Opini
Eropa dan Alarm yang Mungkin Diabaikan

Ada sesuatu yang ganjil dalam cara Eropa menatap dirinya sendiri. Seakan-akan benua itu masih bercermin pada kaca tua yang memantulkan bayangan kejayaan abad lalu, padahal dunia sudah berubah, poros kekuatan bergeser, dan ilusi tentang supremasi pasar 450 juta konsumen tak lebih dari bayangan yang memudar. Mario Draghi, dengan bahasa yang lugas dan penuh nada getir, menyebutnya sebagai brutal wake-up call. Sebuah alarm keras dari Donald Trump, presiden Amerika yang lihai memainkan ego sekaligus kelemahan lawan. Tapi pertanyaannya: apakah Eropa benar-benar terbangun? Atau justru menekan tombol snooze, memilih kembali tidur dalam kenyamanan semu?
Kita tahu betul bahwa Trump tidak pernah bermain halus. Ia datang dengan gebrakan, menuntut kenaikan belanja militer NATO, menggertak dengan tarif 15% pada sebagian besar ekspor Eropa, lalu menaruh senyum puas saat pasar Eropa dipaksa membuka lebih lebar bagi produk-produk Amerika. Sebuah kesepakatan yang dengan mudah dibaca: Washington untung, Brussels buntung. Namun, yang lebih menyakitkan dari semua itu bukanlah angka tarif atau neraca dagang, melainkan kenyataan telanjang bahwa Eropa tidak bisa menolak. Inilah wajah pasifitas dan rigiditas yang dikritik Draghi. Inilah detik ketika Eropa sadar bahwa tubuhnya besar, tapi ototnya lemah.
Saya rasa banyak orang di benua itu ingin percaya bahwa ukuran ekonomi otomatis menghadirkan kekuatan geopolitik. Padahal, realitas global kini justru mempermalukan keyakinan itu. Lihat saja peran Eropa dalam krisis Ukraina: bukan pemain utama, hanya pengikut agenda Washington. Dalam isu Gaza, ia bahkan jatuh ke posisi lebih memalukan: sekadar penonton, duduk di bangku belakang, bertepuk tangan atau menghela napas sesuai arahan panggung yang dikendalikan Amerika. Draghi hanya menyebutnya “observer”, tapi kata itu terlalu ramah. Saya lebih suka menyebutnya “figuran”—hadir, tapi tak menentukan apa-apa.
Bayangkan jika analogi ini kita tarik ke kehidupan sehari-hari. Eropa seperti tetangga kaya di komplek, punya rumah megah, koleksi mobil mewah, tapi setiap ada rapat RT selalu diam, tak pernah berani angkat bicara. Semua orang tahu dia kaya, tapi juga tahu dia tak punya pengaruh dalam pengambilan keputusan. Kekayaannya berhenti pada pagar rumahnya sendiri. Itulah ilusi kekuatan ekonomi Eropa: besar di dalam, kecil di luar.
Alarm Draghi sebetulnya jelas: Eropa harus berani berubah, menghapus sekat dagang internal, bahkan mengeluarkan utang bersama untuk membiayai pertahanan, infrastruktur, dan inovasi. Singkatnya, memperdalam integrasi atau tenggelam. Namun, gagasan ini selalu berhadapan dengan tembok perpecahan lama. Negara-negara utara yang hemat tak mau terus-menerus menanggung gaya hidup “boros” selatan. Resistensi muncul karena common debt dianggap ancaman terhadap kedaulatan fiskal. Lagi-lagi, Eropa terjebak dalam labirin debat internal—sementara dunia di luar bergerak cepat, agresif, tanpa menunggu.
Jika Eropa menjawab alarm Draghi dengan serius, tentu ada risiko besar. Integrasi lebih dalam berarti sebagian kedaulatan nasional harus dikorbankan. Tapi justru di situlah peluang lahirnya kekuatan strategis. Dengan utang bersama, mereka bisa membangun fondasi pertahanan yang setidaknya membuat Washington berpikir dua kali sebelum memperlakukan Eropa sebagai anak bawang. Dengan menghapus hambatan dagang internal, ekonomi Eropa bisa lebih efisien, lebih kompetitif, dan tidak lagi hanya jadi pasar empuk bagi produk Amerika atau China.
Namun mari jujur. Sejarah Eropa menunjukkan bahwa perpecahan lebih sering jadi tradisi daripada persatuan. Dari Brexit kita belajar bahwa bahkan salah satu negara terkuat pun bisa memilih keluar daripada larut dalam kompromi. Dari krisis euro kita tahu bahwa solidaritas finansial tak pernah datang tanpa syarat yang menyakitkan. Maka wajar jika banyak orang skeptis: apakah kali ini Eropa cukup berani untuk benar-benar mendengar alarm Draghi? Atau hanya akan bergumam, “nanti saja,” sambil kembali sibuk dengan pertengkaran internal yang tak ada habisnya.
Andai alarm ini diabaikan, skenarionya cukup jelas. Eropa akan semakin tergantung pada Amerika, baik dalam urusan militer maupun politik. Ia akan terus jadi pasar yang bisa ditekan dengan tarif dan aturan. Dalam isu-isu global, posisinya akan makin mengecil—hanya pengamat setia di tepi panggung, menunggu giliran berkomentar tanpa pernah memegang mikrofon utama. Dan lebih parah lagi, dunia lain, termasuk China, akan makin yakin bahwa Eropa hanyalah satelit Barat, bukan aktor independen. Dengan kata lain, benua yang dulu melahirkan peradaban besar akan meredup jadi catatan kaki dalam sejarah geopolitik.
Sebaliknya, jika Eropa benar-benar menjawab alarm itu, dunia bisa menyaksikan babak baru. Sebuah Eropa yang tidak hanya berbicara tentang nilai demokrasi dan pasar bebas, tapi juga punya daya tawar nyata dalam isu keamanan global. Sebuah Eropa yang tidak hanya mengandalkan kekuatan moral, tapi juga membangun kapasitas strategis. Tentu, jalannya tak mulus—akan ada pertengkaran, kecurigaan, dan kompromi yang melelahkan. Namun, bukankah semua proyek besar selalu lahir dari pergulatan yang menyakitkan? Uni Eropa itu sendiri pernah lahir dari puing-puing perang dunia, dari trauma mendalam yang kemudian dijahit menjadi tekad bersama. Kenapa kali ini tidak bisa?
Masalahnya, saya ragu. Bukan karena tak mungkin, tapi karena mentalitas politik Eropa seringkali lebih memilih status quo ketimbang terjun ke medan penuh risiko. Di sinilah letak ironi paling getir: ketika dunia menuntut keberanian, Eropa justru sibuk menimbang-nimbang angka, prosedur, dan mekanisme yang tak ada habisnya. Seperti orang yang tahu rumahnya kebakaran, tapi masih sibuk berdebat siapa yang harus membeli selang pemadam. Pada akhirnya, rumah itu bisa habis terbakar, sementara penghuninya masih meributkan siapa yang lebih bertanggung jawab.
Draghi menyebut Trump sebagai pemberi “wake-up call”. Tapi mungkin kita bisa bertanya lebih jauh: apakah alarm itu cukup keras untuk mengguncang Eropa dari tidur panjangnya? Ataukah benua tua itu akan terus memeluk ilusi, bersembunyi di balik pasar besarnya, dan perlahan merelakan dirinya jadi pengikut? Jawabannya memang belum jelas. Tapi satu hal pasti: dunia tidak menunggu Eropa. Dunia terus bergerak, dengan atau tanpa keberanian benua itu. Dan kalau Eropa tetap memilih tidur, jangan kaget jika suatu hari nanti alarm Draghi hanya dikenang sebagai dering samar yang pernah terdengar, lalu lenyap tanpa jejak.