Opini
Eropa, Amerika, dan Opera Sabun Ukraina

Washington akhirnya lelah. Setelah bertahun-tahun mengucurkan miliaran dolar ke Ukraina, tiba-tiba, kantongnya serasa bolong. Donald Trump, dengan gaya khasnya, menghentikan dana bantuan militer. Alasannya? Amerika sudah cukup berkorban, rakyatnya mulai bosan, dan Zelensky tampaknya lebih menikmati perang dibanding mencari perdamaian. Seakan-akan, semakin lama perang berkecamuk, semakin kuat posisinya.
Sementara itu, Zelensky yang terbiasa mendapat guyuran dana dari Barat mendadak kelimpungan. Seperti seorang raja yang kehilangan mahkota, ia tetap berteriak lantang soal perlawanan, meski di balik layar ia sibuk merayu Trump agar bantuan tetap mengalir. Tapi Trump dan orang-orangnya punya agenda lain. JD Vance, Marco Rubio, dan Mike Waltz memperingatkan bahwa dompet Amerika tak selamanya bisa dibuka lebar untuk ambisi Kiev.
Keputusan Trump menghentikan bantuan tidak hanya mengejutkan Zelensky tetapi juga memicu kepanikan di Eropa. Ursula von der Leyen, yang tampaknya lebih optimistis dari kebanyakan orang, buru-buru mengumumkan bahwa Uni Eropa siap mengisi kekosongan dengan menggalang dana hingga 800 miliar Euro. Jumlah yang fantastis, tentu, tetapi pertanyaannya: dari mana uang itu berasal, dan siapa yang akan membayar tagihannya nanti?
Eropa memang suka bermain peran sebagai penyelamat dunia, meski sering kali hanya dalam bayangan mereka sendiri. Inggris, Prancis, dan beberapa negara lain langsung menggelar pertemuan darurat. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer bahkan menggoda ide untuk menggantikan Amerika sebagai penyokong utama Ukraina. Tentu, gagasan ini terdengar mulia—setidaknya bagi mereka yang tidak terbiasa membaca detail angka dalam anggaran pertahanan.
Masalahnya, Uni Eropa bukan Amerika Serikat. Negara-negara anggotanya masih sibuk bertengkar soal pembagian dana dan kebijakan ekonomi internal. Jerman, misalnya, mulai ogah-ogahan mengucurkan bantuan lebih banyak. Prancis pun enggan memotong anggaran domestiknya demi petualangan militer di Ukraina. Sementara itu, negara-negara kecil seperti Hungaria dan Slovakia sudah lelah dipaksa ikut serta dalam pertarungan yang bukan milik mereka.
Jika Eropa benar-benar serius mengisi kekosongan yang ditinggalkan Amerika, mereka harus menghadapi kenyataan pahit: biaya perang bukan hanya soal uang, tetapi juga komitmen jangka panjang. Bagaimana jika perang terus berlarut-larut? Apakah rakyat Eropa siap membayar pajak lebih tinggi demi Ukraina? Apakah ada jaminan bahwa Zelensky tidak akan menghambur-hamburkan dana tersebut seperti sebelumnya?
Amerika, pada akhirnya, tetaplah Amerika. Mereka sudah cukup banyak membakar uang untuk Ukraina, tetapi seperti biasa, mereka tak mau kehilangan kendali. Penghentian dana ini lebih mirip strategi negosiasi ketimbang pemutusan hubungan total. Trump ingin menekan Zelensky untuk berunding dengan Rusia, dan di saat yang sama, memberi pesan kepada Eropa: “Sekarang giliran kalian.”
Tapi Eropa bukanlah pahlawan yang siap mengorbankan segalanya. Mereka boleh saja berjanji akan mengisi kekosongan, tetapi realitas politik dan ekonomi berkata lain. Von der Leyen bisa bicara tentang 800 miliar Euro sesukanya, tetapi apakah bank-bank Jerman dan Prancis siap mengucurkan dana tersebut tanpa jaminan balik modal?
Dalam opera sabun geopolitik ini, semua orang memainkan peran masing-masing. Trump ingin tampil sebagai pemimpin yang berpikir pragmatis, Zelensky berusaha mempertahankan citranya sebagai pahlawan, dan Uni Eropa mencoba menjadi penjaga nilai-nilai demokrasi, meskipun mereka sendiri ragu-ragu dalam eksekusinya. Yang jelas, di medan perang Ukraina, nyawa terus melayang, dan di ruang perundingan, angka-angka terus dihitung. Sementara itu, dunia hanya bisa menunggu episode berikutnya dari drama ini: siapa yang akan menyerah lebih dulu?
Di balik layar, ekonomi Eropa mulai goyah. Inflasi masih menghantui beberapa negara, sementara sektor industri mulai merasakan dampak dari konflik yang berkepanjangan. Apakah para pemimpin Eropa benar-benar berpikir bahwa publik mereka akan terus mendukung petualangan militer ini tanpa konsekuensi politik? Protes anti-perang mulai merebak di berbagai kota besar, sementara partai-partai oposisi di berbagai negara mulai mempertanyakan kebijakan luar negeri pemerintah mereka.
Sementara itu, Rusia terus mengamati dengan cermat. Bagi Moskow, ini adalah pertarungan daya tahan. Mereka tahu bahwa Barat mungkin memiliki lebih banyak sumber daya, tetapi apakah mereka memiliki kesabaran? Dengan Amerika menarik diri dan Eropa terpecah dalam strategi, Putin bisa saja menunggu sampai lawan-lawannya kelelahan sendiri.
Tentu saja, ada yang akan berkata bahwa Eropa masih memiliki kartu truf. Mereka masih bisa mencari aliansi lain, meningkatkan produksi senjata, atau bahkan mencari jalur diplomasi yang lebih realistis. Tetapi masalahnya, mereka telah mengunci diri dalam narasi bahwa Ukraina harus menang, tidak peduli berapa pun harganya. Jika sekarang mereka mundur dan mencari kompromi, bagaimana mereka akan menjelaskan hal ini kepada publik yang telah diberi harapan selama bertahun-tahun?
Pada akhirnya, pertanyaan terbesar tetap sama: siapa yang akan membayar harga perang ini? Apakah rakyat Eropa siap mengorbankan kesejahteraan mereka demi Zelensky? Apakah Amerika benar-benar akan sepenuhnya mundur, atau hanya bermain taktik untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh? Dan yang terpenting, apakah ada yang masih ingat bagaimana semua ini dimulai, dan apakah ada yang benar-benar peduli bagaimana seharusnya ini berakhir?
Dalam teater politik global ini, aktor-aktor terus beraksi, plot terus berkembang, dan penonton hanya bisa menyaksikan—sambil berharap bahwa drama ini tidak berakhir dengan tragedi yang lebih besar dari yang sudah terjadi.