Connect with us

Opini

Eropa Merana: Krisis Ekonomi Guncang Jerman dan Prancis

Published

on

Di bawah langit kelabu Berlin dan Paris, Eropa menghadapi badai ekonomi yang tak kunjung reda. Jerman, yang pernah menjadi jantung industri benua ini, kini terhuyung di bawah beban krisis energi dan ekspor yang ambruk, sementara Prancis bergulat dengan anggaran rapuh yang mengancam stabilitas sosial. Dalam dua hari terakhir, pasar saham Eropa anjlok akibat tarif baru AS, dan para pemimpin menyuarakan keprihatinan mendalam. Krisis ini bukan sekadar guncangan sementara, melainkan bukti nyata bahwa kemakmuran Eropa, yang selama ini menjadi kebanggaan, telah memudar, meninggalkan benua ini di persimpangan kritis yang menentukan masa depannya.

Jerman, yang dulu dijuluki lokomotif Eropa, kini berjalan tertatih. Ekonominya menyusut 0,3% pada 2023, menjadikannya salah satu yang terburuk di antara negara maju, dan hanya tumbuh 0,1% pada 2024, jauh dari proyeksi 1,3%. Krisis energi, dipicu gangguan pasokan gas Rusia pasca-invasi Ukraina, membuat harga listrik melonjak, mencekik industri. Ekspor mobil ke Tiongkok, pilar ekonomi, turun 24% pada 2023. Populasi yang menua, dengan proyeksi kehilangan 7 juta pekerja pada 2035, dan birokrasi lambat memperburuk keadaan.

Dalam 48 jam terakhir, Jerman menghadapi guncangan baru yang memperdalam krisis. Tarif AS di bawah Donald Trump, mencapai 145% untuk beberapa barang, memicu kepanikan di pasar. Indeks DAX turun 3,2%, mencerminkan ketakutan akan resesi. Kanselir Friedrich Merz, yang baru berkuasa pasca-pemilu Februari 2025, memperingatkan bahwa Eropa berada di “lima menit menuju tengah malam” karena ketegangan transatlantik. Dalam wawancara dengan Politico, Merz menyerukan perdagangan bebas tarif dengan AS, tetapi peluangnya tipis mengingat sikap proteksionis Washington. Koalisi CDU/CSU yang lemah menghambat reformasi struktural yang mendesak.

Krisis energi di Jerman adalah luka yang terus berdarah. Penutupan pembangkit nuklir pada 2023, dipuji sebagai langkah hijau, kini terbukti mahal. Harga listrik, sudah di atas rata-rata Eropa selama satu dekade, membuat industri seperti BASF mempertimbangkan relokasi ke Tiongkok. Transisi ke energi terbarukan tersendat oleh birokrasi dan investasi yang minim. Laporan terbaru dari Handelsblatt menyebut krisis ini sebagai “yang terburuk sejak pasca-perang,” dengan 60% perusahaan Jerman melaporkan penurunan produksi akibat biaya energi.

Prancis, dengan keanggunan budayanya, tak luput dari badai. Inflasi turun ke 1,8%, tetapi utang publik yang membengkak mendorong rencana penghematan €60 miliar, memotong tunjangan sosial dan administrasi publik. Pemerintahan Michel Barnier, tanpa mayoritas di Majelis Nasional, berada di ujung tanduk. Dalam dua hari terakhir, Emmanuel Macron mengecam tarif AS sebagai “brutal dan tidak berdasar,” mengancam menangguhkan investasi Prancis di AS. Ancaman ini, dilaporkan Le Monde, memicu ketegangan dengan Washington, memperburuk prospek ekonomi.

Ketegangan politik di Prancis kian memanas. Rencana penggunaan Pasal 49.3 untuk memaksakan anggaran berisiko memicu mosi tidak percaya dari oposisi. Jika berhasil, pemerintah Barnier bisa runtuh, melumpuhkan kebijakan ekonomi. Dalam 48 jam terakhir, François Villeroy de Galhau, gubernur Banque de France, memperingatkan bahwa tarif AS bisa memangkas pertumbuhan Eropa sebesar 0,25%. Pasar saham Prancis, CAC 40, turun 2,8%, mencerminkan ketidakpastian. Penghematan anggaran, meski disetujui Senat, memicu ancaman protes dari serikat pekerja, mengingatkan pada kerusuhan reformasi pensiun Macron.

Poros Prancis-Jerman, tulang punggung Uni Eropa, kini rapuh. Pertemuan Merz dan Barnier minggu ini gagal menghasilkan solusi konkret, terhambat oleh prioritas domestik. Tarif AS dan perang Ukraina menambah tekanan eksternal. European Central Bank memangkas suku bunga ke 2,75% untuk merangsang pertumbuhan, tetapi laporan WTO terbaru menyoroti penurunan perdagangan Eropa akibat konflik dan proteksionisme. Eropa, yang pernah menjadi mercusuar kesejahteraan, kini terlihat seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai.

Masalah struktural memperdalam krisis. Jerman tertinggal dalam digitalisasi; hanya 15% perusahaan kecilnya yang terdigitalisasi penuh, menurut OECD. Keterlambatan ini membuat Jerman kalah saing dengan AS dan Tiongkok. Prancis, meski lebih dinamis secara demografis, terkendala birokrasi dan resistensi terhadap reformasi. Penjualan kendaraan listrik, seperti Tesla, anjlok 50% di Eropa pada awal 2025, mencerminkan melemahnya daya beli. Krisis ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga visi yang gagal menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah.

Dampak sosial kian mengkhawatirkan. Di Jerman, krisis perumahan memengaruhi 9,5 juta orang, dengan harga sewa di Berlin melonjak 20% dalam dua tahun. Di Prancis, rencana pemotongan tunjangan sosial memicu kemarahan kelas pekerja. Dalam dua hari terakhir, media melaporkan meningkatnya dukungan untuk partai ekstrem seperti Alternatif untuk Jerman (AfD) dan Rassemblement National, yang memanfaatkan ketidakpuasan publik. Eropa, yang pernah bangga dengan kohesi sosial, kini terpecah oleh ketimpangan dan polarisasi politik.

Krisis ini juga mencerminkan kegagalan Eropa mengantisipasi perubahan global. Ketergantungan pada gas Rusia sebelum invasi Ukraina adalah kesalahan strategis. Sanksi terhadap Rusia, meski bermoral, melemahkan daya saing Eropa tanpa rencana cadangan yang kuat. Tarif AS kini memperburuk situasi, dengan perkiraan kerugian perdagangan sebesar €130 miliar, menurut Bloomberg. Eropa, yang pernah memimpin dengan inovasi dan solidaritas, kini terlihat reaktif, berjuang mengejar ketertinggalan di panggung dunia.

Namun, ini bukan akhir dari Eropa. Jerman memiliki sejarah bangkit, seperti pada era reformasi Schröder yang mengatasi “orang sakit Eropa” pada 1990-an. Prancis, dengan tradisi inovasinya, mampu menemukan keseimbangan antara reformasi dan stabilitas sosial. Dalam dua hari terakhir, seruan untuk investasi hijau dan digitalisasi menguat di kalangan ekonom. Laporan dari Bruegel menyarankan dana €500 miliar untuk transisi energi, tetapi ini membutuhkan keberanian politik yang kini langka di Berlin dan Paris.

Eropa harus belajar dari krisis ini. Jerman perlu melampaui dogma anti-utang, yang membatasi investasi sebesar 66% PDB, terendah di antara negara maju. Prancis harus menavigasi politik yang terpecah tanpa memicu kerusuhan. Uni Eropa, sebagai entitas, harus bersatu untuk menghadapi proteksionisme AS dan konflik global. Tanpa langkah berani, Eropa berisiko menjadi bayangan pucat dari kejayaannya, terkubur di bawah beban krisis yang sebenarnya bisa diatasi dengan visi dan tindakan.

Krisis ini adalah peringatan bahwa kemakmuran bukanlah warisan abadi. Jerman dan Prancis, sebagai jantung Eropa, harus memimpin dengan reformasi yang menjawab tantangan abad ini: energi hijau, digitalisasi, dan tenaga kerja muda. Tarif AS, krisis energi, dan polarisasi politik adalah ujian, tetapi juga peluang untuk membangun Eropa yang lebih tangguh. Jika benua ini gagal bertindak, kemakmuran yang pernah menjadi kebanggaannya akan terus memudar, menjadi kenangan dari masa lalu yang tak lagi relevan.

Eropa berdiri di tepi jurang, tetapi masih punya waktu untuk berbalik. Dalam dua hari terakhir, suara keprihatinan dari Merz, Macron, dan Villeroy menunjukkan kesadaran akan bahaya. Namun, kesadaran saja tidak cukup. Eropa membutuhkan tindakan kolektif, bukan sekadar retorika. Jerman dan Prancis harus memimpin, bukan saling menyalahkan. Jika mereka berhasil, Eropa bisa bangkit. Jika tidak, benua ini akan tenggelam dalam nostalgia, kehilangan tempatnya di dunia yang terus bergerak maju.

 

Daftar Sumber:

  1. Handelsblatt Research Institute, “Germany’s Economic Crisis: The Worst in Post-War History,” 2024.
  2. OECD, “Economic Outlook for Germany and France,” 2024.
  3. European Central Bank, “Monetary Policy Statement,” Februari 2025.
  4. Le Monde, “Macron Calls Trump’s Tariffs ‘Brutal and Unfounded,’” 2025.
  5. Reuters, “German Election Updates: Merz Warns ‘Five Minutes to Midnight for Europe,’” 2025.
  6. Politico, “Trump Tariffs ‘Increase Risk’ of Financial Crisis, Germany’s Merz Warns,” 2025.
  7. World Trade Organization, “Global Trade Trends Report,” April 2025.
  8. Electrek, “Tesla Sales Crash in Europe in February,” 2025.
  9. Bloomberg, “Trump’s Tariffs Could Cost EU €130 Billion in Trade,” 2025.
  10. Bruegel, “Financing the Green Transition: A €500 Billion Plan for Europe,” 2025.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *