Connect with us

Opini

Eropa Menyelamatkan Mobil, Mengorbankan Akar Pertanian

Published

on

Ada sesuatu yang getir sekaligus absurd ketika sebuah benua yang selama berabad-abad menyanjung anggur, roti, dan hasil bumi dari ladang hijaunya, kini justru memilih merayakan mobil-mobil berkilau ketimbang nasib para petaninya. Ironi itu meledak di meja perundingan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Mobil mendapat potongan tarif besar, sementara wine, keju, dan hasil pertanian justru dinaikkan tarifnya hingga 15 persen. Industri otomotif diselamatkan, tapi pertanian—akar yang memberi hidup bagi Eropa—dikorbankan. Dan apa yang tersisa jika akar sudah dipangkas habis?

Ketika Trade Commissioner Maroš Šefčovič menyebut ini sebagai “kesepakatan paling menguntungkan” dengan AS, saya teringat ungkapan klasik: siapa yang duduk di meja makan, siapa yang jadi hidangan. Dalam hal ini, petani jelas bukan tamu undangan, melainkan lauk yang dipersembahkan. Washington pulang dengan kantong penuh—akses pasar lebih luas, energi Eropa yang mau membeli, investasi strategis di semikonduktor dan pertahanan. Brussel? Mereka pulang dengan senyum palsu dan segelas anggur yang rasanya getir, sebab tarifnya baru saja dinaikkan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bayangkan seorang pembuat wine Bordeaux. Generasi demi generasi keluarganya merawat kebun anggur, menjaga kualitas, melawan cuaca buruk, bahkan berhadapan dengan aturan ketat Uni Eropa soal lingkungan. Mereka tahu pasar AS adalah penyelamat, pintu emas bagi ekspor. Kini pintu itu memang masih terbuka, tapi di atasnya tergantung papan tarif 15 persen. Sementara di seberang lautan, produk susu, daging babi, kacang, buah, dan sayuran dari AS akan dengan mudah melintas masuk ke Eropa. Tamu tak diundang bukan hanya masuk ruang tamu, tetapi ikut menguras isi dapur.

Saya rasa inilah paradoks paling mencolok dari Uni Eropa modern. Mereka bangga dengan konsep Green Deal, regulasi hijau, dan target iklim. Tapi di sisi lain, mereka justru melemahkan para petani yang paling tertekan oleh aturan itu. Saat biaya pupuk naik, energi semakin mahal, dan persaingan global makin brutal, mestinya ada keringanan, insentif, atau perlindungan. Alih-alih, Brussel menambah beban dengan menyerahkan pasar mereka kepada produk impor murah dari Washington. Petani diminta berkorban demi mobil-mobil Jerman yang ingin melaju lebih bebas di jalan raya Amerika.

Tentu, industri otomotif adalah tulang punggung ekonomi besar Eropa. Mercedes, BMW, Volkswagen—merek-merek ini bukan hanya mobil, melainkan simbol prestise. Tetapi pertanyaan sederhana harus diajukan: apakah kebanggaan itu pantas dibayar dengan meruntuhkan akar pertanian? Sebab produk seperti keju Parmesan, wine Bordeaux, atau prosciutto Italia bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol desa-desa kecil, identitas budaya, bahkan daya tarik wisata. Jika mobil adalah wajah modern Eropa, maka pertanian adalah jantungnya. Dan jantung yang dibiarkan berdarah terlalu lama tak akan mampu menopang tubuh.

Lucunya, politisi di Brussel menutupi kegagalan ini dengan bahasa diplomatis. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sempat menjanjikan keringanan tarif bagi produk pertanian, tapi kenyataannya tak terwujud. “Unfortunately, here we didn’t succeed,” kata mereka. Ringan terdengar, tapi sangat menyakitkan. Sebab di balik kalimat yang dingin itu, ada ribuan produsen kecil kehilangan pasar, jutaan euro potensi ekspor menguap, dan generasi muda semakin enggan melanjutkan usaha tani keluarga. Bagi mereka, “we didn’t succeed” berarti hidup yang makin sulit.

Kalau kita tarik lebih luas, ada pola lama yang terus berulang: sektor pertanian selalu jadi kambing hitam dalam negosiasi perdagangan. Di Indonesia pun kita sering melihat hal serupa—petani padi tercekik harga gabah murah akibat kebijakan impor. Sama seperti di Eropa, suara mereka tenggelam di tengah bisingnya kepentingan industri besar. Jadi, yang terjadi bukan sekadar kesepakatan dagang, melainkan pengulangan sejarah: yang paling lemah selalu jadi korban pertama.

Bahkan, ada semacam penghinaan kultural di sini. Wine Prancis, keju Italia, daging kering Spanyol—produk-produk itu bukan sekadar komoditas, melainkan akar identitas Eropa. Mengorbankan mereka demi tarif mobil ibarat menggadaikan Mona Lisa hanya untuk menebus denda parkir. Tak masuk akal. Dan pada akhirnya akan menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Eropa masih berpijak pada tanah dan ladangnya, atau sudah sepenuhnya ditelan mesin industri?

Motif geopolitik juga tak bisa diabaikan. Kesepakatan ini jelas menguntungkan AS, bukan hanya di sektor dagang, tapi juga energi dan industri strategis. Dengan komitmen Eropa membeli energi Amerika serta mendukung rantai pasok pertahanan dan semikonduktor, jelas ini bagian dari aliansi trans-Atlantik menghadapi Tiongkok dan Rusia. Pertanian Eropa hanyalah collateral damage dalam permainan besar ini. Lagi-lagi, petani kecil dijadikan pion di papan catur geopolitik global. Mereka tak pernah duduk di meja perundingan, tapi selalu jadi yang pertama dipukul.

Ada yang bilang kompromi adalah inti diplomasi. Benar. Tetapi kompromi yang sehat tidak boleh menciptakan pemenang tunggal dan pecundang abadi. Kesepakatan Eropa-AS ini, kalau jujur, bukan kompromi, melainkan penyerahan. Washington tahu kelemahan Eropa, dan Brussel rela membayar mahal agar mobilnya bisa melaju lebih cepat. Desa-desa penghasil wine, ladang penghasil gandum, dan peternak kecil hanya bisa menatap tak berdaya, seperti pion catur yang disingkirkan dari papan.

Pada akhirnya, kita semua tahu siapa yang akan membayar tagihan sesungguhnya: bukan Ursula von der Leyen, bukan Maroš Šefčovič, bukan para eksekutif otomotif. Yang membayar adalah petani yang bekerja dari subuh hingga senja, yang menggantungkan hidup pada panen yang tak menentu, yang mencintai tanahnya sekalipun tanah itu makin sulit memberi hasil. Mereka yang akan menyaksikan produk mereka menumpuk tak terjual, sementara rak supermarket dipenuhi buah, susu, dan daging impor dari seberang Atlantik.

Dan ironinya, ketika para pemimpin Eropa nanti bersulang dengan segelas wine dalam konferensi perdagangan berikutnya, mungkin mereka lupa bahwa di desa-desa Prancis dan Italia, orang-orang yang membuat wine itu justru sedang menutup usahanya. Harga perjanjian ini terlalu mahal. Eropa memang berhasil menyelamatkan mobil. Tapi dengan itu, mereka juga tengah menggali liang untuk akar pertaniannya sendiri.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer