Connect with us

Opini

Eropa Bangun! AS Sekutu atau Majikan?

Published

on

Sungguh menarik melihat bagaimana Eropa akhirnya mengakui bahwa mereka bukanlah sekutu sejati Amerika Serikat, melainkan hanya pion di papan catur Washington. Butuh puluhan tahun bagi mereka untuk menyadari bahwa hubungan transatlantik ini lebih menyerupai hubungan tuan dan pelayan daripada kemitraan yang setara. Seperti seorang budak yang baru menyadari rantainya, Eropa kini gelisah.

Laporan terbaru European Council on Foreign Relations mengungkapkan bahwa mayoritas warga Eropa kini melihat Amerika Serikat hanya sebagai “mitra yang diperlukan,” bukan sebagai sekutu sejati. Bahkan di negara-negara yang selama ini tunduk patuh seperti Polandia dan Denmark, kepercayaan terhadap Washington telah merosot drastis. Ke mana perginya kesetiaan yang selama ini dijunjung tinggi?

Di bawah bayang-bayang Gedung Putih, Eropa begitu lama menerima setiap titah dari Washington, dari kebijakan militer hingga sanksi ekonomi. Mereka terlibat dalam perang-perang yang bukan urusan mereka, membiarkan ekonominya dikendalikan, dan rela diperlakukan sebagai pos militer AS. Namun, baru sekarang mereka bertanya-tanya, “Apakah ini kemitraan atau penjajahan terselubung?”

Keputusan Trump untuk memberlakukan tarif 25% pada baja dan 10% pada aluminium adalah pukulan telak bagi Eropa, bukan karena mereka tidak terbiasa ditendang, tetapi karena kali ini tendangan itu mengenai perut kosong mereka. Seperti seorang istri yang dikhianati suaminya berkali-kali, mereka mulai bertanya-tanya apakah mereka pernah benar-benar dicintai.

Denmark, Jerman, dan Inggris, yang selalu berusaha menjadi anak emas Amerika, kini mendadak berubah haluan. Mereka melihat Trump sebagai ancaman bagi negara mereka, meskipun selama ini mereka mengamini setiap kebijakan AS. Tapi mari kita jujur, apakah ini benar-benar tentang Trump? Ataukah ini hanya kesadaran yang tertunda bahwa mereka selama ini dipermainkan?

Sementara itu, Uni Eropa mulai merangkai narasi tentang “otonomi strategis.” Seolah-olah setelah puluhan tahun menjadi bawahan Washington, mereka tiba-tiba bisa berdiri sendiri. Mereka berbicara tentang membangun kebijakan luar negeri yang independen, seakan-akan AS akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Washington tidak membutuhkan Eropa yang kuat, hanya Eropa yang patuh.

Ketika Trump pertama kali memberlakukan tarif pada tahun 2018, UE membalas dengan mengenakan tarif pada bourbon dan Harley Davidson, seolah-olah itu akan mengubah sesuatu. Washington tetap melanjutkan permainannya, sementara Eropa sibuk mencari cara agar terlihat kuat di mata publik. Kini, dengan ancaman tarif baru, apakah mereka akan kembali bereaksi dengan sanksi kosmetik?

Kenyataan pahitnya, Eropa telah kehilangan identitasnya dalam dekapan AS. Mereka berusaha bermain independen, tetapi setiap kebijakan luar negeri mereka masih menunggu restu Washington. Mereka berbicara tentang kepentingan sendiri, tetapi setiap kali AS batuk, mereka sibuk menyesuaikan nada bicara. Lalu, di mana sebenarnya kedaulatan mereka?

Jika Eropa benar-benar ingin merdeka, mereka harus siap menanggung konsekuensi. Mereka harus berani menolak tekanan Washington dalam konflik global, membangun kekuatan militer sendiri, dan berhenti menjadi alat geopolitik AS. Tapi itu butuh nyali, dan sejarah menunjukkan bahwa Eropa lebih nyaman menjadi satelit daripada pusat gravitasi sendiri.

Pada akhirnya, hubungan AS-Eropa ini mirip dengan pasangan toksik yang tak bisa benar-benar berpisah. AS membutuhkan Eropa untuk melegitimasi kebijakannya, sementara Eropa membutuhkan AS untuk merasa relevan. Maka, jangan terkejut jika setelah semua drama ini, mereka kembali merapat ke Washington, kali ini dengan wajah penuh ragu, tetapi tetap setia seperti biasa.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *