Connect with us

Opini

Eropa: Ambisi Megah atau Keyakinan Berlebih di Ujung Jurang?

Published

on

Di Paris, di bawah langit kelabu yang seolah menertawakan ambisi manusia, Ursula von der Leyen berdiri di Sorbonne University, mengumumkan €500 juta untuk menarik ilmuwan ke Eropa. Di tengah gemuruh tepuk tangan, ada kegelisahan yang tak terucap: ekonomi Eropa sedang merangkak, namun Ursula, dengan sorot mata penuh keyakinan, seolah berkata, “Kami bisa menyelamatkan dunia ilmiah!” Ironis, bukan? Di saat AS, di bawah Trump, memotong dana penelitian, Eropa ingin jadi pahlawan. Tapi, dengan dompet yang kian tipis dan geopolitik yang panas, mungkinkah ini cuma mimpi megah yang akan menguap di udara?

Bayangkan: ilmuwan-ilmuwan AS, yang kini menghadapi ancaman pemotongan anggaran, melirik Eropa seperti pelancong yang kehabisan bensin di tengah padang pasir. Von der Leyen, bak penutur dongeng, menjanjikan oasis: dana €500 juta untuk 2025-2027, infrastruktur mentereng, dan kebebasan akademik. “Pilih Eropa!” serunya, seolah Eropa adalah surga penelitian yang tak ternoda. Tapi, mari kita jujur, ini bukan sekadar undangan mulia. Ini strategi licik untuk mencuri talenta, memanfaatkan kekacauan di AS. Eropa, yang pertumbuhannya cuma 0,9% tahun lalu, ingin jadi magnet ilmiah. Ambisius? Tentu. Nekat? Mungkin.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan DW itu, yang jadi pijakan cerita kita, seperti cermin yang memantulkan kontradiksi. Di satu sisi, Ursula bicara soal Marie Curie, ilmuwan legendaris yang melintasi batas demi sains. Romantis, bukan? Tapi, di sisi lain, ada Emmanuel Macron, dengan nada pedas, menyindir kebijakan Trump yang menekan universitas AS. “Kesalahan besar,” katanya, seolah Eropa tak pernah salah langkah. Oh, betapa mudahnya menuding jari saat dompet sendiri bolong! Eropa memang punya sejarah ilmiah gemilang, tapi dengan inflasi 2,5% dan utang Italia mencapai 140% PDB, apakah €500 juta ini benar-benar cukup untuk menggoda para ilmuwan?

Lalu, ada “Rearm Europe,” rencana pertahanan €800 miliar yang diumumkan tak lama sebelumnya. Delapan ratus miliar! Angka yang bikin kepala pening, apalagi ketika Jerman masih resesi dan Spanyol bergulat dengan defisit. Pinjaman bersama €150 miliar, pengeluaran nasional €650 miliar, ditambah harapan pada modal swasta—semuanya terdengar seperti resep untuk bencana atau keajaiban. Ursula, dengan gestur seorang visioner, seolah percaya Eropa bisa jadi benteng pertahanan dunia. Tapi, ketika rakyat Eropa masih mengeluh soal biaya listrik, bukankah ini seperti membangun istana di atas pasir?

Mari kita tarik napas sejenak. Bayangkan Pak Budi, penjual bakso di pinggir Jakarta, yang mendengar kabar ini. “Delapan ratus miliar euro? Buah duit itu bisa bikin bakso gratis buat seluruh kampung!” katanya, sambil geleng-geleng kepala. Absurditasnya nyata: di saat rakyat Eropa menghitung receh untuk belanja mingguan, Ursula ingin membangun armada drone dan sistem rudal. Ini bukan cuma soal uang, tapi soal prioritas. Keren, sih, ngomong soal otonomi strategis, tapi kalau rakyat lapar, apa artinya rudal canggih?

Data bicara lebih keras dari retorika. Anggaran tahunan EU cuma sekitar €180 miliar, jadi €500 juta untuk penelitian hanyalah setetes air di ember. Tapi €800 miliar untuk pertahanan? Itu seperti memasukkan gajah ke dalam kulkas. Sebagian besar dana itu bergantung pada anggaran nasional, yang artinya negara-negara seperti Italia atau Yunani, yang sudah tercekik utang, harus mengeluarkan miliaran tambahan. Belum lagi resistensi dari negara “frugal” seperti Belanda, yang ogah-ogahan soal pinjaman bersama. Ini bukan cuma komitmen berlebihan—ini keyakinan berlebih, atau dalam bahasa kita, “terlalu percaya diri.”

Sindiran halus? Oh, Ursula pasti tahu Eropa bukanlah superhero tanpa cacat. Industri pertahanannya masih terpecah, proyek seperti Eurodrone molor bertahun-tahun, dan koordinasi antarnegara sering macet. Tapi dia tetap melangkah, seolah semua masalah bisa diselesaikan dengan semangat dan pidato manis. Macron, dengan gaya flamboyannya, bilang kebijakan Trump soal universitas adalah “kesalahan global.” Tapi, bukankah Eropa juga punya dosa? Birokrasi yang bikin peneliti frustrasi, visa yang ribet, dan dana penelitian yang sering terlambat cair—ini bukan surga, ini Eropa!

Konteks lokal kita mungkin membantu memahami absurditas ini. Di Indonesia, kita tahu betul rasanya pemerintah ngotot bangun proyek megah—katakanlah ibu kota baru—sementara rakyat kecil masih antre beras murah. Eropa, dengan segala kemegahannya, tak jauh beda. Rakyat Prancis, Jerman, atau Polandia juga bertanya: “Buat apa rudal kalau listrik naik?” Ursula mungkin bilang ini soal masa depan, tapi masa depan itu dibangun dari dompet hari ini, bukan dari janji besok.

Refleksi datang dengan ironi. Ursula mengutip Marie Curie, yang pindah ke Prancis demi sains. Tapi, Curie hidup di era yang lebih sederhana, tanpa utang publik 140% PDB atau krisis energi. Hari ini, menarik ilmuwan butuh lebih dari dana—butuh stabilitas, kebebasan, dan janji bahwa proyek tak akan kandas di tengah jalan. €500 juta itu bagus, tapi kalau birokrasi Eropa masih seperti labirin, ilmuwan mungkin cuma akan berkunjung, bukan menetap.

Sementara itu, “Rearm Europe” adalah taruhan yang lebih berisiko. Pinjaman €150 miliar butuh persetujuan 27 negara, dan Jerman sudah mengernyit. Industri pertahanan, yang diharapkan jadi mesin ekonomi, masih pincang. Ingat proyek FCAS, pesawat tempur masa depan? Bertahun-tahun, miliaran euro, tapi hasilnya masih di awang-awang. Kalau ini bukan keyakinan berlebih, apa lagi namanya? Ursula mungkin bermimpi Eropa jadi benteng dunia, tapi tanpa konsensus dan kapasitas, mimpi itu bisa jadi bumerang.

Tapi, jangan salah, ada logika di balik kegilaan ini. Eropa tahu AS di bawah Trump tak lagi bisa diandalkan. Rusia, dengan agresinya, tak memberi pilihan. Menarik ilmuwan dan membangun pertahanan adalah cara Eropa bertahan di dunia yang kian liar. Tapi, seperti penutur puisi yang terlalu larut dalam kata-katanya, Ursula mungkin lupa: ambisi tanpa sumber daya adalah resep untuk kegagalan. €800 miliar itu bukan cuma angka—itu harapan, risiko, dan beban bagi rakyat Eropa.

Mari kita akhiri dengan senyum miris. Di Sorbonne, Ursula bicara soal “Eropa sebagai magnet.” Tapi magnet itu tak cuma menarik ilmuwan—ia juga menarik skeptisisme, kritik, dan tanya: “Dari mana duitnya?” Di Jakarta, Pak Budi mungkin cuma nyengir, “Eropa kok kayak pemerintah kita, suka janji besar.” Eropa memang punya sejarah megah, tapi di tengah ekonomi yang rapuh, ambisi Ursula adalah tarian di ujung jurang—indah, berani, tapi satu langkah salah, semuanya ambruk. Jadi, pembaca, apa pendapatmu? Apakah ini visi jenius atau sekadar keyakinan berlebih yang akan menguap di udara?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer