Connect with us

Opini

Eropa dan Nuklir: Deterensi atau Delusi?

Published

on

Presiden Prancis Emmanuel Macron baru saja melemparkan ide yang bisa mengubah peta geopolitik Eropa. Dengan percaya diri, ia menyatakan bahwa force de frappe, senjata nuklir Prancis, mungkin bisa digunakan untuk melindungi negara-negara Eropa lainnya. Sontak, kalangan politikus dari kiri dan kanan bersorak histeris—bukan karena kegembiraan, tetapi karena ketakutan bahwa Eropa tengah melangkah menuju era baru perlombaan senjata nuklir.

Tentu saja, para pejabat Prancis buru-buru memberikan klarifikasi. Mereka bilang ini bukan soal “berbagi” nuklir. Tidak akan ada jari tambahan yang menyentuh tombol merah itu. Tapi apakah ini benar-benar tentang semantik? Jika Prancis berjanji melindungi Jerman atau Polandia dengan arsenal nuklirnya, maka kita sedang menyaksikan awal dari pergeseran doktrin deterensi di Eropa. Dan ini adalah perubahan yang tidak kecil.

Eropa, yang selama ini nyaman bernaung di bawah perlindungan nuklir Amerika Serikat melalui NATO, kini mulai mempertimbangkan opsi mandiri. Kekhawatiran mereka tidak berlebihan. Donald Trump sudah lama mengancam akan menarik dukungan terhadap NATO, dan pemimpin Eropa paham bahwa mengandalkan Washington adalah perjudian yang berbahaya. Tapi apakah solusi dari kecemasan ini adalah lebih banyak nuklir? Ironisnya, jawaban dari para elit Eropa tampaknya “ya”.

Di Berlin, wacana mengenai apakah Jerman harus memiliki senjata nuklir sendiri semakin nyaring. Negeri yang dulu bersumpah tidak akan pernah lagi menjadi kekuatan militer agresif kini mulai mempertimbangkan opsi paling destruktif dalam sejarah manusia. Semua ini terjadi dalam narasi yang sudah dibangun dengan apik: Rusia adalah ancaman, dan satu-satunya cara untuk melawan ancaman ini adalah dengan memastikan bahwa kehancuran bisa terjadi dalam skala yang lebih besar.

Deterensi nuklir, tentu saja, bukanlah konsep baru. Teori ini lahir di puncak Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet memahami bahwa satu-satunya cara untuk mencegah perang nuklir adalah dengan memastikan bahwa jika salah satu menyerang, maka yang lain akan membalas dengan skala yang tak terbayangkan. Inilah yang disebut Mutually Assured Destruction (MAD)—konsep sederhana yang berbunyi: sentuh nuklir saya, maka saya akan menghancurkan Anda sampai ke akar-akarnya.

Tapi teori deterensi ini tidak sempurna, dan sejarah membuktikannya. Krisis Rudal Kuba hampir saja berubah menjadi perang nuklir skala penuh karena kalkulasi yang keliru. Kesalahan sistem hampir meluncurkan rudal nuklir Soviet pada 1983, dan insiden-insiden serupa terus terjadi tanpa banyak diketahui publik. Sekarang, Eropa tampaknya siap untuk menambahkan lebih banyak pemain dalam drama maut ini. Jika Prancis memperluas payung nuklirnya, maka kita bisa memperkirakan Rusia akan merespons dengan menyesuaikan strategi serangannya.

Narasi bahwa Rusia adalah ancaman memang menarik untuk digoreng oleh politisi Eropa. Dengan menggunakan ketakutan sebagai alat, mereka bisa mendapatkan anggaran militer lebih besar, kontrak persenjataan yang menggiurkan, dan tentu saja, meningkatkan popularitas di mata rakyat yang dicekoki propaganda tentang “bahaya di Timur”. Tapi yang tidak mereka ungkapkan adalah bahwa logika deterensi nuklir bisa gagal kapan saja karena satu faktor yang tidak bisa dikontrol: kesalahan manusia.

Prancis, tentu saja, menikmati peran barunya sebagai calon pemimpin pertahanan Eropa. Macron ingin Paris menjadi pusat kekuatan, menggantikan Berlin yang selama ini sibuk dengan pertumbuhan ekonomi dan diplomasi lunak. Dengan menjadi penyedia perlindungan nuklir, Prancis menempatkan dirinya di posisi strategis yang sulit ditandingi. Tapi apakah ini benar-benar demi kepentingan Eropa, atau hanya kepentingan Prancis sendiri?

Rusia tentu tidak akan tinggal diam. Jika Eropa mulai merangkul strategi deterensi nuklir yang lebih agresif, Moskow akan memperkuat kapasitas serangan pertamanya. Jika dulu nuklir dianggap sebagai senjata pertahanan, kini ia kembali menjadi alat geopolitik ofensif. Semua ini terjadi ketika dunia tengah menghadapi risiko eskalasi terbesar sejak Perang Dingin berakhir. Sementara itu, di Washington, para analis militer menyeringai puas melihat Eropa akhirnya mulai mengambil tanggung jawab sendiri. Artinya, AS bisa lebih fokus ke Asia, dan Eropa akan sibuk membakar uangnya sendiri.

Di antara semua kebisingan ini, yang jarang dibahas adalah realitas mengerikan dari deterensi nuklir itu sendiri. Ia bukan sekadar strategi elegan dalam buku teks hubungan internasional. Ia adalah permainan dengan taruhan nyawa miliaran orang. Ia bukan hanya tentang “jika” terjadi perang nuklir, tetapi tentang “kapan” seseorang akhirnya membuat kesalahan yang fatal. Sejarah sudah menunjukkan bahwa kita lebih sering beruntung daripada benar-benar cerdas dalam menghindari bencana.

Apakah Eropa siap untuk hidup dalam bayang-bayang kehancuran total? Apakah warga Berlin, Paris, dan Warsawa siap dengan kenyataan bahwa setiap keputusan politik bisa berarti perhitungan detik-detik terakhir sebelum rudal hipersonik menghancurkan kota mereka? Ataukah ini semua hanya bagian dari permainan politik yang akan berakhir begitu pemimpin-pemimpin ini selesai dengan masa jabatannya?

Dunia sudah cukup gila tanpa tambahan negara-negara baru yang bermain dengan senjata nuklir. Prancis mungkin percaya bahwa mereka bisa mengontrol permainan ini. Jerman mungkin berpikir mereka bisa membuat keputusan rasional. Tapi satu hal yang pasti: dalam sejarah deterensi nuklir, kesombongan adalah musuh terbesar. Dan kali ini, kesombongan itu berpakaian sebagai “perlindungan” bagi Eropa.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *