der Leyen telah menjanjikan pembelian besar-besaran senjata AS tanpa mandat yang jelas. Dan seperti biasa, Eropa sibuk menjawab dengan prosedur, bukan dengan prinsip.
Kondisi ini sungguh menggelikan jika dibandingkan dengan ide awal berdirinya Uni Eropa: integrasi ekonomi yang menjadi basis kekuatan kolektif. Tapi kini, alih-alih menegosiasikan kekuatan bersama, Eropa justru menyicil kemandiriannya. Ursula, dalam upaya menyelamatkan benua dari kemungkinan bencana militer, malah menjebloskan ekonomi Eropa ke dalam rantai pasok global yang dikendalikan Paman Sam.
Dan di sinilah paradoksnya: Uni Eropa adalah raksasa ekonomi. Produk domestik bruto kolektifnya setara dengan AS. Populasinya besar, teknologinya maju, infrastrukturnya mapan. Tapi ketika berhadapan dengan tekanan dari Washington, raksasa itu berubah menjadi boneka wayang tanpa dalang. Bahkan dalangnya pun cuma ancaman tarif dan janji penarikan pasukan. Amerika Serikat tidak perlu menjatuhkan bom atau mengirim kapal induk; cukup kirim ancaman PowerPoint dan sebuah undangan makan siang di lapangan golf.
Jika ini bukan bentuk kolonialisme gaya baru, lalu apa namanya? Bukan pendudukan militer, tapi ketundukan psikologis. Bukan pemaksaan langsung, tapi relasi patron-klien yang sudah melembaga dalam sistem ekonomi dan pertahanan. Maka, dengan hormat tapi getir, mari kita perkenalkan istilah yang baru: Uni Eropa, Koloni Ekonomi Transatlantik. Bukan negara-negara merdeka, tapi mitra dagang yang takut kehilangan perlindungan. Sebuah konfederasi yang rela membayar upeti demi rasa aman semu.
Lucunya, di tengah badai kritik itu, Ursula von der Leyen justru tengah mencoba mengarahkan Eropa ke arah “militerisasi strategis” dengan memindahkan anggaran dari pertanian dan pembangunan regional ke sektor pertahanan. Jadi, selain menjadi koloni ekonomi, Eropa kini juga sedang disulap menjadi kompleks industri militer yang lebih agresif—namun tetap di bawah bayang-bayang komando Washington. Mungkin dalam waktu dekat, traktor petani akan diganti dengan tank, dan subsidi gandum diganti dengan kuota amunisi.
Di Parlemen Eropa, von der Leyen hanya selamat tipis dari mosi tidak percaya. Tapi bahkan selamat pun, dia sudah kehilangan banyak. Legitimasi, arah, bahkan narasi. Sebagian anggota Parlemen menyebut ini sebagai “kesempatan terakhir”-nya. Barangkali mereka benar. Tapi lebih buruk lagi, mungkin ini juga kesempatan terakhir bagi Uni Eropa untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar perpanjangan tangan dari kekuatan lain.
Kita, dari jauh, di Asia Tenggara yang sering dianggap sebagai anak tangga peradaban global, hanya bisa tersenyum getir. Dulu, kita dikuliti oleh kolonialisme atas nama kemajuan. Sekarang, kita menyaksikan yang mengaku maju justru menyerahkan diri tanpa perlawanan. Dulu, kita berjuang keluar dari bayang-bayang kekuatan asing. Kini, kekuatan asing itulah yang justru mencengkram ulang rumah besar yang seharusnya sudah lama bebas.
Merdeka itu bukan sekadar bebas memilih presiden. Merdeka itu berani berkata “tidak” ketika martabat dipertaruhkan. Dan kalau Uni Eropa saja tak sanggup bilang “tidak” pada Trump, mungkin memang benar: diskon 15% itu adalah harga dari 0% kemerdekaan.