Opini
Eropa Ditodong Zelensky: Menolak atau Memenuhi?

Bayangkan sebuah rumah yang terbakar hebat di tengah malam, penghuninya menjerit minta tolong, dan para tetangga yang datang bukan hanya diminta air untuk memadamkan api, melainkan juga diminta menyumbang uang setiap bulan agar rumah itu bisa terus dibakar dengan bensin yang dibeli dari toko sebelah. Absurd? Tapi begitulah kira-kira situasi yang kini kita saksikan di Eropa, ketika Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terang-terangan meminta Uni Eropa menyetor dana minimal satu miliar dolar tiap bulan untuk membeli senjata Amerika. Sebuah permintaan yang terdengar lebih mirip ultimatum terselubung daripada ajakan solidaritas.
Saya rasa, siapapun yang mengikuti dinamika perang Ukraina sejak 2022 tak akan kaget dengan gaya Zelensky. Sejak awal ia membangun citra dirinya sebagai simbol perlawanan, wajah heroik yang seolah berdiri di antara kebebasan dan tirani. Tapi lama-kelamaan, retorika heroisme itu berubah menjadi nada tuntutan. Semacam “kalau kalian tidak membayar, maka kalianlah yang mengundang Rusia masuk ke jantung Eropa.” Nada itu bukan lagi sekadar permintaan, tapi tekanan psikologis—dan ironinya, banyak pemimpin Eropa yang masih juga menunduk sambil merogoh saku.
Donald Trump, yang kini duduk lagi di Gedung Putih, jelas berbeda pendekatan. Ia tak ingin lagi Amerika jadi ATM perang tak berkesudahan. Dengan enteng ia bilang, biarlah Eropa yang membeli senjata dari pabrik-pabrik di Texas atau Arizona, lalu mengirimnya ke Kiev. Amerika tetap untung, industrinya tetap berputar, tapi risiko politik dan ekonomi ditanggung oleh Brussel. Di titik ini kita melihat absurditas baru: perang yang diproyeksikan sebagai perjuangan Ukraina, ternyata makin terang-terangan hanyalah etalase bisnis senjata transatlantik.
Apa yang dilakukan Zelensky dengan menyebut angka satu miliar dolar per bulan adalah bentuk penodongan yang paling vulgar. Angka itu bukan kecil. Bayangkan jika dibagi rata, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan negara-negara Baltik harus merogoh miliaran euro dari anggaran yang sebenarnya bisa dipakai untuk subsidi energi, sekolah, atau layanan kesehatan. Dalam konteks masyarakat Eropa yang sudah gerah dengan inflasi, harga listrik yang naik gila-gilaan, dan ketidakpastian ekonomi, tuntutan itu terasa seperti garam yang ditabur di atas luka. Apalagi Zelensky menyampaikannya dengan nada percaya diri seolah Eropa tidak punya pilihan lain.
Yang lebih menarik, di tengah permintaan yang menodong itu, ada laporan dari Wakil Presiden AS JD Vance yang menyebut Rusia telah “fleksibel” dalam negosiasi. Katanya, Moskow sudah tak lagi ngotot mendirikan pemerintahan boneka di Kiev, bahkan bersedia membicarakan jaminan keamanan untuk integritas teritorial Ukraina. Jika benar, ini sebuah pintu kompromi yang setidaknya bisa membuka jalan damai. Tapi lihatlah, justru di saat itu Zelensky meminta uang lebih banyak, seakan pintu kompromi itu ingin didorong menjauh. Di sinilah tragedi terjadi: peluang damai ada, tapi bahan bakar perang tetap dipompa.
Saya teringat percakapan sederhana dengan seorang kawan yang bekerja di sektor energi di Jakarta. Ia bilang, “Kalau perang di Ukraina berlanjut, yang kena dampaknya juga kita, orang kecil di pasar. Harga gas naik, pupuk naik, semua naik.” Benar. Perang yang ribuan kilometer jauhnya ternyata menjalar ke dapur-dapur di Asia dan Afrika. Lalu bagaimana dengan rakyat Eropa? Mereka jelas lebih parah. Banyak laporan menunjukkan masyarakat di Prancis dan Jerman mulai marah dengan kebijakan luar negeri yang hanya menguras kantong tanpa manfaat langsung. Tapi suara itu ditutup rapat dengan jargon “solidaritas Eropa” yang makin lama makin kosong.
Kita semua tahu, dalam politik, solidaritas seringkali hanya nama lain dari tekanan. Zelensky memainkan narasi bahwa jika Eropa menolak, maka berarti mereka menyerahkan diri kepada Rusia. Sebuah framing yang pintar sekaligus culas. Karena pada akhirnya, yang dipaksa memilih bukan Rusia, bukan Amerika, melainkan rakyat Eropa sendiri: apakah mereka rela uang pajak yang seharusnya memperbaiki rumah sakit dan sekolah malah dialirkan ke Kiev untuk membeli senjata buatan Amerika?
Kalau kita tarik ke konteks lokal, situasi ini mirip tetangga yang tiap bulan datang menagih iuran kampung, tapi dananya bukan dipakai untuk memperbaiki jalan atau lampu penerangan, melainkan dipakai untuk membeli kembang api agar ia bisa terus ribut dengan kampung sebelah. Tentu lama-lama warga akan muak. Tapi masalahnya, dalam kasus Eropa, “tetangga” yang menodong itu didukung penuh oleh “juragan toko” bernama Amerika. Jadi menolak bukan perkara mudah, karena konsekuensinya bisa dianggap tidak setia pada persekutuan NATO.
Lalu apa yang bisa dilakukan Eropa? Menolak mentah-mentah? Itu artinya mereka harus siap melihat Ukraina tumbang lebih cepat, dan risiko Rusia menguat kembali di wilayah timur Eropa. Memenuhi sepenuhnya? Itu sama dengan menggali lubang sendiri, menjerumuskan ekonomi ke jurang resesi dan membuka peluang konfrontasi langsung dengan Rusia. Dilema ini tak ubahnya memilih antara sakit gigi atau sakit perut: dua-duanya menyiksa, tinggal pilih mana yang lebih bisa ditahan.
Saya rasa, jalan tengah yang paling mungkin adalah permainan waktu. Eropa akan memberi, tapi tak sebesar yang diminta. Mereka akan menyetor dana dalam porsi terbatas sambil mengulur-ulur negosiasi, berharap ada momentum diplomasi yang bisa menutup perang tanpa harus mengorbankan lebih banyak. Dengan begitu, mereka bisa menyelamatkan muka di depan Washington sekaligus menenangkan rakyat di dalam negeri. Tapi strategi menunda ini pun bukan tanpa risiko, karena Zelensky jelas akan terus menekan, dan Washington jelas tak keberatan jika mesin senjata tetap berputar.
Ironinya, perang yang semula digambarkan sebagai perjuangan mempertahankan kedaulatan Ukraina kini lebih mirip sebuah pasar senjata raksasa, di mana darah manusia menjadi pelumas transaksi. Setiap miliar dolar yang dikucurkan bukan hanya angka di laporan keuangan, tapi juga perpanjangan derita jutaan pengungsi, keluarga yang tercerabut dari rumah, dan anak-anak yang tumbuh dalam dentuman bom. Dan sementara itu, di balik layar, para pemimpin berdebat bukan soal cara menghentikan perang, tapi siapa yang harus membayar tagihan bulan depan.
Kita yang jauh di sini mungkin hanya bisa menggeleng kepala, atau tersenyum getir membaca berita itu. Karena absurditasnya terlalu nyata: di satu sisi Rusia dikatakan mulai melunak, di sisi lain Zelensky malah menuntut lebih. Seperti orang yang diberi kesempatan keluar dari neraka, tapi malah memilih memesan arang baru untuk memastikan api tetap menyala.
Pada akhirnya, Uni Eropa akan tetap terjebak dalam sandera moral dan ekonomi yang diciptakan Zelensky. Mereka mungkin menolak, mungkin memenuhi, atau mungkin sekadar menunda. Tapi apapun pilihan mereka, satu hal pasti: Eropa sedang membayar harga mahal untuk perang yang semakin hari semakin kehilangan makna heroik, dan semakin tampak hanya sebagai komedi gelap politik global. Dan kita, sebagai penonton jauh, hanya bisa berharap para pemain segera sadar bahwa pertunjukan ini sudah kelewat lama dan kelewat mahal untuk terus dipertahankan.