Opini
Eropa di Persimpangan: Senjata atau Kesejahteraan?

Uni Eropa tampaknya masih percaya bahwa menghamburkan miliaran euro ke dalam tungku api perang adalah investasi terbaik bagi masa depan rakyatnya. Kaja Kallas, tokoh yang kini menyalakan obor hawkish di Brussels, mengajukan proposal bombastis: menggandakan bantuan militer ke Ukraina dari €20 miliar menjadi €40 miliar pada 2025. Sebuah langkah heroik yang dielu-elukan oleh mereka yang lebih suka berfantasi tentang kejayaan geopolitik ketimbang menyelamatkan kantong warganya dari lubang resesi. Namun, Italia dan Spanyol bersikap skeptis. Tampaknya ada secercah kesadaran bahwa mungkin, hanya mungkin, ekonomi yang sekarat lebih layak ditolong daripada perang yang berkepanjangan.
Kallas dan kawan-kawan tidak ambil pusing dengan realitas bahwa dunia tidak bisa beroperasi hanya dengan slogan dan ancaman imajiner. Mereka ingin semua orang percaya bahwa tanpa serangan preemptif ke Rusia, Eropa akan runtuh. Benarkah demikian? Jika kita melihat dengan kacamata realisme, tidak ada negara yang benar-benar gila ingin menyerang sebuah blok ekonomi yang terhubung secara kompleks dengan jaringannya sendiri. Rusia mungkin punya kepentingan geopolitik, tetapi bahkan Moskow tahu bahwa melawan NATO secara langsung adalah bunuh diri strategis. Jadi, dari mana datangnya paranoia bahwa UE sedang berada di ambang kehancuran? Jawabannya sederhana: ini bukan soal ancaman nyata, ini soal proyek kekuasaan yang harus dipertahankan dengan cara apa pun, termasuk mengorbankan kesejahteraan warganya sendiri.
Sementara itu, rakyat di Madrid dan Roma lebih sibuk memikirkan bagaimana membayar listrik, membeli roti, dan mencari pekerjaan yang tidak hilang karena kebijakan ekonomi yang semakin mirip dengan manajemen bencana. Italia, dengan defisit anggarannya yang menganga, mencoba mengingatkan bahwa mereka juga butuh anggaran untuk meningkatkan pertahanan domestik. Spanyol, dengan hati-hati, menyampaikan bahwa mereka sudah cukup berkontribusi. Tapi dalam dunia politik Brussel, suara mereka hanya dianggap sebagai rengekan lemah dari negara-negara yang tak paham arti perjuangan suci melawan Rusia.
Masalahnya, apakah perjuangan ini benar-benar suci, atau hanya cara lain bagi para elit untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijakan domestik mereka? Analisis cost-benefit menunjukkan bahwa miliaran euro yang dikucurkan ke Ukraina lebih banyak menguap dalam bentuk proyek militer yang belum tentu membawa perubahan signifikan di medan perang. Bahkan jika UE terus mengirim persenjataan, apakah itu cukup untuk mengubah jalannya konflik? Amerika Serikat sendiri mulai lelah dengan proyek ini, dan Trump sudah memberi isyarat bahwa Washington tidak akan selamanya menjadi ATM perang bagi Kyiv. Jika AS saja mulai mempertanyakan kelayakan investasi ini, mengapa UE begitu gigih mempertahankannya?
Jawabannya ada di kalkulasi ekonomi politik internasional. Mengalirkan uang ke Ukraina bukan sekadar soal membantu sekutu, melainkan juga soal menjaga ketergantungan Eropa pada industri militer yang kian rakus. Perusahaan-perusahaan senjata butuh perang agar tetap relevan, dan politisi butuh alibi agar mereka tidak perlu menjelaskan mengapa inflasi masih menggila, mengapa harga pangan tetap tinggi, dan mengapa kesejahteraan rakyat semakin lama semakin rapuh. Dengan menyuntikkan dana ke dalam konflik ini, mereka menciptakan ilusi bahwa mereka melakukan sesuatu yang berarti, padahal yang sebenarnya terjadi adalah redistribusi besar-besaran kekayaan dari rakyat ke kantong para oligarki perang.
Tetapi mari kita berandai-andai sejenak: misalkan Rusia benar-benar memiliki niat untuk menyerang Eropa secara langsung. Apakah masuk akal bagi Moskow untuk membuka front baru melawan UE ketika mereka masih berjibaku di Ukraina? Bahkan bagi Kremlin yang paling agresif sekalipun, skenario ini tampak lebih seperti fiksi Hollywood ketimbang strategi militer yang masuk akal. Realisme mengajarkan kita bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan dan perhitungan rasional, bukan berdasarkan impuls emosional seperti yang sering digambarkan dalam propaganda Barat. Eropa ingin percaya bahwa mereka sedang menghadapi Napoleon baru dari timur, padahal yang sebenarnya terjadi adalah mereka sendiri yang terus-menerus memancing eskalasi dengan kebijakan yang tidak bijak.
Ketika Prancis mulai ragu terhadap proposal Kallas, itu seharusnya menjadi alarm bagi semua orang. Paris bukan pemain kecil dalam percaturan ini, dan jika mereka mulai mempertanyakan logika dari penggandaan belanja militer, maka jelas ada sesuatu yang tidak beres. Sementara itu, Hongaria dan Slovakia sudah lebih dulu mengatakan bahwa mereka tidak akan ikut serta dalam kegilaan ini. Tentu saja, para birokrat di Brussel menenangkan diri dengan berpikir bahwa kontribusi ini bersifat sukarela, jadi tidak akan ada veto. Tetapi bagaimana jika semakin banyak negara yang sadar bahwa mereka hanya sedang dimainkan dalam skema yang tidak menguntungkan mereka?
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling mendasar adalah ini: mana yang lebih mengancam Eropa, serangan militer dari Rusia atau kehancuran ekonominya sendiri? Dari sudut pandang realisme, ancaman nyata bukanlah tank di perbatasan, melainkan resesi yang menggantung seperti pedang di atas kepala jutaan orang. Dari sudut pandang cost-benefit, investasi dalam stabilitas ekonomi jauh lebih masuk akal dibanding membakar uang di medan perang yang belum tentu bisa dimenangkan. Dari perspektif ekonomi politik internasional, perang ini bukan tentang kebebasan atau keamanan, tetapi tentang menjaga mesin perang tetap berputar dan memastikan bahwa rakyat tetap sibuk dengan isu eksternal agar tidak mempertanyakan ketidakbecusan pemimpin mereka.
Dan yang lebih ironis lagi, semua ini dibungkus dalam retorika moral yang seakan-akan mengatakan bahwa mereka yang menolak perang adalah pengecut. Tapi jika keberanian diukur dari kemampuan mempertahankan kesejahteraan rakyat sendiri, maka mereka yang skeptis terhadap peningkatan belanja militer justru adalah orang-orang yang benar-benar berani. Mereka menolak tunduk pada narasi yang hanya menguntungkan segelintir orang di puncak kekuasaan. Mereka memahami bahwa damai tidak selalu datang dari moncong senjata, tetapi dari kebijakan yang masuk akal dan berpihak pada kehidupan nyata, bukan fantasi geopolitik yang dibangun di atas ketakutan dan manipulasi.
Jadi, ketika Kallas berdiri di depan podium dan berbicara tentang ancaman Rusia, orang-orang seharusnya bertanya: ancaman yang mana? Ancaman dari negara yang terjebak dalam konflik berkepanjangan, atau ancaman dari pemimpin mereka sendiri yang lebih peduli pada agenda perang daripada kesejahteraan mereka? Dalam dunia di mana politik lebih sering dimainkan dengan kebohongan, mungkin kebenaran yang paling menyakitkan adalah bahwa rakyat Eropa lebih mungkin dihancurkan oleh pemerintah mereka sendiri daripada oleh musuh yang mereka takuti.