Opini
Eropa Bantu Ukraina Miliaran, Rakyat Dapat Apa?

Di ruang-ruang megah markas NATO, para pemimpin Eropa berkumpul, suara mereka penuh tekad. Di Brussels, Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius mengumumkan tambahan dana €3 miliar (Rp51 triliun) untuk Ukraina, ditambah €8 miliar (Rp136 triliun) hingga 2029—paket berisi sistem pertahanan udara, tank, dan amunisi. Menteri Pertahanan Inggris John Healey menjanjikan £4.5 miliar (Rp90 triliun), menyebutnya rekor tertinggi untuk Kyiv. Tepuk tangan menggema, menegaskan solidaritas Eropa. Tapi di gang-gang sempit Jerman dan Inggris, rakyat menatap tagihan listrik yang membengkak, antrean bank makanan, dan harapan yang kian pudar. Miliaran mengalir ke Ukraina, tapi rakyat bertanya dengan getir: kami dapat apa?
Konflik Ukraina telah menjadi sorotan dunia. Pistorius, di Brussels, menyinggung serangan Rusia yang menghancurkan warga sipil dan infrastruktur. Jerman, katanya, berkomitmen dengan 4 sistem pertahanan udara IRIS-T, 25 kendaraan tempur Marder, dan 15 tank Leopard 1A5. Inggris menawarkan radar, drone, dan dana untuk memperbaiki kendaraan tempur Ukraina. Healey menyebut 2025 tahun kritis, meminta sekutu menambah bantuan. Laporan Anadolu mencatat Uni Eropa menyumbang €23 miliar (Rp391 triliun) tahun ini, dengan Norwegia menyokong £100 juta (Rp2 triliun). Angka-angka ini megah, tapi rakyat Eropa bergulat dengan resesi dan inflasi yang menggerogoti dompet mereka.
Jerman, jantung ekonomi Eropa, dihantui bayang resesi. Pertumbuhan PDB negatif, krisis perumahan, dan ekspor yang melemah membuat rakyat cemas. Harga energi masih membebani rumah tangga. Seorang pekerja di Berlin mungkin bertanya: jika €3 miliar (Rp51 triliun) bisa membeli tank untuk Ukraina, mengapa tidak ada €100 juta (Rp1.7 triliun) untuk subsidi listrik? Pajak mereka mengalir ke Kyiv, tapi apa yang kembali? Pemerintah bilang ini soal keamanan—mencegah Rusia mengancam Eropa. Tapi bagi ibu yang mematikan pemanas demi beli roti, ancaman Rusia terasa jauh dibandingkan kelaparan hari ini. Janji keamanan itu abstrak, tak menghibur perut kosong.
Inggris pun tercekik krisis biaya hidup. Inflasi, meski melambat, masih terasa, dengan bank makanan di London mulai kewalahan. NHS, kebanggaan Inggris, bergulat dengan antrean berbulan-bulan untuk operasi sederhana. Healey menyebut £4.5 miliar (Rp90 triliun) ke Ukraina sebagai investasi perdamaian, tapi pekerja ritel di Manchester, yang gajinya habis untuk sewa dan bahan bakar, mungkin melihatnya sebagai pengkhianatan. Dana itu bisa membiayai ribuan dokter atau sekolah baru. Tapi uang rakyat membeli drone untuk perang yang entah kapan usai. Solidaritas global terdengar mulia, tapi bagi rakyat di klinik gratis, itu cuma jargon kosong.
Pemerintah mengklaim bantuan ini punya manfaat ekonomi. Di Jerman, Rheinmetall, produsen tank untuk Ukraina, mendapat kontrak besar, yang katanya menciptakan lapangan kerja. Di Inggris, dana untuk memperbaiki kendaraan tempur Ukraina melibatkan perusahaan lokal, seharusnya menggerakkan ekonomi. Tapi realitasnya pahit: lapangan kerja itu jarang sampai ke rakyat bawah. Pekerja terampil di Rheinmetall mungkin untung, tapi buruh harian atau pengangguran di pinggiran kota tidak kebagian apa-apa. Efek “tetesan” terlalu lambat untuk mengimbangi harga gas yang mencekik atau sewa yang naik dua kali lipat. Rakyat tidak melihat cek, hanya tagihan yang menumpuk.
