Connect with us

Opini

Eropa Didepak: Jadi Figuran dalam Drama Geopolitik

Published

on

Prancis dan Inggris gagal mencapai kesepakatan mengenai rencana gencatan senjata parsial untuk Ukraina. Itu berita yang baru saja keluar. Tak ada kesepakatan, tak ada keputusan, hanya wacana yang menggantung di udara. Seperti daun gugur yang tak kunjung menyentuh tanah, Eropa terombang-ambing dalam perang yang terjadi di halamannya sendiri. Sementara para pemimpin Prancis dan Inggris sibuk mengumumkan proposal gencatan senjata satu bulan, Washington dan Moskow tampaknya sudah bermain di meja yang berbeda, dengan agenda yang lebih nyata: mengatur ulang keseimbangan dunia tanpa melibatkan mereka yang hanya bisa berteriak di pinggiran.

Dalam diplomasi, kehilangan kendali atas agenda adalah tanda awal dari ketidakrelevanan. Eropa, yang dahulu menjadi pusat peradaban dan keputusan besar dunia, kini tak lebih dari sekumpulan pemimpin yang terombang-ambing di tengah badai geopolitik. Mereka masih percaya bahwa mereka punya suara, tapi tak sadar bahwa mikrofon sudah lama dicabut. Jika ada satu kata yang paling pas untuk menggambarkan posisi mereka dalam krisis Ukraina, itu adalah “didepak.” Didepak dari pembicaraan utama, didepak dari perhitungan strategis, dan yang lebih menyakitkan, didepak oleh sekutu mereka sendiri, Amerika Serikat.

Pertemuan darurat para pemimpin Eropa di London hanyalah seremonial belaka. Prancis, Inggris, Jerman, Denmark, Italia, dan Turki semua berkumpul dalam satu ruangan, menyampaikan pernyataan dukungan untuk Ukraina. Tapi semua itu terasa seperti tepuk tangan di stadion kosong. Sebab, pada saat yang sama, Washington dan Moskow sedang mendiskusikan sesuatu yang jauh lebih konkret: bagaimana mengakhiri perang dengan kesepakatan yang akan mereka buat tanpa perlu berkonsultasi dengan siapa pun. Dan yang lebih ironis, bahkan Ukraina, yang seharusnya menjadi pihak utama dalam perundingan, juga tampaknya tak diberi kursi di meja itu.

Donald Trump, seperti biasa, memainkan peran klasiknya sebagai penguasa panggung. Ia mempermalukan Zelensky di Gedung Putih, mengolok-olok seragam militernya, dan secara tersirat memberitahu dunia bahwa Ukraina sedang menuju kehancuran. “Negaramu dalam masalah besar,” katanya dengan nada mencibir. Itu bukan sekadar penghinaan, itu adalah pernyataan final. Jika ada yang masih percaya bahwa AS akan terus menopang Ukraina tanpa ada keuntungan bagi mereka, maka mereka hanya sedang berkhayal di era yang sudah berlalu. Setelah pertemuan itu, delegasi Ukraina bahkan dipaksa keluar dari Gedung Putih. Didepak. Sama seperti Eropa.

Inilah kenyataan pahit bagi Eropa. Mereka bisa membuat konferensi, bisa mengeluarkan resolusi, bisa menyusun deklarasi bersama, tetapi ketika keputusan nyata dibuat, mereka tidak ada dalam ruangan. Bahkan Macron yang selalu ingin terlihat sebagai pemimpin besar Eropa hanya bisa menyampaikan keinginannya untuk gencatan senjata tanpa ada mekanisme yang jelas untuk mewujudkannya. Sementara itu, Inggris, di bawah Keir Starmer, mencoba berlagak sebagai pemain penting, tapi tak lebih dari bayang-bayang kebijakan luar negeri Washington. Mereka mengklaim bekerja sama dengan Prancis dan mungkin satu atau dua negara lain, tetapi semua itu terdengar seperti eufemisme untuk “kami tak tahu harus berbuat apa.”

Eropa telah lama menikmati kemewahan menjadi sekutu AS, tetapi kini mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan mitra setara, melainkan hanya alat dalam strategi yang lebih besar. Mereka berjuang membangun narasi bahwa mereka masih punya pengaruh, tetapi dunia sudah melihat betapa lemahnya mereka dalam menghadapi realitas perang ini. Jika AS akhirnya menarik dukungannya dari Ukraina, seperti yang diisyaratkan Trump, Eropa akan menghadapi dilema besar: apakah mereka siap menggantikan peran AS dalam mendanai dan mempersenjatai Ukraina, atau mereka akan menonton dari pinggir lapangan sambil berharap keajaiban terjadi?

Eropa ingin percaya bahwa mereka masih bagian dari kekuatan global yang menentukan arah sejarah. Tapi sejarah sedang bergerak tanpa mereka. Washington berbicara dengan Moskow, Beijing menyusun strategi jangka panjang, dan di tengah semua itu, Eropa hanya bisa menggelar pertemuan demi pertemuan yang tak menghasilkan apa-apa. Mereka bisa mengutuk Rusia, bisa menyatakan dukungan pada Ukraina, tapi tak punya daya untuk mengubah jalannya perang. Bahkan ketika mereka mencoba membangun rencana perdamaian, rencana itu tak pernah benar-benar dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang berwenang membuat keputusan.

Lebih dari itu, situasi ini mencerminkan kegagalan mendasar dalam kepemimpinan Eropa. Para pemimpin benua itu tampak lebih sibuk menjaga citra politik domestik ketimbang mengambil langkah strategis yang berani di kancah internasional. Setiap negara lebih memikirkan bagaimana menjaga stabilitas internalnya, daripada merumuskan kebijakan luar negeri yang kohesif. Jerman, yang seharusnya menjadi lokomotif kebijakan Eropa, malah tersandera oleh perhitungan ekonomi dan ketergantungan energi yang masih membayangi mereka. Sementara Prancis dan Inggris mencoba memainkan peran mediators, namun tak ada satu pun pihak yang benar-benar menganggap mereka sebagai penentu jalannya perang.

Skenario ke depan semakin tidak menguntungkan bagi Eropa. Jika Washington dan Moskow benar-benar mencapai kesepakatan tanpa melibatkan mereka, itu akan menjadi preseden buruk yang menegaskan betapa lemahnya posisi mereka di geopolitik global. Kepercayaan diri mereka sebagai pemain utama akan semakin memudar, dan pada akhirnya, mereka hanya bisa menerima keputusan yang dibuat oleh kekuatan besar lain. Mungkin mereka masih bisa memberikan reaksi diplomatis atau merilis pernyataan keras, tetapi semua itu hanya akan menjadi angin lalu yang tak berpengaruh terhadap realitas di lapangan.

Dan begitulah nasib Eropa hari ini. Mereka bukan lagi pemain utama dalam permainan geopolitik global, melainkan hanya komentator yang menyuarakan pendapat tanpa dampak nyata. Didepak dari meja perundingan, diabaikan dalam pengambilan keputusan, dan terjebak dalam kebingungan tanpa strategi yang jelas. Mereka bisa saja terus berbicara, tetapi dunia sudah memutuskan untuk tidak mendengarkan. Selamat datang di era baru, di mana Eropa tak lagi menjadi pusat, melainkan hanya figuran dalam drama besar dunia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *