Opini
Eropa Kembali ke Zaman Batu?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Dalam sebuah wawancara dengan Defense News, Admiral Pierre Vandier, Komandan Tertinggi NATO, menyampaikan sebuah peringatan serius mengenai ketertinggalan Eropa dalam pengembangan teknologi pertahanan. Eropa, kata Vandier, kini menghadapi dilema besar: sistem senjata yang mereka kembangkan seringkali usang sebelum benar-benar diimplementasikan. Proses yang panjang dan birokratis dalam pengadaan senjata membuat Eropa terlambat mengadopsi teknologi baru, dan ketika sistem pertahanan mereka siap, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan zaman.
Fenomena ini mencerminkan kondisi yang jauh lebih besar dari sekadar ketertinggalan dalam bidang militer. Jika kita melihat tren global, di mana negara-negara seperti AS dan China dengan cepat melesat dalam inovasi teknologi, ketertinggalan Eropa tidak hanya soal peralatan militer, tetapi juga mencakup berbagai sektor teknologi lainnya. Teknologi kecerdasan buatan (AI), optoelektronika, dan komunikasi yang kini menjadi krusial dalam semua aspek kehidupan, termasuk pertahanan, juga menyaksikan Eropa kesulitan untuk bersaing.
Birokrasi dan sistem pengadaan yang rumit di Eropa berperan besar dalam lambatnya perkembangan teknologi. Proses yang terlalu panjang dan terkontrol menghambat upaya untuk beradaptasi dengan cepat terhadap teknologi baru yang berkembang pesat. Sementara itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China dengan lebih gesit mengembangkan dan mengadopsi teknologi mutakhir. Hal ini, pada gilirannya, membuat banyak inisiatif Eropa menjadi usang sebelum mereka sempat meluncur ke pasar atau medan perang.
Tertinggal dalam pengembangan teknologi, terutama di bidang militer, tentu bukan hal sepele. Ketertinggalan ini berpotensi mengancam posisi Eropa dalam percaturan geopolitik global. Dengan teknologi yang tidak relevan lagi, kemampuan pertahanan mereka menjadi terhambat, yang pada gilirannya akan memengaruhi daya saing ekonomi dan posisi strategis mereka di dunia. Ketergantungan pada teknologi yang dikembangkan negara lain dapat memperburuk ketergantungan tersebut, membuat Eropa semakin terpinggirkan dalam kompetisi global.
Selain itu, dampak ketertinggalan ini bisa lebih jauh lagi, melibatkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Banyak industri Eropa yang bergantung pada pengembangan teknologi canggih, dan keterlambatan ini dapat merugikan mereka dalam hal investasi dan inovasi. Tanpa reformasi yang mendalam, sektor-sektor strategis ini akan terus tertinggal, dan Eropa akan kesulitan untuk mempertahankan peran dominannya dalam ekonomi dunia.
Namun, meski situasinya tampak gelap, masih ada peluang bagi Eropa untuk mengejar ketertinggalan ini. Momen ini harus menjadi titik balik bagi Eropa untuk merombak sistem pengadaan dan mempercepat adopsi teknologi baru. Namun, itu tidak akan mudah. Dibutuhkan upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan lembaga-lembaga riset untuk menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi dan memungkinkan teknologi berkembang dengan cepat.
Jika Eropa tidak segera melakukan reformasi untuk mempercepat pengembangan dan adopsi teknologi, maka ancaman kehilangan posisi dominannya di panggung global akan semakin nyata. Adalah sebuah tantangan besar, namun bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Dengan langkah yang tepat, Eropa bisa kembali bangkit dan mengubah kondisi ini menjadi momentum untuk kembali memimpin dalam teknologi, seperti yang pernah mereka lakukan di masa lalu.
Namun, jika lambat dalam merespons, Eropa bisa benar-benar jatuh lebih dalam, tertinggal jauh dari negara-negara yang lebih dinamis dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Dengan kata lain, apakah Eropa akan terus bergerak maju, atau malah kembali ke zaman batu, dengan segala ketertinggalannya yang mengkhawatirkan? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya.
*Sumber: Sputnik