Connect with us

Opini

Eropa: Mercusuar Moral atau Kaki Tangan Genosida?

Published

on

Di jantung Brussels, di mana para elit Eropa berkumpul dalam balairung megah untuk merancang nasib dunia, sebuah tuduhan mendarat laksana bom yang tak meledak—tapi getarnya mengguncang. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, menuding Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan pejabat tinggi lainnya sebagai kaki tangan kejahatan perang di Gaza. Dukungan politik mereka untuk “Israel,” katanya, adalah sokongan nyata bagi pelanggaran hukum internasional. Ironis, bukan? Para pengobar moral global, yang gemar menasihati dunia ketiga soal kemanusiaan, kini dicap sebagai penutup mata di tengah genosida. Dunia menahan napas, atau mungkin cuma menguap, karena absurditas realitas ini sudah jadi makanan sehari-hari.

Von der Leyen, dengan setelan rapi dan senyum diplomatik, berdiri di podium PBB, berbicara soal perdamaian, sementara Albanese menyiapkan laporan yang menelanjangi kontradiksi. Dalam wawancara eksklusif dengan The Intercept, Albanese tak main-main: “Imunitas bukan impunitas,” tegasnya, seolah menampar para pemimpin yang mengira jabatan tinggi adalah perisai abadi. Dia menyebut dukungan Eropa untuk “Israel” sebagai pelanggaran Konvensi Genosida 1948, yang mewajibkan negara-negara mencegah—bukan memfasilitasi—pemusnahan massal. Mouin Rabbani, analis Timur Tengah, mengangguk setuju, menyebut argumen Albanese “sepenuhnya benar.” Tapi, apakah dunia peduli? Atau ini cuma drama lain di panggung geopolitik yang sudah kelewat penuh?

Eropa sedang terhuyung. Krisis ekonomi mencekik dengan inflasi dan harga energi yang membuat rakyat kecil megap-megap. Krisis keamanan, dengan bayang-bayam perang Ukraina dan ancaman teroris, merampas ketenangan malam di Berlin atau Paris. Kini, tuduhan “penjahat perang” menambah beban baru: krisis legitimasi moral. Uni Eropa, yang gemar memamerkan diri sebagai mercusuar kemanusiaan, kini dituduh berenang di lumpur yang sama dengan mereka yang dikecamnya. von der Leyen, yang suka berbicara soal nilai-nilai Eropa, kini harus menjawab: nilai apa yang kalian junjung kalau tangan kalian ternoda?

Albanese tak cuma menyerang individu. Dia menyasar institusi—bank, dana pensiun, perusahaan teknologi, bahkan universitas—yang, menurutnya, turut mendanai kehancuran Gaza. “Semua yang terlibat dalam pendudukan ilegal, yang memberi dukungan, sedang membantu pelanggaran hukum internasional,” katanya. Tragis sekaligus lucu, ketika bank-bank Eropa yang mengelola tabungan pensiun oma-opa di Belanda ternyata, tanpa mereka sadari, ikut membiayai pelanggaran HAM. Atau universitas-universitas yang menggelar seminar tentang keadilan sosial, tapi diam-diam menerima dana dari entitas yang terkait dengan pendudukan. Dunia ini adalah teater absurd yang tak pernah kehabisan naskah.

Jangan harap von der Leyen dan kawan-kawan bakal diadili di ICC besok pagi. William Schabas, pakar genosida dari Middlesex University, dengan nada realistis menyebut penuntutan terhadap pejabat Eropa sebagai langkah “belum pernah terjadi” dan “tak mungkin” dilakukan ICC. Fokus jaksa ICC, katanya, masih pada pejabat Israel seperti Netanyahu, yang sudah dapat surat perintah penahanan. Eropa, dengan segala pengaruhnya, tampaknya masih kebal hukum. Tapi kebal hukum tak berarti kebal cela. Tuduhan ini, meski tak menggiring von der Leyen ke Den Haag, menempel bagai bayang-bayang. Setiap kali dia berbicara soal kemanusiaan, bayang-bayang itu muncul, mengingatkan dunia: “Kau bilang perdamaian, tapi tanganmu di mana?”

Di Indonesia, kita mengerti ironinya. Kita, yang pernah dijajah dan dijejali ceramah moral oleh penjajah, tahu rasanya mendengar omong kosong dari mereka yang berdiri di mimbar sambil menyembunyikan dosa. Seandainya von der Leyen mendarat di Jakarta, disambut karpet merah, lalu berpidato soal HAM di depan aktivis yang tahu persis apa yang terjadi di Gaza. Pasti ada yang nyengir miris, berbisik, “Bu, cermin dulu, deh.” Tuduhan Albanese, meski jauh dari Jakarta, terasa dekat karena mengingatkan kita pada standar ganda yang selalu mengintai di panggung global.

Laporan Albanese, Anatomy of a Genocide, yang memicu ancaman kematian terhadapnya dan keluarganya, adalah teriakan di tengah keheningan. “Mafia membunuh lewat diam,” katanya, dan diamnya Eropa atas Gaza memang memekakkan. Dia tak cuma menuding von der Leyen, tapi juga menyeret kita semua—publik, media, akademisi—untuk berhenti jadi penonton. Tapi dunia ini, ya Tuhan, terlalu sibuk dengan drama sendiri. Di X, mungkin ada cuitan-cuitan pedas soal von der Leyen, tapi besok sudah tenggelam digantikan meme baru. Kita, manusia, memang juara melupa.

Komisi Eropa, tentu saja, tak tinggal diam. Mereka bilang hubungan dengan “Israel” adalah cara untuk “menyampaikan kekhawatiran” dan “menegakkan hukum internasional.” Kalimat yang manis, tapi kosong, seperti janji politisi di musim kampanye. Kalau benar peduli hukum internasional, mengapa ekspor senjata ke Israel terus berjalan? Mengapa sanksi tak kunjung datang? Albanese, dengan laporannya, seperti memegang cermin di depan wajah Eropa, tapi cermin itu buram, dan Eropa lebih suka memalingkan muka.

Krisis ini bukan cuma soal von der Leyen atau Gaza. Ini soal Eropa yang limbung. Ekonomi goyah, keamanan rapuh, dan kini moralitas dipertanyakan. Tuduhan “penjahat perang” mungkin tak mengguncang kursi von der Leyen, tapi ia mengguncang sesuatu yang lebih dalam: kepercayaan bahwa Eropa adalah mercusuar keadilan. Di kota-kota seperti Paris atau Berlin, demonstrasi pro-Palestina sudah jadi pemandangan biasa, dan tuduhan ini bakal jadi bensin baru. Rakyat Eropa, yang muak dengan elit, mungkin mulai bertanya: “Kalian bela siapa, sih?”

Pada akhirnya, kita kembali ke absurditas awal. Dunia menonton Eropa, yang menonton Gaza, yang menonton kehancuran, dan semua pura-pura tak melihat. Albanese, dengan keberanian yang nyaris nekat, mencoba memecah kebisuan itu. Tapi dunia ini, kawan, terlalu nyaman dengan kebisuan. Kita bisa marah, bisa mencuit di X, bisa menulis narasi panjang seperti ini, tapi besok, von der Leyen tetap akan berpidato, dan Gaza tetap berdarah. Satirnya adalah: kita semua tahu, tapi kita juga tahu tak ada yang akan berubah. Keren, bukan, cara dunia ini terus berputar tanpa peduli?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *