Opini
Eropa: Macan Kertas di Bawah Bayang-Bayang AS

Para pejabat Uni Eropa sedang gemetar, khawatir, cemas, dan mungkin juga mulai mempersiapkan doa-doa panjang. Doland Trump telah kembali, dan mereka mungkin harus menghadapi realitas pahit: kehilangan akses ke mainan perang mahal buatan AS yang selama ini mereka andalkan. Para pemimpin Eropa kini sibuk menghitung seberapa besar ketergantungan mereka terhadap Washington, dan hasilnya membuat mereka semakin pucat.
Eropa, yang sering berkoar-koar soal kemandirian, justru tampak seperti anak kecil yang ketakutan akan ditinggal pergi oleh orang tua mereka. Macron, sang orator dari Paris, dengan penuh semangat menyerukan agar Eropa berhenti membeli senjata Amerika dan beralih ke industri dalam negeri. Sementara itu, para birokrat di Brussel sibuk mencari cara untuk membujuk Washington agar tetap berbaik hati memasok rudal, jet tempur, dan sistem pertahanan canggih mereka.
Ironinya begitu mencolok. Para pemimpin Uni Eropa berbicara soal kedaulatan, tapi tetap menyandarkan pertahanan mereka pada AS. Mereka membangun ilusi tentang kekuatan mereka sendiri, tetapi kenyataannya adalah, tanpa teknologi dan perlindungan Washington, Eropa tak lebih dari kastil pasir yang siap tersapu gelombang pertama konflik geopolitik. Mereka ingin mandiri, tapi tak siap menghadapi konsekuensi dari kemandirian itu.
AS memasok hampir dua pertiga dari impor senjata Eropa. Itu bukan angka kecil. Banyak dari sistem itu hanya bisa dioperasikan dan dirawat oleh personel Amerika. Tanpa suku cadang, tanpa software update, tanpa akses ke intelijen AS, alat-alat perang mereka bisa berubah menjadi besi tua dalam sekejap. Sebuah ketergantungan yang begitu dalam, namun mereka masih mencoba meyakinkan diri bahwa mereka bisa berdiri sendiri.
Ketika Trump menyebut bahwa Eropa harus lebih banyak berkontribusi pada pertahanan mereka sendiri, ada yang tersinggung, ada yang mulai panik, ada yang berpura-pura tidak mendengar. Tetapi, fakta tetaplah fakta. Jika AS menarik dukungan, banyak negara Eropa akan seperti ayam kehilangan induk. Mereka bisa memiliki pasukan, tapi tanpa infrastruktur teknologi AS, mereka hanyalah tentara dengan senjata tak berguna.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Rasmus Jarlov dari Denmark bahkan menyebut pembelian jet tempur F-35 sebagai ‘risiko keamanan’ karena takut bahwa AS bisa saja mematikan sistemnya kapan saja. Jika ini terjadi, Denmark bukan hanya kehilangan aset pertahanannya, tapi juga harus menghadapi realitas bahwa mereka telah membuang miliaran euro untuk senjata yang dikendalikan dari Washington. Bahkan Portugal sudah mulai mundur dari rencana pembelian F-35, menyadari bahwa dalam konteks geopolitik saat ini, lebih baik menahan diri daripada terlalu bergantung pada senjata yang bisa berubah menjadi barang rongsokan sewaktu-waktu.
Jerman dan Prancis mulai membahas alternatif. Macron dengan semangat nasionalismenya mendorong penggunaan sistem pertahanan buatan Eropa, seperti SAMP/T menggantikan Patriot atau Rafale menggantikan F-35. Tapi masalahnya jelas: industri pertahanan Eropa belum siap untuk menghadapi dominasi teknologi militer AS. Bahkan jika mereka mulai membangun sistem baru sekarang, itu tetap membutuhkan puluhan tahun sebelum mereka bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh Washington.
Dan di sini ada paradoks besar: Eropa ingin mengakhiri ketergantungan pada AS, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka bisa berbicara soal rearmament, membangun kembali kemampuan militer, dan menciptakan sistem pertahanan mandiri, tetapi itu semua hanya wacana kosong jika tidak diiringi dengan komitmen finansial yang besar. Dan di sinilah letak persoalan berikutnya: ekonomi Eropa sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk secara agresif membangun kekuatan pertahanan sendiri.
Dengan inflasi yang tinggi, defisit anggaran yang membengkak, dan stagnasi ekonomi di berbagai negara, wacana membangun industri pertahanan mandiri hanya akan berakhir sebagai mimpi. Tak ada yang mau mengorbankan anggaran sosial untuk membeli lebih banyak tank atau rudal. Tak ada politisi yang berani menjual gagasan bahwa rakyat harus membayar lebih demi kemandirian militer yang entah kapan bisa terwujud. Jadi, apa yang tersisa bagi mereka? Tetap berpegangan pada AS, meskipun itu berarti harus terus bermain dalam aturan Washington.
Dan sementara itu, ancaman di sekitar Eropa tidak berkurang. Jika AS benar-benar menarik diri, siapa yang akan melindungi negara-negara kecil seperti Estonia, Latvia, atau Lithuania? Apakah mereka bisa berharap pada Prancis dan Jerman untuk bertindak sebagai pelindung? Realitasnya, tanpa NATO yang didukung AS, banyak negara Eropa Timur akan merasa benar-benar sendirian menghadapi kemungkinan ancaman eksternal. Bahkan jika Prancis menawarkan payung nuklirnya, itu tetap tidak cukup untuk menggantikan payung strategis yang diberikan AS selama ini.
Uni Eropa mungkin bisa membangun narasi tentang kedaulatan dan kemandirian, tetapi mereka tahu betul bahwa ini hanya retorika tanpa substansi. Mereka tidak punya kapasitas ekonomi, mereka tidak punya kesepakatan politik yang solid, dan mereka belum punya industri pertahanan yang siap bersaing dengan AS. Mereka ingin bebas, tapi mereka takut kehilangan perlindungan yang selama ini diberikan Washington.
Jadi, apa yang tersisa bagi Eropa? Mereka bisa terus berpura-pura bahwa mereka memiliki kendali atas nasib mereka sendiri, atau mereka bisa menerima kenyataan bahwa tanpa AS, mereka hanyalah kekuatan rapuh yang mudah goyah. Mereka bisa menertawakan Trump dan kebijakan luar negerinya, tetapi dalam hati, mereka tahu bahwa tanpa AS, mereka hanyalah anak kucing yang ditinggalkan induknya, menggigil di tengah badai yang semakin menggila.
Dan jika suatu hari nanti AS benar-benar berbalik dan meninggalkan mereka, maka seluruh ilusi tentang kekuatan Eropa akan runtuh dalam sekejap. Saat itu, mereka akan menyadari bahwa semua pidato tentang kedaulatan hanyalah omong kosong belaka, dan satu-satunya hal yang mereka miliki hanyalah ketakutan akan apa yang terjadi selanjutnya.