Connect with us

Opini

Eropa Menggertak Rusia, Tapi Lupa Luka Sendiri

Published

on

Di bawah langit kelabu musim semi 2025, Emmanuel Macron, dengan mantel panjangnya yang serupa jubah seorang kaisar modern, melangkah di Kiev bersama para pemimpin Eropa lainnya—Friedrich Merz, Keir Starmer, Donald Tusk—seperti rombongan teater yang memainkan drama tragedi berjudul “Koalisi yang Berani”. Mereka mengancam Rusia dengan sanksi baru, lebih keras, jika Moskow menolak gencatan senjata 30 hari yang diusulkan Ukraina. Ancaman itu terdengar megah, namun ada kegelisahan yang menguar: bukankah sanksi-sanksi sebelumnya telah membuat Eropa sendiri yang megap-megap, seperti petinju yang memukul bayangannya di cermin? Di tengah krisis gas, inflasi, dan ekonomi yang meriang, Eropa seolah berlagak sebagai penutup luka dunia, padahal lukanya sendiri menganga lebar.

Di studio TF1 dan LCI, Macron berbicara dengan nada seorang filsuf yang sedang menata dunia: “Jika Rusia tidak berkomitmen pada gencatan senjata ini, kita harus bisa menjatuhkan sanksi yang jauh lebih keras, bahkan menekan secara maksimal ekonomi Rusia.” Kalimatnya terdengar seperti mantra, tapi di telinga sebagian orang, itu hanyalah pengulangan lagu lama. Sanksi, sanksi, dan sanksi lagi—sejak 2014, Eropa telah menumpuknya seperti kolektor perangko yang obsesif. Namun, Rusia? Mereka masih berdiri, mungkin tersandung, tapi tak rubuh. Data IMF mencatat kontraksi ekonomi Rusia hanya 2,1% pada 2022, jauh dari prediksi kehancuran 10-15% yang diramal Barat dengan penuh keyakinan. Rusia beralih menjual minyak ke Tiongkok, gas ke India, dan membangun sistem pembayaran sendiri, seolah menertawakan SWIFT yang dulu dianggap senjata pamungkas Eropa.

Sementara itu, Eropa sendiri yang kini terhuyung. Krisis gas yang dipicu sanksi dan sabotase Nord Stream pada 2022 membuat harga energi melambung bagai roket SpaceX. Di Jerman, raksasa industri seperti BASF dan Volkswagen mengeluh biaya produksi yang membengkak, memaksa mereka memangkas produksi atau merumahkan pekerja. Inflasi di Uni Eropa mencapai 9,2% pada 2023, menurut Eurostat, dengan negara-negara seperti Hongaria dan Republik Ceko bahkan mencatat angka dua digit. Bayangkan: di kota kecil Jerman, seorang pensiunan harus memilih antara membeli roti atau menyalakan pemanas di musim dingin. Ini bukan cerita fiksi, melainkan realitas yang ironis—Eropa menghukum Rusia, tapi hukuman itu berbalik seperti bumerang yang dilempar dengan penuh percaya diri.

Lalu, mengapa Eropa terus memainkan permainan ini? Seperti penjudi yang yakin kemenangan ada di kartu berikutnya, para pemimpin Eropa seolah terjebak dalam ilusi bahwa sanksi adalah tongkat sulap. Macron, dengan retorikanya yang penuh visi, berbicara tentang “perdamaian sementara” selama 30 hari untuk membuka jalan bagi “perjanjian yang kokoh”. Tapi, coba dengar suara dari Kremlin: Dmitry Peskov, dengan nada yang hampir seperti sedang menguliahi anak sekolah, menegaskan bahwa gencatan senjata tanpa penghentian pengiriman senjata Barat ke Ukraina hanyalah keuntungan sepihak bagi Kiev. “Ukraina akan memanfaatkannya untuk mobilisasi total, mengirim lebih banyak pasukan ke garis depan,” katanya kepada ABC News. Logika sederhana, tapi entah mengapa Eropa pura-pura tak mendengar.

Ada semacam absurditas di sini, seperti menonton drama komedi gelap. Eropa, dengan ekonomi yang sudah seperti pasien di ruang ICU, masih berani menggertak Rusia, yang meski terluka, masih bisa menggigit balik. Ingat bagaimana Rusia membatasi ekspor pupuk dan logam langka sebagai balasan? Eropa, yang bergantung pada bahan-bahan itu untuk pertanian dan industri, tiba-tiba panik. Di Indonesia, kita mungkin bisa nyengir miris melihat ini, sambil ngopi di warung pinggir jalan, berbisik, “Ini sih kayak orang ngotot ngejar musuh, tapi lupa dompetnya ketinggalan di rumah.” Eropa lupa bahwa Rusia bukan hanya soal minyak dan gas—mereka punya kartu lain, dan mereka tahu cara memainkannya.

Tapi, mari kita adil. Eropa punya alasan untuk bersikeras. Solidaritas dengan Ukraina adalah soal prinsip—atau setidaknya, begitulah yang mereka jual ke publik. Negara-negara seperti Polandia dan Estonia, yang hidup dalam bayang-bayang sejarah Soviet, melihat Rusia sebagai ancaman eksistensial. Bagi mereka, setiap sanksi adalah bentuk perlawanan, meski harganya mahal. Lalu ada tekanan dari Amerika Serikat, yang dengan santai mendikte kebijakan sambil menikmati keamanan geografisnya di seberang Atlantik. AS, yang hanya mengimpor 3% minyaknya dari Rusia sebelum konflik, tak merasakan sengatan krisis energi seperti Eropa. Ironis, bukan? Eropa jadi penutup kepala dalam perang proksi ini, sementara AS memainkan peran sutradara yang aman di belakang layar.

Namun, ada pertanyaan yang menggelitik: apakah Eropa benar-benar tidak belajar? Krisis gas seharusnya jadi tamparan keras. Pada 2022, ketika harga gas di Eropa melonjak hingga 300 euro per megawatt-jam, rumah-rumah di Inggris mulai mematikan lampu demi menghemat tagihan. Di Italia, kafe-kafe kecil, yang biasanya ramai dengan aroma espresso, mulai tutup karena tak sanggup bayar listrik. Tapi, alih-alih introspeksi, Eropa memilih jalan yang sama: lebih banyak sanksi, lebih banyak ancaman. Ini seperti seseorang yang terus memukul tembok dengan kepalan tangan, berharap tembok itu yang patah, bukan tangannya sendiri.

Data menunjukkan betapa rapuhnya posisi Eropa. Pertumbuhan PDB UE pada 2024 hanya 0,4%, jauh di bawah AS (2,5%) dan Tiongkok (5%). Rasio utang publik Italia mencapai 140% dari PDB, sementara Jerman, yang biasanya jadi penyelamat ekonomi Eropa, terjebak dalam resesi teknis. Dalam konteks ini, ancaman sanksi baru terasa seperti gertakan seorang penutup yang kehabisan napas. Rusia, di sisi lain, punya dinamika sendiri. Peskov menyebutkan bahwa pasukan Rusia sedang “maju dengan percaya diri” di garis depan. Benar atau tidak, ini sinyal bahwa Moskow tak merasa terpojok seperti yang diharapkan Eropa.

Ada nuansa tragikomedi dalam semua ini. Macron dan kawan-kawan berparade di Kiev, berbicara tentang “keamanan abadi” dan “perdamaian kokoh”, sementara di rumah, warga mereka mengeluh soal harga roti dan bensin. Sementara itu, di seberang Atlantik, Donald Trump, dengan gayanya yang blak-blakan, menyuruh Rusia dan Ukraina “mengakhiri perang bodoh ini”. Trump mungkin tak punya solusi cerdas, tapi setidaknya dia menangkap absurditas situasi: perang ini seperti roda yang terus berputar, menghancurkan semua yang dilewatinya, termasuk mereka yang mengira bisa mengendalikannya.

Di Indonesia, kita mungkin melihat ini sambil menggeleng, setengah tertawa, setengah prihatin. Kita tahu bagaimana rasanya jadi penonton drama geopolitik, di mana yang besar saling adu kuat, tapi yang kecil—atau dalam kasus ini, rakyat Eropa—yang kena getahnya. Eropa perlu cermin besar untuk melihat dirinya sendiri: ekonomi yang limbung, ketergantungan energi yang belum selesai, dan strategi yang lebih banyak gertak sambal ketimbang hasil. Sanksi baru mungkin akan diumumkan, tapi pertanyaannya: siapa yang benar-benar akan terpukul? Rusia, yang sudah biasa hidup di bawah tekanan? Atau Eropa, yang masih bermimpi jadi pahlawan sambil lupa dompetnya sudah kosong?

Narasi ini bukan sekadar tentang sanksi atau perang. Ini tentang manusia yang terjebak dalam ambisi, ego, dan ilusi kekuasaan. Eropa bisa terus mengancam, tapi tanpa strategi baru—mungkin dialog pragmatis, mungkin diversifikasi energi yang serius—mereka hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Dan kita, sebagai penonton, hanya bisa menghela napas, mungkin sambil memesan kopi lagi, sembari berpikir: dunia ini, kadang, terlalu lucu untuk dianggap serius, tapi terlalu tragis untuk ditertawakan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *