Opini
Eropa: Macan Ompong yang Kehabisan Napas

Dulu, Eropa sering berdiri di podium dunia, memberikan kuliah moral tentang demokrasi, kebebasan, dan kemandirian ekonomi. Mereka menyebut diri sebagai mercusuar peradaban, tempat dunia ketiga harus bercermin. Namun, kini mereka tersandung batu yang mereka lempar sendiri. Krisis energi telah membuka kedok kemegahan yang rapuh, membuktikan bahwa Eropa tidak lebih dari macan ompong yang kehabisan napas.
Ketika Rusia menutup keran gasnya, Eropa panik seperti anak ayam kehilangan induk. Padahal, selama bertahun-tahun mereka mengklaim telah membangun ekonomi yang tangguh dan mandiri. Tapi apa daya, pabrik-pabrik mulai tutup, harga listrik melambung, dan industri yang katanya perkasa tiba-tiba lumpuh seperti tubuh tanpa tulang. Mereka seperti orang kaya baru yang lupa bahwa kemewahannya bergantung pada belas kasihan orang lain.
Mereka berkoar-koar tentang sanksi terhadap Rusia, seolah-olah itu akan melumpuhkan Moskow. Tetapi kenyataannya, yang justru sekarat adalah mereka sendiri. Mereka berhenti membeli gas pipa Rusia, tetapi tetap mengimpor gas alam cair (LNG) dari Rusia dengan harga yang jauh lebih mahal. Eropa memang hebat dalam bersandiwara, tetapi tidak pandai dalam strategi.
Lihatlah Jerman, negara industri yang dulu dielu-elukan sebagai mesin ekonomi Eropa. Kini mereka seperti pasien di ruang ICU, hidup dengan ventilator dari LNG Amerika yang harganya selangit. Pabrik-pabrik kimia dan manufaktur menjerit, memohon agar gas Rusia kembali. Tapi harga diri Eropa terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan, meski perut mereka sudah mulai keroncongan.
Ironi semakin menampar wajah Eropa ketika mereka harus menerima kenyataan bahwa sanksi yang mereka buat hanya memperkaya musuh yang mereka benci. Rusia tetap berdiri tegak, sementara ekonomi Eropa justru melorot. Bahkan, mereka mulai berdiskusi soal harga energi yang tidak terkendali, padahal sebelumnya dengan pongah mereka menganggap bisa lepas dari ketergantungan terhadap Moskow.
Ketika berbicara soal pertahanan, Eropa semakin menunjukkan taring palsunya. Mereka menggantungkan keamanan pada NATO, alias pada Amerika Serikat. Tidak ada satu pun negara Eropa yang benar-benar bisa mempertahankan diri tanpa campur tangan Washington. Mereka menggertak Rusia dengan sanksi, tetapi kalau bukan karena AS, mereka mungkin sudah menjadi bulan-bulanan dalam hitungan bulan.
Bahkan, saat AS mulai lelah membiayai perang Ukraina, Eropa seperti anak kecil yang ditinggalkan orang tuanya di pusat perbelanjaan. Tanpa gas Rusia, tanpa strategi militer, dan tanpa daya tawar politik yang nyata, mereka hanya bisa berharap belas kasihan dari sekutu mereka yang mungkin juga sudah mulai bosan dengan keluhan mereka yang tiada henti.
Klaim demokrasi dan kebebasan berbicara yang selama ini mereka agungkan juga semakin terlihat seperti humor murahan. Di Eropa, Anda bisa bebas berbicara, asalkan pendapat Anda selaras dengan kebijakan pemerintah. Jika Anda mempertanyakan perang Ukraina, bersiaplah dicap sebagai antek Rusia. Jika Anda mengkritik kebijakan energi mereka, Anda dianggap tidak patriotik. Demokrasi di Eropa bukan lagi tentang kebebasan, melainkan tentang kepatuhan buta pada narasi yang sudah ditentukan.
Lalu, apa sebenarnya yang masih bisa ditawarkan oleh Eropa? Ekonomi mereka sedang terjun bebas, industri mereka kehabisan energi, dan kebijakan luar negeri mereka semakin berantakan. Mereka tidak bisa lagi menggunakan superioritas ekonomi untuk menekan negara lain. Mereka juga tidak bisa menggunakan ancaman militer karena mereka sendiri tidak punya kekuatan nyata. Bahkan demokrasi yang mereka banggakan pun hanya tinggal slogan kosong.
Sementara itu, dunia mulai bergerak ke arah multipolar. Negara-negara di Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah mulai mencari jalan mereka sendiri. Mereka melihat Eropa tidak lagi relevan, hanya sebuah benua tua yang hidup dari kejayaan masa lalu. Eropa ingin tetap menjadi pusat dunia, tetapi dunia sudah tidak lagi peduli pada mereka.
Sekarang, ketika industri mereka berteriak meminta gas murah, mereka harus menelan ludah sendiri. Tidak ada lagi pilihan selain kembali ke Moskow dengan kepala tertunduk. Tapi apakah Rusia masih mau begitu saja mengulurkan tangan? Atau justru akan menikmati saat-saat ketika Eropa yang sombong itu kini harus meminta belas kasihan?
Eropa adalah macan yang dulunya menakutkan, tetapi kini ompong dan tak berdaya. Mereka tidak lagi memiliki taring untuk menggigit atau cakar untuk menerkam. Hanya tersisa gemuruh auman yang semakin lama semakin sayup, tenggelam dalam kenyataan bahwa dunia tidak lagi memandang mereka sebagai kekuatan utama. Eropa telah kehilangan daya tawarnya, dan dunia telah menemukan cara untuk melangkah tanpanya.
Dalam dunia globalisasi yang semakin kompetitif, ketergantungan pada sumber daya eksternal adalah tanda kelemahan, bukan kekuatan. China dan India telah menunjukkan bagaimana diversifikasi sumber daya dan kebijakan ekonomi yang fleksibel bisa memastikan keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang. Sementara itu, Eropa terus terjerembab dalam ilusi kejayaannya sendiri.
Krisis ini bukan hanya soal energi. Ini adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam—ketidakmampuan Eropa untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah. Mereka masih beroperasi dengan mentalitas lama, di mana mereka mengira bisa mengendalikan dunia hanya dengan retorika dan ancaman ekonomi. Sayangnya, dunia telah berubah. Negara-negara berkembang kini memiliki opsi lain. Mereka tidak lagi tunduk pada dikte kebijakan Eropa.
Pada akhirnya, pertanyaannya adalah: berapa lama Eropa bisa terus berpura-pura menjadi kekuatan dunia sebelum seluruh dunia menyadari bahwa mereka hanyalah singa tua tanpa gigi? Jika mereka tidak segera mengubah strategi mereka, maka yang tersisa hanyalah bayangan kejayaan masa lalu yang semakin pudar. Macan ompong ini mungkin masih bisa mengaum, tetapi tidak ada lagi yang takut.