Connect with us

Opini

Eropa dan Perang: Ancaman Nyata atau Sandiwara?

Published

on

Eropa tampaknya sedang mengalami mimpi buruk kolektif yang aneh. Dalam setiap pembicaraan para pemimpinnya, selalu ada mantra tentang ancaman, pertahanan, dan perlunya mengurangi ketergantungan pada Amerika. Presiden Prancis Emmanuel Macron, dengan wajah serius penuh kekhawatiran ala negarawan sejati, bersikeras bahwa Uni Eropa harus mengurangi ketergantungan pada senjata buatan AS. Sementara itu, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengemis agar lebih banyak dana dikucurkan untuk Ukraina, meskipun beberapa negara besar seperti Prancis, Italia, dan Spanyol sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dan di Jerman, Menteri Kesehatan Bavaria sibuk mengusulkan rumah sakit harus dipersiapkan untuk menghadapi perang seolah-olah bom sudah siap dijatuhkan esok pagi.

Jika kita berhenti sejenak dan menarik napas, seluruh situasi ini menyerupai sandiwara yang ditulis oleh para pemikir realis, disutradarai oleh para kapitalis perang, dan dipertontonkan untuk audiens yang sudah terlalu lelah dengan narasi kiamat. Realisme sebagai pisau analisis akan melihat bahwa ini adalah langkah-langkah yang sangat masuk akal dalam dunia yang penuh dengan anarki dan kepentingan nasional yang terus berbenturan. Negara-negara Eropa, meskipun dalam satu blok ekonomi-politik, tetaplah entitas yang egoistis. Masing-masing melihat peluang dan ancaman sesuai dengan kaca mata kepentingannya sendiri. Prancis ingin lebih banyak senjata Prancis dipakai di Eropa, Jerman ingin memastikan infrastrukturnya siap menghadapi skenario perang, dan Kallas berusaha mempertahankan relevansinya di tengah dinamika geopolitik yang semakin sulit.

Namun, dalam analisis ekonomi-politik global, kita bisa melihat ironi yang lebih dalam. Di satu sisi, Eropa berteriak tentang kemandirian dan mengurangi ketergantungan pada AS. Tapi di sisi lain, mereka tidak punya banyak pilihan selain terus menggantungkan diri pada Washington, baik dalam aspek militer maupun politik. Pasar senjata Eropa, meskipun memiliki beberapa produk unggulan seperti jet tempur Rafale Prancis atau sistem pertahanan udara SAMP/T, masih tertinggal dalam skala produksi dan efisiensi dibandingkan kompleks industri militer AS. Jadi, ketika Macron mengatakan Eropa harus membeli lebih banyak senjata dari dalam negeri, dia tidak hanya berbicara tentang pertahanan, tetapi juga tentang bagaimana uang yang mengalir ke Lockheed Martin bisa dialihkan ke Dassault Aviation.

Sementara itu, Kallas, dengan semangat Perang Dingin-nya, tampak ingin menyeret seluruh Eropa lebih dalam ke dalam konflik yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir elite. Bagi negara-negara yang selama ini menikmati stabilitas relatif, membakar miliaran euro untuk Ukraina tanpa kepastian kemenangan mulai tampak seperti investasi buruk. Bahkan Washington sendiri mulai ragu-ragu, terutama dengan dinamika politik dalam negeri AS yang tidak stabil. Jika Trump kembali berkuasa, apakah Eropa siap berperang sendirian melawan Rusia? Jika jawabannya ya, mengapa mereka terlihat begitu panik?

Di sini, letak paradoksnya. Jika Rusia benar-benar ancaman eksistensial bagi Eropa, maka seharusnya tidak ada perdebatan tentang dana militer. Semua negara harusnya bersatu, tanpa perlu Macron merengek-rengek agar mereka membeli senjata Prancis. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketakutan terhadap Rusia lebih banyak digunakan sebagai justifikasi untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi elit tertentu daripada sebagai ancaman nyata. Jika Rusia berniat menyerang Eropa, mengapa mereka belum melakukannya? Mengapa Moskow masih sibuk dengan Ukraina tanpa tanda-tanda ekspansi lebih jauh? Jawabannya sederhana: Rusia tidak bodoh. Menyerang NATO berarti bunuh diri strategis, dan mereka tahu itu.

Sementara Eropa sibuk mempersiapkan skenario perang yang mungkin tidak akan pernah terjadi, belahan dunia lain sudah lama berada dalam konflik tanpa akhir. Dari Timur Tengah hingga Afrika, perang bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan sehari-hari. Namun, tidak ada upaya sebesar ini untuk “menyiapkan rumah sakit” bagi korban perang di Gaza, Yaman, atau Sudan. Mengapa? Karena itu bukan perang mereka. Eropa hanya peduli jika perang itu mengancam gaya hidup mereka, bukan ketika perang itu menghancurkan orang-orang di belahan dunia lain.

Jerman, dengan segala perhitungannya tentang bagaimana sistem kesehatan harus siap menghadapi perang, tampak lupa bahwa mereka telah menikmati dekade kemakmuran tanpa gangguan besar. Mereka kini berbicara seolah-olah Rusia adalah monster yang siap melahap Berlin kapan saja. Retorika semacam ini bukan hanya berlebihan, tetapi juga mengandung unsur ketakutan yang dibuat-buat demi kepentingan tertentu. Jika ancaman itu nyata, mengapa Jerman baru sekarang mulai bicara soal kesiapan rumah sakit? Mengapa baru sekarang membahas wajib militer sipil? Mengapa tidak sejak 2014 ketika Krimea dianeksasi?

Pisau analisis ekonomi-politik global juga menunjukkan bahwa perang, baik yang nyata maupun yang dibayangkan, adalah bisnis yang menguntungkan. Tidak ada industri yang lebih stabil pertumbuhannya dibandingkan industri perang. Ketika satu konflik selesai, yang lain harus segera dimulai agar uang terus mengalir. Dan di sinilah Eropa bermain catur dengan AS dan Rusia. Mereka ingin memiliki posisi tawar lebih besar dalam industri senjata dan kebijakan luar negeri, tetapi mereka masih terlalu bergantung pada Washington untuk benar-benar mengambil keputusan independen.

Dalam dunia realisme, negara-negara hanya mengejar kepentingannya sendiri. Jadi, ketika Macron berbicara tentang kemandirian militer Eropa, itu bukan tentang keamanan, melainkan tentang uang dan pengaruh Prancis dalam struktur kekuasaan Uni Eropa. Ketika Kallas berusaha memaksa negara-negara lain mengeluarkan lebih banyak dana untuk Ukraina, itu bukan semata-mata soal membantu Kiev, tetapi juga tentang membangun posisinya sendiri dalam politik Eropa. Dan ketika Jerman berbicara tentang kesiapan sipil menghadapi perang, itu bukan hanya soal ancaman Rusia, tetapi juga soal menciptakan narasi yang membenarkan kebijakan-kebijakan yang lebih otoriter di masa depan.

Jadi, apakah Eropa benar-benar ingin berperang dengan Rusia? Tidak, kecuali jika itu menguntungkan mereka. Apa yang mereka inginkan adalah berada dalam keadaan “hampir perang” selamanya—cukup menegangkan untuk meningkatkan anggaran pertahanan, tapi tidak cukup nyata untuk benar-benar mengancam kelangsungan hidup mereka. Dengan begitu, industri senjata terus mendapat pesanan, para politisi terus mendapat alasan untuk mempertahankan kekuasaan, dan opini publik terus diarahkan agar melihat ancaman yang mungkin tidak pernah ada. Sementara itu, perang-perang lain terus berkecamuk, tapi siapa peduli? Itu bukan perang mereka.

 

*Referensi

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *