Opini
Eropa di Tepi Jurang Tarif: Diplomasi, Harga Diri, dan Masa Depan yang Rapuh

Ketika negosiasi antara Uni Eropa dan Amerika Serikat memanas, muncul keraguan: seberapa jauh kompromi bisa dicapai? Komisi Eropa mulai bersiap mental, sadar bahwa kesepakatan perdagangan yang ideal—tanpa tarif—mungkin takkan terwujud. “Dengan tarif ini, AS merasa telah menyamakan kedudukan,” kata pejabat UE, Matthias Jørgensen, di hadapan Parlemen Eropa. Ucapannya menggambarkan kegelisahan yang kita rasakan bersama—ketidakpastian di tengah dunia yang makin terbelah.
Tarif bukan sekadar angka: 25% untuk baja dan mobil, 10% untuk semua impor dari Eropa. Ini adalah beban nyata. Dampaknya terasa hingga ke petani anggur di Provence, buruh pabrik di Bavaria, bahkan pedagang pasar di Jakarta yang bergantung pada rantai pasok global. Bayangkan petani Chianti di Toscana yang kini kesulitan menembus pasar AS. Atau buruh di Surabaya yang khawatir terkena PHK karena permintaan ekspor otomotif menurun drastis.
Tarif menyentuh yang paling dalam dari kehidupan: pekerjaan, harapan, dan rasa aman. Sejak pertengahan Maret, pemerintahan Trump menetapkan tarif tinggi atas baja, aluminium, mobil, dan barang dari UE. “Angka-angka ini,” kata seorang diplomat Eropa, “membuat sulit untuk menurunkan tarif di bawah 10%.”
Di Brussel, rapat demi rapat digelar. Para menteri perdagangan dari 27 negara anggota berkumpul. Tapi, suara mereka tak sepenuhnya senada. Wakil Menteri Ekonomi Polandia, Michal Baranowski, menegaskan, “Kami akan sangat kesulitan menerima tarif 10%.” Di sisi lain, negara seperti Hungaria, Irlandia, dan Italia cenderung lebih akomodatif. Prancis dan Jerman, sebagai poros kekuatan ekonomi Eropa, tegas menolak kompromi yang dianggap terlalu mahal. Ini bukan hanya perkara ekonomi, tapi soal harga diri. Eropa yang membanggakan integrasi pasarnya merasa tidak bisa tunduk begitu saja.
Namun, bisik seorang pejabat, “Kita tak bisa terus bertikai. Kita butuh Amerika, seperti mereka butuh kita.”
Di tengah kebuntuan, ada secercah harapan. Komisaris Perdagangan UE, Maroš Šefčovič, menyampaikan bahwa dialog tetap berlangsung aktif, baik di level teknis maupun politik. Usai pembicaraan “konstruktif” dengan Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, ia berharap bisa melanjutkan percakapan dengan Duta Besar AS, Jamieson Greer. Tarian diplomasi ini rapuh: setiap langkah harus hati-hati, setiap kata dihitung. Namun di balik semua itu, pertanyaan tetap menggantung: sampai kapan kita bisa terus menari di tepi jurang?
UE tidak datang dengan tangan kosong. Mereka menawarkan akses lebih besar untuk impor gas alam cair, teknologi AI, hingga kedelai dari AS. Bahkan ada wacana penghapusan tarif industri sepenuhnya. Tapi ada satu batas yang tidak bisa dinegosiasikan: otonomi regulasi. “Legislasi UE tidak untuk dinegosiasikan,” tegas Jørgensen. Ini bukan soal teknis semata, tapi menyangkut identitas Eropa—dari standar lingkungan hingga perlindungan konsumen. Di sisi lain, AS tetap teguh pada prinsip deregulasi dan “America First.” Dua dunia, dua visi, bertemu di meja negosiasi—dan saling mendesak.
Jika negosiasi gagal, UE siap meluncurkan daftar retaliasi senilai €95 miliar. Imbasnya bisa besar: 70% ekspor Eropa ke AS telah terkena tarif. “Membiarkan ketidakseimbangan ini berlangsung selamanya bukan pilihan,” kata Šefčovič. Tapi retaliasi juga dilematis. Prancis, Italia, dan Spanyol menolak memasukkan Bourbon Whiskey dalam daftar balasan demi menyelamatkan ekspor anggur dan minuman keras mereka dari kemungkinan balasan balik. Industri penerbangan juga masuk pusaran. Ketika UE menargetkan Boeing, AS merespons dengan menekan Airbus. Permainan catur dimulai—taruhannya bukan pion, tapi jutaan pekerjaan dan stabilitas ekonomi.
Bagi Indonesia, konflik ini mungkin terasa jauh. Tapi dampaknya bisa nyata. Perang dagang antara dua raksasa ekonomi bisa mengguncang harga komoditas, mengganggu logistik global, dan mempersempit pasar ekspor kita. Bayangkan petani sawit di Riau atau buruh tekstil di Bandung yang harus menghadapi efek domino ini. Dunia hari ini bukan hanya saling terhubung, tapi juga sangat rapuh—seperti jaring laba-laba yang bisa robek sewaktu-waktu.
Dan di tengah semua itu, kita bertanya: apakah kerja sama lintas batas masih mungkin, ataukah kita ditakdirkan terus bertikai demi kepentingan nasional semata?
Laporan dari Euronews mengingatkan kita akan sisi manusiawi dari dinamika politik global. Di balik angka-angka dan negosiasi, ada sosok seperti Šefčovič yang mungkin pulang larut malam sambil bertanya apakah keputusannya tepat. Ada para pejabat di Paris dan Berlin yang paham bahwa satu keputusan bisa mengguncang jutaan hidup. Dan ada kita—pembaca biasa—yang merasakan getaran kecil dari ketidakpastian ini, meski hanya lewat berita.
Aku teringat pasar malam di kota kecil tempatku tumbuh. Seorang pedagang buah pernah berkata, “Dunia global ini kadang terasa seperti permainan yang tak adil.” Kata-katanya kini kembali bergema.
Ke mana semua ini akan berujung? Laporan itu tak menawarkan jawaban pasti. Tapi ada secercah harapan di antara baris-barisnya: dialog yang hidup, niat untuk terus berbicara, dan tekad menjaga saling ketergantungan. Namun, seperti hidup, dialog saja tak cukup. Diperlukan keberanian untuk berkompromi, kebijaksanaan melihat gambaran besar, dan empati untuk mengingat bahwa di balik kebijakan ada manusia.
Eropa dan Amerika, dua kekuatan yang pernah bersatu melawan badai sejarah, kini berdiri di persimpangan. Akankah mereka menemukan jalan pulang—atau justru memilih berpisah, membiarkan dunia semakin terbelah?
Aku tak punya jawabannya. Mungkin kamu juga tidak. Tapi di tengah arus ini, terasa ada sesuatu yang memanggil—sebuah ajakan untuk tidak sekadar menjadi penonton. Untuk membayangkan dunia yang lebih adil, lebih manusiawi. Karena pada akhirnya, ini bukan hanya soal tarif. Ini tentang bagaimana kita memilih untuk hidup bersama di satu planet yang sama.