Connect with us

Opini

Eropa Mandiri: Bisakah UE Lepas dari Bayang AS?

Published

on

Di tengah gemuruh politik global, Eropa berdiri di persimpangan bersejarah. Pada Kongres Partai Rakyat Eropa di Valencia, Spanyol, 30 April 2025, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyampaikan pesan tegas: Eropa harus mengambil tanggung jawab atas pertahanannya sendiri karena Amerika Serikat perlahan mundur dari komitmen keamanannya. Pernyataan ini bukan sekadar retorika; ini adalah panggilan untuk kemandirian strategis. Dengan ancaman Rusia yang terus membayang dan fokus AS yang bergeser ke Indo-Pasifik, pertanyaan mendasar muncul: Bisakah Uni Eropa benar-benar berdiri sendiri?

Von der Leyen tidak berbicara tanpa rencana. Pada Maret 2025, ia mengumumkan ambisi untuk menggalang €800 miliar ($910 miliar) guna “mempersenjatai kembali” UE, sebuah langkah untuk mengurangi ketergantungan pada AS dalam kerangka NATO. Menurut laporan RT (30 April 2025), inisiatif ini didorong oleh meningkatnya ketegangan dengan Presiden AS Donald Trump, yang menuntut negara-negara Eropa NATO berkontribusi lebih besar. Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2024 menunjukkan bahwa pengeluaran militer UE mencapai $295 miliar, jauh di bawah $877 miliar AS. Angka ini menggarisbawahi ketimpangan yang ingin diatasi UE. Namun, ambisi ini menghadapi rintangan: koordinasi antar 27 negara anggota dengan prioritas berbeda.

Ketergantungan Eropa pada AS bukan hal baru. Sejak Perang Dingin, AS telah menjadi tulang punggung NATO, menyumbang 68% dari total anggaran pertahanan aliansi pada 2024, menurut NATO Annual Report. Negara-negara Eropa Timur, seperti Polandia dan negara Baltik, sangat mengandalkan jaminan keamanan AS untuk menghadapi Rusia. Namun, pergeseran geopolitik AS ke Asia, sebagaimana diungkap Foreign Affairs (Januari 2025), memaksa Eropa memikirkan ulang strateginya. Von der Leyen menegaskan, “Ancaman Rusia tidak akan hilang, dan kami tahu fokus Amerika akan semakin bergeser.” Kemandirian menjadi keharusan, bukan pilihan.

Namun, kemandirian militer bukanlah tugas sederhana. UE harus membangun industri pertahanan yang terintegrasi. Saat ini, banyak negara anggota masih mengimpor senjata dari AS, seperti pesawat tempur F-35 yang digunakan Belanda dan Italia, menurut Defense News (Februari 2025). Inisiatif seperti European Defence Fund (EDF) telah mengalokasikan €8 miliar untuk penelitian dan pengembangan militer hingga 2027, tetapi ini jauh dari cukup untuk menyaingi kompleks militer-industrial AS. Friedrich Merz, calon kanselir Jerman, menyerukan Berlin untuk “secara bertahap independen dari AS,” namun Jerman sendiri hanya menghabiskan 1,57% PDB untuk pertahanan pada 2024, di bawah target NATO 2%.

Prancis, di bawah Emmanuel Macron, menawarkan solusi berani: memperluas payung nuklirnya ke seluruh UE. Menurut Le Monde (Maret 2025), Macron terbuka untuk melindungi Jerman dan anggota lain dengan arsenal nuklir Prancis, yang terdiri dari sekitar 290 hulu ledak. Ini kontras dengan 3.708 hulu ledak AS, menurut Federation of American Scientists (2024). Meski ambisius, gagasan ini memicu skeptisisme. Jerman, dengan sejarah anti-nuklirnya, mungkin menolak. Koordinasi nuklir juga memerlukan kepercayaan politik yang dalam, sesuatu yang sering absen di antara negara-negara UE.

Di sisi lain, Rusia memandang militerisasi UE sebagai provokasi. Nikolay Patrushev, penasihat keamanan Vladimir Putin, dalam wawancara dengan TASS (30 April 2025), menuduh Barat “mengerahkan mesin militernya melawan Rusia” dan “berdelusi dengan skenario apokalips nuklir.” Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, seperti dilansir RT (Maret 2025), berargumen bahwa UE rela “mengorbankan ekonominya” demi tujuan ideologis mengalahkan Rusia. Data Eurostat (2024) menunjukkan bahwa sanksi terhadap Rusia telah memukul ekonomi UE, dengan inflasi energi mencapai 13% di beberapa negara anggota. Militerisasi yang agresif bisa memperburuk ketegangan ini.

Ekonomi menjadi faktor kunci lainnya. Penggalangan €800 miliar, jika direalisasikan, akan membebani anggaran negara-negara UE yang sudah tegang. Menurut Financial Times (April 2025), Italia dan Spanyol, dengan utang publik masing-masing 144% dan 112% dari PDB, mungkin kesulitan berkontribusi. Krisis energi akibat pengurangan pasokan gas Rusia, seperti dilaporkan Bloomberg (Januari 2025), telah memaksa UE mengalihkan miliaran euro untuk subsidi energi, mengurangi ruang fiskal untuk pertahanan. Kemandirian militer, dengan demikian, tidak hanya soal senjata tetapi juga stabilitas ekonomi.

Politik internal UE juga menghambat. Negara-negara seperti Polandia lebih memilih hubungan erat dengan AS daripada mengandalkan Brussel, sebagaimana diungkap Politico (Februari 2025). Sementara itu, Hungaria dan Slovakia sering menentang kebijakan UE yang anti-Rusia, menciptakan perpecahan. European Council on Foreign Relations (2024) mencatat bahwa hanya 56% warga UE mendukung peningkatan anggaran militer, menunjukkan resistensi publik. Tanpa konsensus, ambisi kemandirian bisa terhenti. Von der Leyen harus menavigasi dinamika ini dengan cerdik untuk mewujudkan visinya.

Namun, ada alasan untuk optimisme. UE telah menunjukkan kemampuan beradaptasi, seperti saat mengurangi ketergantungan pada gas Rusia dari 40% pada 2021 menjadi 8% pada 2024, menurut International Energy Agency. Pelajaran ini bisa diterapkan pada pertahanan. Inisiatif seperti Permanent Structured Cooperation (PESCO) telah meluncurkan 68 proyek militer bersama, termasuk pengembangan drone dan tank Eropa, seperti dilaporkan Jane’s Defence Weekly (Maret 2025). Jika dipercepat, langkah ini bisa memperkuat fondasi kemandirian UE.

Meski begitu, kemandirian tidak boleh mengorbankan diplomasi. Peningkatan militer tanpa dialog dengan Rusia berisiko memicu perlombaan senjata baru. Carnegie Europe (April 2025) menyarankan bahwa UE harus menggabungkan “kekuatan keras” (militer) dengan “kekuatan lunak” (diplomasi) untuk menjaga stabilitas. Trump mungkin menuntut “bagian yang adil” dari Eropa, tetapi hubungan transatlantik tetap vital. UE harus membangun otonomi tanpa memutuskan ikatan dengan AS, yang masih menyediakan teknologi dan intelijen kritis.

Pada akhirnya, momen kemandirian Eropa adalah ujian kepemimpinan dan visi. Von der Leyen, Macron, dan Merz mewakili generasi baru yang ingin mendefinisikan Eropa sebagai kekuatan global. Namun, seperti ditulis The Guardian (April 2025), “Eropa tidak bisa menjadi mandiri dalam semalam.” Dengan ancaman Rusia, perpecahan internal, dan keterbatasan ekonomi, perjalanan ini akan panjang. UE mungkin belum siap berdiri sendiri, tetapi langkahnya hari ini menentukan apakah ia akan menjadi penutup atau pembuka babak baru dalam sejarahnya.

Eropa, dengan segala kerumitannya, sedang menulis narasi baru. €800 miliar, payung nuklir Prancis, dan seruan kemandirian adalah simbol ambisi. Tetapi keberhasilan tidak diukur dari dana atau senjata saja, melainkan dari kemampuan menyatukan 27 suara menjadi satu kekuatan. Rusia mengawasi, AS menjauh, dan dunia menanti. Bisakah UE benar-benar berdiri sendiri? Waktu akan menjawab, tetapi tekadnya kini tak bisa diragukan lagi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *