Connect with us

Opini

Eropa dan Gaza: Ketika Moral Hanya Jadi Etalase

Published

on

Di Brussels, 27 menteri luar negeri dari negara-negara yang mengaku sebagai penjaga nilai demokrasi dan kemanusiaan duduk bersama di ruang berpendingin yang tenang, berdebat tentang tragedi Gaza dengan nada suara yang terkontrol, wajah-wajah datar, dan senyum-senyum diplomatik. Setelah melalui daftar panjang berisi sepuluh opsi—mulai dari pembatasan visa hingga blokade impor dari pemukiman ilegal—mereka memutuskan… untuk tidak memutuskan apa-apa. Hanya “mengawasi dengan saksama.” Ya, semacam cara elegan untuk mengatakan: kita pura-pura peduli, tapi tidak cukup peduli untuk berbuat apa-apa.

Dan dari tanah yang porak-poranda akibat bom, pembunuhan anak-anak, rumah sakit yang rata dengan tanah, dan warga sipil yang kelaparan, lahirlah satu kata dari perwakilan Palestina: “shocking and disappointing.” Terlalu sopan, barangkali. Tapi begitulah, diplomasi memang tidak mengenal pekikan histeris. Bahkan ketika darah belum kering di tubuh anak-anak Gaza, ruang rapat di Eropa tetap tenang. Dinginnya bukan karena AC, tapi karena nurani yang membeku.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa yang disebut sebagai kemenangan diplomatik oleh Gideon Sa’ar, Menteri Luar Negeri zionis, adalah kebungkaman yang dibungkus dengan kertas kado kemunafikan. Ia menulis di X dengan penuh kebanggaan bahwa Israel berhasil menggagalkan “obsesi” beberapa negara UE yang hendak menjatuhkan sanksi. Dalam narasinya, Israel adalah negara demokrasi kecil yang heroik, berjuang melawan gelombang teror. Bahwa negara demokrasi itu telah membunuh lebih dari 38 ribu warga sipil dalam waktu kurang dari setahun, seolah tak penting. Di dunia yang dikendalikan persepsi, siapa yang kuat menentukan siapa yang disebut korban.

UE sendiri sudah memiliki laporan. Laporan mereka. Bukan laporan Palestina, bukan laporan NGO yang bisa dituduh bias. Mereka menyusun evaluasi atas Perjanjian Asosiasi UE-Israel, dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Tiga puluh delapan pelanggaran dicatat. Bukan asumsi, tapi hasil investigasi. Tapi entah mengapa, angka-angka itu tidak mampu menggerakkan tangan para menteri luar negeri untuk menekan tombol “sanksi.” Tampaknya, di Eropa, jumlah korban sipil harus menyentuh angka absurd dulu—katakanlah, satu juta—baru bisa dianggap layak untuk tindakan nyata. Atau mungkin tidak juga.

Lalu muncullah retorika lama yang membosankan: kami akan tetap memantau, kami akan bertindak jika Israel tidak memenuhi janjinya. Janji yang mana? Janji menambah truk bantuan? Sementara itu, truk masuk, tetapi bom juga tetap dijatuhkan. Bantuan dikawal, tetapi rumah-rumah hancur bersamaan. Mereka seakan lupa bahwa roti dan obat bukan tandingan rudal dan F-16. Seolah penderitaan bisa diimbangi dengan logistik yang ditakar secara kosmetik.

Beginilah wajah Eropa hari ini. Bukan seperti dalam brosur pariwisata dengan kanal tenang dan bangunan bersejarah, tapi wajah dingin yang mengedepankan stabilitas politik di atas keadilan. Mereka berbicara tentang tatanan internasional berbasis aturan, lalu melanggar aturan itu ketika pelanggarnya adalah sekutu. Mereka mengajar dunia tentang supremasi hukum, tapi diam ketika hukum diinjak di depan mata. Bagi mereka, hukum adalah panggung. Isinya, tergantung siapa penontonnya.

Dan di tanah yang jauh dari Brussels, kita pun melihat ironi ini dengan getir. Kita yang dibesarkan dengan cerita-cerita Barat tentang hak asasi manusia, yang mengagumi Eropa sebagai mercusuar peradaban, kini menyaksikan peradaban itu menutup tirai dan bertepuk tangan atas pertunjukan kemunafikan yang sempurna. Bagi banyak anak muda di Jakarta, Bandung, atau Makassar, keputusan ini seperti tamparan sunyi—pengingat bahwa jangan terlalu percaya pada janji manis dunia yang katanya adil dan beradab.

Uni Eropa tak lagi bisa berdalih. Dunia telah menyaksikan. Bahkan masyarakat sipil Eropa sendiri sudah muak dengan standar ganda ini. Demonstrasi pro-Palestina di kota-kota besar mereka, dari Berlin hingga London, adalah bukti bahwa rakyat tidak selalu sejalan dengan elit. Tapi suara rakyat—ah, itu hanya latar musik latar yang bisa dikecilkan volumenya jika mengganggu kenyamanan meja perundingan.

Lalu kita pun bertanya, untuk siapa sebenarnya nilai-nilai itu diciptakan? HAM, demokrasi, dan hukum internasional tampaknya dibuat bukan untuk dipatuhi oleh semua, tapi hanya oleh mereka yang lemah. Negara-negara kecil yang “berani nakal” akan disanksi, diblokir, dijatuhkan ekonominya. Tapi negara yang punya jet tempur, lobi kuat, dan akses ke pusat kekuasaan global? Silakan langgar, asal jangan terlalu ramai.

Yang membuatnya makin menyakitkan adalah cara Sa’ar membalikkan narasi. Ia menyebut bahwa sanksi terhadap Israel adalah serangan terhadap Uni Eropa itu sendiri. Sebuah framing cerdas—dan licik. Seolah Israel bukan hanya sekutu, tapi cerminan dari apa yang ingin dicapai Eropa. Jika begitu, kita bisa menyimpulkan: impunitas, kekerasan atas nama keamanan, dan manipulasi opini publik adalah bagian dari wajah Eropa yang ingin mereka pelihara.

Sementara itu, Aghabekian-Shahin dari Palestina tak diajak bicara. Bahkan duduk satu ruangan pun tidak cukup untuk membangun dialog. Alasannya, klasik: Palestina mendukung terorisme. Dengan satu narasi itu, maka semua pembunuhan terhadap warganya sah. Semua penderitaan mereka jadi tak valid. Ini bukan hanya pengabaian, ini pembunuhan dua kali: yang pertama dengan bom, yang kedua dengan penghapusan legitimasi.

Gaza hari ini bukan hanya ladang reruntuhan, tapi juga cermin: cermin yang memantulkan betapa busuknya realitas diplomasi global. Dan Eropa, dengan segala retorika agungnya, memilih untuk tidak bercermin. Mereka lebih suka mengatur cahaya agar pantulan itu tampak indah. Tapi kita tahu, cahaya itu palsu. Di baliknya ada gelap yang pekat—dan suara tangis yang tak pernah dijadikan dasar keputusan.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti meminjam moralitas Eropa sebagai standar. Dunia ini terlalu kompleks untuk terus memuliakan mereka yang terbukti gagal menegakkan apa yang mereka sendiri kotbahkan. Gaza mengajarkan kita untuk melihat dengan jernih: siapa yang benar-benar manusiawi, dan siapa yang hanya berpura-pura. Dan dalam pelajaran itu, banyak orang yang selama ini berdiri di podium ternyata hanya aktor dalam panggung sandiwara.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer