Opini
Erdoganisme: Demokrasi di atas Kertas, Otokrasi dalam Praktik

Hari itu, Turki kembali membangunkan warganya dengan kejutan pagi yang bukan lagi mengejutkan—tiga wali kota dari oposisi ditangkap hampir serempak. Bukan karena kudeta, bukan karena makar, tapi karena alasan yang lebih fleksibel: korupsi. Tuduhan itu begitu serbaguna, bisa diarahkan ke siapa saja, kapan saja, selama diperlukan. Wali kota Adana, Antalya, dan Adiyaman—tiga kota besar yang berada di bawah kendali Partai Rakyat Republik (CHP)—ditarik dari kursinya seperti pion yang tak lagi dibutuhkan di papan catur. Bahkan wakil wali kota di distrik Buyukcekmece, Istanbul, ikut disapu. Dan seperti biasa, stempel sah datang dari kepolisian dan media negara.
Tak ada yang salah dari menindak korupsi, tentu saja. Tapi anehnya, penegakan hukum di Turki tampak seperti senapan penembak jitu: selalu tepat sasaran, tapi hanya jika sasarannya adalah oposisi. Apakah korupsi hanya menghuni kantor-kantor CHP? Tidak ada yang percaya itu, bahkan mereka yang berteriak “adil dan beradab” di televisi pemerintah pun tahu jawabannya. Tapi begitulah Erdoganisme bekerja—dengan presisi yang nyaris estetik, ia mengubah hukum menjadi alat musik tunggal yang hanya bisa memainkan nada-nada penguasa.
Tak berselang lama sebelum penangkapan tiga wali kota itu, Istanbul diguncang oleh vonis penjara terhadap Ekrem Imamoglu, wali kota yang disebut-sebut sebagai satu-satunya rival serius Erdogan dalam pilpres mendatang. Tuduhannya? Korupsi, terorisme, dan—dengan selipan komedi gelap—pemalsuan ijazah. Bayangkan, seorang pejabat publik yang sudah bertahun-tahun menjabat, baru sekarang dipertanyakan gelar sarjananya. Lebih lucu lagi, universitas yang mengeluarkan ijazah itu sendiri tiba-tiba mencabutnya sehari sebelum penangkapan. Kalau ini bukan lakon teater politik, lalu apa?
Imamoglu kini dipenjara, gelar dicabut, dan ribuan rakyat turun ke jalan. Tapi di negeri Erdogan, protes dijawab dengan gas air mata, bukan dialog. Kementerian Dalam Negeri mengklaim penindakan diperlukan untuk menjaga “ketertiban umum”. Tampaknya, ketertiban versi negara adalah ketika semua orang diam dan setuju. Ketika oposisi menang pemilu lokal 2024 dengan telak, ketertiban terganggu. Maka yang diatur bukan korupsi, melainkan bagaimana hasil demokrasi bisa dikoreksi—tentu saja demi stabilitas.
“Dalam sistem di mana hukum dipelintir untuk kepentingan politik,” tulis Mansur Yavas, wali kota Ankara, “tidak ada yang bisa percaya pada keadilan.” Kalimat ini terdengar seperti keluhan biasa di negara-negara dengan sejarah otoritarian. Tapi yang membuatnya mengerikan adalah bahwa Turki pernah memiliki harapan. Di awal 2000-an, Erdogan dielu-elukan sebagai wajah Islam demokratis. Ia memimpin reformasi, menantang militer, dan menyenangkan Barat. Namun seperti kutukan dalam dongeng, kekuasaan yang terlalu lama cenderung melahirkan obsesi. Dan kini, Erdoganisme adalah manifestasi dari obsesi itu: sebuah sistem di mana pemilu tetap berjalan, tapi hanya untuk menjustifikasi hasil yang telah diskenariokan.
Di balik semua ini, yang menyedihkan adalah hilangnya penghargaan terhadap kehendak rakyat. Imamoglu dipilih oleh jutaan warga Istanbul, begitu pula para wali kota dari CHP yang kini dikriminalisasi. Tapi seperti kata pepatah, dalam otokrasi yang menyamar sebagai demokrasi, suara rakyat hanya dihitung ketika mereka mendukung penguasa. Ketika tidak, suara itu bisa dibungkam, direvisi, atau dicurigai sebagai hasil konspirasi.
Fenomena ini bukan eksklusif Turki. Kita yang tinggal jauh dari Ankara dan Istanbul pun mengenalnya. Di negeri-negeri yang katanya demokratis, kita menyaksikan pemilu yang tetap digelar, kampanye yang tetap berjalan, debat yang tetap ditayangkan—tapi hasilnya bisa ditebak bahkan sebelum suara dihitung. Hukum masih disebut-sebut, tapi hanya dipakai seperti pisau: tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Media masih hidup, tapi lebih banyak memuji daripada mengkritik. Dan rakyat? Tetap ada, tapi diminta patuh dan jangan terlalu banyak bertanya.
Dalam konteks lokal kita sendiri, Erdoganisme mengingatkan bahwa bahaya terbesar bagi demokrasi bukan selalu kudeta atau peluru, melainkan birokrasi yang dikendalikan satu tangan, lembaga hukum yang dibajak, dan publik yang dibiasakan untuk tidak peduli. “Kita ini demokrasi, lho,” ujar para elite, sambil menyodorkan hasil pemilu. Tapi di belakang layar, mereka menyusun daftar hitam. Demokrasi yang dibingkai dalam foto resmi, tapi dipelintir dalam praktik harian.
Ironisnya, CHP yang kini dipersekusi bukan partai baru. Ia adalah partai warisan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern. Dulu ia dituding terlalu sekuler, terlalu elit, terlalu Eropa. Kini, setelah meraih dukungan akar rumput dan memenangkan kota-kota besar, ia justru dituding terlalu korup. Barangkali, dalam Erdoganisme, tidak ada yang benar kecuali Erdogan.
Ketika Imamoglu berkata, “Saya berdiri tegak, saya tidak akan tunduk,” ia tidak hanya berbicara untuk dirinya sendiri. Ia mewakili rasa frustrasi jutaan warga Turki yang merasa dijebak dalam demokrasi imitasi. Rasa frustrasi yang sangat mungkin dirasakan pula oleh warga di belahan dunia lain, termasuk kita. Kita yang pernah percaya bahwa pemilu adalah jalan perubahan, bahwa hukum bisa melindungi kebenaran, dan bahwa rakyat punya kuasa. Tapi kini, kita belajar, bahwa tanpa institusi yang independen, semua itu hanya ilusi.
Dan seperti setiap ironi sejarah, Erdoganisme akan mencatat dirinya sebagai sistem yang menjanjikan stabilitas dengan cara menciptakan ketakutan. Ia membungkus otokrasi dalam retorika demokrasi. Ia mengubah keadilan menjadi alat balas dendam. Dan seperti diktator-diktator sebelumnya, ia akan terus berkata bahwa semua ini dilakukan demi rakyat, bahkan saat rakyatnya sendiri dibungkam, ditangkap, dan dipaksa tunduk.
Maka tak heran jika banyak yang kini menyebut Turki bukan lagi republik, tapi Republik Erdogan. Sebuah negeri di mana pemilu tetap ada, tapi demokrasi sudah tiada. Sebuah negeri di mana “otoritas moral” berganti menjadi “otoritas personal”. Di mana suara rakyat hanya diterima jika mendukung narasi resmi. Dan di mana, pada akhirnya, sejarah ditulis oleh mereka yang paling berkuasa—bukan oleh mereka yang paling benar.
Namun sejarah punya cara bekerja yang aneh. Kekuasaan bisa memenjarakan tubuh, tapi tidak bisa memenjarakan ingatan. Dan setiap rezim yang terlalu percaya pada kekekalan, justru sedang menulis bab kejatuhannya sendiri—huruf demi huruf, dengan tinta penindasan.