Stabilitas energi juga jadi alasan. Konflik Ukraina pernah memicu krisis gas 2022, dengan harga energi melonjak hingga rumah tangga Jerman dan Inggris memilih antara memanaskan rumah atau membeli makanan. Bantuan ke Ukraina, kata pemerintah, mencegah Rusia mengacaukannya lagi. Tapi tanya keluarga di Leeds atau Hamburg: apakah tagihan listrik mereka ringan? Tidak. Harga energi tetap tinggi, dan subsidi menyusut. Jika stabilitas adalah manfaat, mengapa rakyat masih menderita? Janji ini terasa ilusi, terutama saat musim dingin membuat pemanas jadi barang mewah.
Pengaruh global adalah argumen lain. Dengan memimpin bantuan, Jerman dan Inggris memperkuat posisi di NATO dan Eropa. Pistorius dan Healey, yang memimpin di Brussels, menegaskan tanggung jawab Eropa. Ini mungkin mengamankan kursi mereka di meja diplomasi, tapi apa artinya bagi supir bus di Birmingham atau tukang pos di Munich? Pengaruh global tidak membayar sewa, tidak mengisi perut, tidak memperbaiki rumah sakit. Manfaat ini dirasakan elit politik, bukan rakyat yang pajaknya membiayai ambisi itu.
Telanjang, manfaat untuk rakyat nyaris nihil. Keamanan jangka panjang? Spekulatif—tak ada jaminan bantuan ini hentikan Rusia. Lapangan kerja? Hanya segelintir untung, bukan rakyat bawah. Stabilitas energi? Tagihan tetap mahal. Pengaruh global? Urusan pejabat, bukan rakyat. Yang pasti adalah beban mereka. Pajak mengalir ke Kyiv, tapi rumah sakit kekurangan dokter, sekolah kekurangan guru, dompet semakin tipis. Di Jerman, krisis perumahan menjebak ribuan orang. Di Inggris, 3 juta anak hidup miskin. Miliaran untuk Ukraina, tapi anak-anak kelaparan—ironi yang sulit diterima.
Pemerintah tidak sepenuhnya keliru. Ukraina adalah ancaman nyata, dan solidaritas Eropa punya alasan strategis. Tapi mereka gagal menjembatani kebijakan global dengan kebutuhan lokal. Setiap pengumuman €3 miliar (Rp51 triliun) atau £4.5 miliar (Rp90 triliun) harus disertai tindakan untuk rakyat: subsidi energi, voucher pangan, dana untuk NHS. Jerman pernah beri bantuan energi di 2022—mengapa tidak lagi? Inggris bisa alokasikan £100 juta (Rp2 triliun) untuk bank makanan, jauh lebih murah dari drone. Tanpa ini, rakyat hanya melihat pajak mereka lenyap ke perang tak kunjung usai.
Transparansi juga krusial. Pemerintah harus buka-bukaan: berapa persen anggaran ke Ukraina, berapa untuk rakyat? Jika bantuan militer cuma 5% anggaran, katakan, dan tunjukkan sisanya untuk kesehatan atau pendidikan. Jika anggaran domestik tergerus, akui, dan cari solusi. Rakyat bukan mesin pajak—mereka berhak tahu dan didengar. Forum publik atau jajak pendapat bisa jadi jalan, memberi ruang bagi keluh kesah. Tapi yang terpenting, pemerintah harus bertindak, bukan cuma berjanji, agar rakyat tidak cuma menanggung beban.
Eropa tidak bisa abaikan Ukraina—risikonya besar. Tapi mengorbankan rakyat demi geopolitik adalah kesalahan berbahaya. Solidaritas harus mulai dari rumah: pastikan rakyat yang bayar harga perang tidak ditinggalkan dalam krisis. Miliaran dolar—ratusan triliun rupiah—mengalir ke Ukraina, tapi tanpa keseimbangan, pertanyaan “rakyat dapat apa?” akan terus bergema, bukan keluhan, melainkan tuntutan keadilan yang tak terbantahkan.
*Sumber: